Creative

MENGENAL PROYEK DEKOLONISASI SENI MELALUI BIENNALE JOGJA 2023

Memasuki putaran kedua, Biennale Jogja berupaya melanjutkan penulisan ulang sejarah seni dunia dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni, namun sebenarnya seperti apakah proyek dekolonisasi seni itu?

title

FROYONION.COM - Jika membahas mengenai gelaran Biennale Jogja, pasti ada beberapa dari kita yang masih bingung sebenarnya apa bedanya dengan Artjog? Hal yang paling kentara adalah pada waktu pelaksanaan dan wacana yang dibawakan. 

Artjog merupakan gelaran tahunan yang bersifat art fair, sedangkan Biennale Jogja lebih mengarah ke isu-isu yang direpresentasikan melalui karya dan dilaksanakan dua tahun sekali. Gelaran Biennale Jogja tahun ini dibahas tuntas di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta pada hari Rabu (4/10/2023).

Banyak seniman, kurator, dan tamu undangan yang terlibat dalam konferensi pers Biennale Jogja yang tahun ini memasuki umur yang ke-17 dan memasuki putaran yang ke-2, setelah kemarin pada 2021 sukses mendapatkan perhatian dari berbagai negara yang dilewati garis Khatulistiwa dalam mempertemukan narasi-narasi sejarah yang tersembunyi.

BACA JUGA: DEE LESTARI MEMBAGIKAN RESEP MENULIS BUKU SAAT MEET & GREET DI YOGYAKARTA

Biennale Jogja 2023
Biennale Jogja 2023

Tahun ini, Biennale Jogja memiliki konsep dan penyelenggaran yang berbeda karena merangkul seniman dari Eropa Timur dan Asia Selatan. Selain itu, topik yang diangkat juga menarik menurut Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika. “Pada kegiatan Biennale tahun ini mengusung topik trans lokalitas dan trans historisitas yang kami proyeksikan berlangsung selama 3 edisi ke depan” ungkapnya.

IMPLEMENTASI DEKOLONISASI SENI DI BIENNALE JOGJA 17

Melibatkan sebanyak 69 seniman partisipan, Biennale Jogja 17 juga sudah menyiapkan venue yang beragam serta tersebar di bagian selatan kota Yogyakarta yaitu di Taman Budaya Yogyakarta, Panggungharjo, dan Bangunjiwo dengan venue-venue satelit yang berjumlah 13 lokasi.

Banyaknya venue tersebut seperti menjadi salah satu misi dari Biennale Jogja dalam proyek dekolonisasi seni, pasalnya Biennale Jogja tidak hanya melibatkan seniman dalam berkarya dengan isu-isu dekolonisasi negara masing-masing, melainkan berkolaborasi dengan warga sekitar lokasi.

Seperti yang dilakukan oleh Arum Dayu salah satu seniman residensi Biennale Jogja, mengangkat wacana motherhood sebagai wadah untuk membuka ruang bagi perempuan. Selain itu, ada Monica Hapsari yang berkolaborasi dengan warga Desa Panggungharjo untuk berkesenian dengan daur ulang sampah dan menjaga kelestarian budaya bersama kelompok Gejog Lesung.

Meskipun terdengar awam di telinga kita, proyek dekolonisasi seni ini sudah dikerjakan oleh Biennale Jogja sejak tahun pertamanya digelar. Dekolonisasi merupakan usaha melepaskan diri dari penjajahan yang pernah dialami oleh Asia dan Afrika setelah Perang Dunia II.

Usaha tersebut diciptakan oleh Biennale Jogja melalui kolaborasi seniman dari berbagai wilayah seperti Vienna, Bucharest, Manila, Chiang Mai, London, Berlin, dan Kathmandu dengan masyarakat setempat.

ALASAN DEKOLONISASI MELALUI SENI

Orientasi dan partisipasi dengan warga di Desa Panggungharjo dan Bangunjiwo menjadi sarana interaksi tentang dinamika peradaban sekarang. “Kegiatan ini menawarkan seluruh pengalaman untuk mengaktifkan indera dan membawa tubuh serta batin merasakan pengalaman baru melihat ruang narasi yang dibangun para kurator dan seniman,” ungkap Alia.

Seniman, kurator, dan negara yang diajak berkolaborasi juga tidak sembarangan, ada beberapa poin penting dalam mempraktikan dekolonisasi, seperti salah satunya tentang narasi budaya dan adat.

Kurator Biennale Jogja 17 asal Rumania, Adelina Luft menggarisbawahi dialog antar negara. "Menariknya dari kegiatan ini, karena merupakan bentuk upaya yang bisa dibilang menyambung kembali rajutan sejarah yang putus. Biennale Jogja dalam bingkai trans-lokalitas dan trans-historisitas ini mencoba membangun dialog dengan Kawasan Eropa Timur dan menjelajah wilayah pinggiran lain dimana solidaritas dan pengetahuan baru dibangun, dilegitimasi dan ditumbuhkan," ujarnya.

DEKOLONISASI SENI DAN DESA-DESA DI YOGYAKARTA

Meskipun memiliki topik trans-lokalitas dan trans-historitas, Biennale Jogja juga mengangkat judul utama yaitu Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah untuk menyelaraskan praktik yang tumbuh di kawasan Global Selatan dan relasi historis pada wilayah selatan.

Kata “titen” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam. Titen dipilih untuk mendekatkan budaya seni dengan masyarakat setempat.

Berpikir melalui Titen adalah bagian dari usaha Biennale Jogja 17 untuk membawa semangat dekolonisasi dalam produksi pengetahuan sebagai cara untuk melestarikan cara pandang dari kelompok lokal dan masyarakat yang telah menubuh, sekaligus merangkul mereka.

Masih penasaran dan ingin tahu lebih tentang proyek dekolonisasi seni? Tenang, Biennale Jogja 17 berlangsung lama, bisa dikunjungi mulai dari 6 Oktober hingga 25 November 2023. Informasi lain bisa dilihat melalui akun Instagram Biennale Jogja di sini! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Dinar Nur Zaky

Mahasiswa Ilmu Komunikas yang sedang iseng-iseng nulis dan nyobain media musik, senang juga melakukan liputan-liputan independent.