Untuk ke-7 kalinya, Malam Puisi Lentera Kata kembali hadir sebagai wadah yang dikemas kreatif untuk menarik minat anak muda tentang karya puisi.
FROYONION.COM - Sekumpulan penonton duduk teratur menyaksikan karya demi karya dari peserta terpilih yang menampilkan isu-isu tentang realita kehidupan. Ada yang larut dalam keheningan sajak puisi, ada pula yang terkesima dengan penggambaran manis-pahitnya dunia lewat pertunjukan monolog.
Tak sedikit pula yang pada akhirnya memberanikan diri turut tampil di atas panggung–menyuarakan keluh kesah seputar isu-isu terkini melalui kesempatan open mic yang digelar setelah penampilan para peserta terpilih tersebut.
Semua pertunjukan itu tergambarkan secara apik di Malam Puisi Lentera Kata Volume 7 ‘Jakarta MetroPoetry City’ yang tahun ini digelar melalui kolaborasi antara Lentera Kata dengan KaryaKarsa, bertempat di EVO Corner, M Bloc Space, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada hari Jumat (8/9/2023).
Idham Aulia Shaffansyah atau karib disapa Idham selaku founder Lentera Kata–bercerita kepada tim Froyonion.com tentang acara Malam Puisi Lentera Kata yang kini telah diadakan sebanyak 7 kali di beberapa tempat di Jabodetabek.
“Malam Puisi Volume 7 adalah kegiatan rutin kolaborasi Lentera Kata bersama KaryaKarsa yang sudah diadakan 7 kali dengan konsep keliling Jabodetabek dan harapannya kita bakal menyasar ke luar Jabodetabek,” tutur Idham.
Lelaki yang kesehariannya juga merangkap sebagai community specialist di platform apresiasi untuk kreator KaryaKarsa tersebut juga menjelaskan bahwa Malam Puisi Lentera Kata memiliki tujuan yang mulia dalam mengutarakan kebebasan berpendapat khususnya di lingkup generasi muda melalui seni berpuisi.
“Kami ingin menyasar anak muda yang tadinya nggak paham puisi, akhirnya paham dan tertarik dengan puisi. Acara ini juga ada open mic, jadi siapa pun boleh baca puisi dengan waktu yang ditentukan,” imbuhnya.
BACA: MENGINTIP PROSES KREATIF PUISI DAN AI DALAM BUKU PENYAIR SEBAGAI MESIN
Penampilan berlanjut. Kami tertarik kepada salah satu peserta. Palupi Krakatao, nama panggilannya. Perempuan yang memiliki segudang pengalaman di dunia puisi itu membacakan dua judul karya puisi terbaiknya: Kumpulan yang Terbuang dan Sepucuk Surat untuk Negara.
Masing-masing puisi tersebut memuat kisah tentang kegelisahannya lahir dan besar di hiruk pikuk ibu kota, serta rasa kepedulianya yang amat mendalam terhadap masyarakat di luar yang hidupnya tidak seberuntung dirinya.
“Kisah di balik 2 karya di atas karena saya lahir dan besar di Indonesia dan tumbuh di Ibu Kota Jakarta. Sehingga, saya menuangkan kegelisahan yang saya alami di kota ini dan di negeri ini saya merasa bahwa banyak sekali di luar sana saudara kita yang hidupnya kurang beruntung,” kata Palupi.
Melalui aplikasi percakapan daring, Palupi menjelaskan kepada kami khususnya tentang makna di karya kedua puisi miliknya tersebut. Ia dengan tegas menanggapi pemangku kebijakan di lingkup pemerintah yang sebaiknya bergerak cepat untuk mensejahterakan rakyat.
“Negara tidak bisa berbuat banyak bukan karena tidak mampu tapi karena sebagian besar pemerintahnya memikirkan kekayaan diri sendiri ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Kata 'peduli' hanya formalitas belaka karena realita yang ada tak sejalan dengan visi misi yang selalu mereka deklarasikan dalam setiap kampanye,” timpalnya.
Atas penampilannya yang memukau, tak sedikit respon penonton yang terinspirasi akan kedua karya milik Palupi. Bahkan, mereka dengan lantang memberanikan diri ikut open mic, seperti makna apresiasi yang menjadi bahan bakar semangat seniman dalam berkarya.
“Ada 2 penonton yang open mic on the spot karena terinspirasi oleh kalimat yang saya sampaikan dalam penutupan yaitu, ‘Berkarya bukan tentang seberapa banyak yang mengapresiasi melainkan seberapa besar rasa yang tertuang bahkan dalam keadaan tidak di apresiasi sekalipun.’ Dan hal itu membuat saya terharu karena diksi yang saya tata dengan hati ternyata bisa meresap ke lapisan tertipis dari nadi,” ucap Palupi.
Dibesarkan dari kedua orang tua yang sama-sama bergelut sebagai penyair puisi, ia berpesan kepada muda-mudi Indonesia untuk tidak ragu mengeluarkan isi hati ke dalam bentuk karya seni, salah satunya adalah membaca puisi.
“Pesan saya untuk anak muda yang masih malu membaca puisi, kalian harus coba dulu. Kalian nggak akan pernah tahu betapa dahsyatnya perasaan lega setelah menuangkan isi hati dan kepala dalam bentuk karya sebelum kalian melakukannya sendiri. Anak muda juga wajib tahu bahwa puisi bukan hal yang membosankan selama disampaikan dengan jujur dari hati,” pungkasnya.
Tak jauh berbeda dari Palupi, ada satu penampil open stage terpilih bernama Wildan Chopa yang menampilkan karya monolog. Dengan judul Kapal Ku Hampir Berlayar, monolog ini akan menjadi pembuka yang istimewa pada buku keempat miliknya, Mawar Merah Di Atas Pusara.
Mengangkat kisah tentang perjuangan jatuh bangun menjelajahi petualangan asmara, Wildan mengutarakan karyanya tersebut terinspirasi dari kisah nyata tentang hubungannya yang kandas karena ditinggal sang kekasih untuk selama-lamanya.
“Iya. Di tahun 2021 saya hampir nikah dan ini menjadi latar belakang lahirnya karya monolog itu,” jawab Wildan melalui wawancara daring kepada Froyonion.com
Selama beberapa menit, lelaki yang tampil dengan topi dan baju serba merah serta dibalut kain batik ini menampilkan pertunjukan monolog ditemani alunan musik dengan efek suara desiran ombak lembut yang semakin menggambarkan latar peristiwa.
Sebagai seorang seniman, Wildan terkadang mesti berjibaku dengan tantangan dalam berkarya. Misalnya, keahlian memanajemen waktu dengan aktivitas lainnya, serta perasaan malas yang lumrah di alami oleh siapa pun. Bicara soal kesulitan teknis, ia dapat menanganinya secara mengalir.
“Nggak ada kesulitan teknis, sih, karena mengalir dari isi hati. Kalau kesulitan lain, misalnya masih belum terbiasa memanajemen waktu secara baik, dan melawan rasa malas. Karena kalau sudah menulis satu kalimat, terkadang susah untuk memulainya kembali,” ungkapnya.
“Tetap pede, buat saja dulu, dan jangan ragu untuk berkarya. Soal bagus atau nggaknya suatu karya, biar urusan nanti karena akan bisa jika terbiasa,” imbuh Wildan tentang pesan singkat untuk anak muda Indonesia.
Acara Malam Puisi Lentera Kata Volume 7 ‘Jakarta MetroPoetry City’ turut dimeriahkan dengan penampilan spesial dari beberapa seniman ternama, seperti Musikalisasi Puisi Sasina, Ihsan Maulana, dan ditutup oleh penampilan mini drama dari Lentera Kata.
Selain itu, bagi penonton yang masih malu untuk tampil di atas panggung, tersedia live doodling dengan media kain sebagai cara alternatif mengekspresikan dan menuangkan ide-ide kreatif.
Idham berharap diadakanya Malam Puisi Lentera Kata Volume 7 ‘Jakarta MetroPoetry City’ dapat menjadi cara yang kreatif untuk memancing semangat anak muda dalam menyukai dunia puisi. Tak ada yang mustahil pula jika mereka akan lebih berani menyuarakan ide melalui seni membaca puisi.
“Makanya, kenapa kita datang dari kedai kopi ke kedai kopi? Karena nggak semua pengunjung paham dan tertarik dengan isi acara ini. Tapi ketika ada pembaca yang berhasil menghipnotis pengunjung, mereka bakal berpikir, ‘Wah, ‘kok, bisa ya sebagus ini penampilannya?’ Yang tadinya nggak pernah baca puisi tapi akhirnya, ‘Eh, ‘kok, asyik juga ya baca puisi,’ ujar Idham.
“Seperti di Malam Puisi kali ini, kita nyediain live doodling sebagai cara untuk mengekspresikan selain membaca puisi. Tapi yang penting memang sering latihan dan sering-seringlah berkumpul dengan para pencinta puisi yang sudah pasti saling mengapresiasi,” pungkas Idham tentang tips berani membaca puisi.
Belum sempat hadir di keseruan Malam Puisi Lentera Volume 7? Nantikan selalu informasi mengenai acara berikutnya di tahun depan melalui akun Instagram resmi Lentera Kata di sini! (*/)
BACA JUGA: ‘UNDISPUTED POETRY’: WADAH EKSPLORASI SISI MAGIS DAN EMOSIONAL PUISI