Banyaknya masalah di keluarga seringkali muncul oleh hal sederhana bernama perhatian. Kali ini, Teater EMKA menggarapnya dalam pementasan yang sarat makna.
FROYONION.COM – Teater Emperan Kampus (lebih akrab disapa EMKA) aktif di Semarang sejak masa-masa Orde Baru. Dimulai oleh anak-anak muda yang pada masa itu memperjuangkan nilai-nilai sosial yang seringkali patah oleh sebab sistem negara, hingga saat ini Teater EMKA pun terus bersuara. Suara yang kini mereka perdengarkan pun berkesan lebih intim mengikuti zamannya. Anak-anak muda saat ini sangat dekat dengan teknologi, utamanya dalam percepatan informasi. Namun demikian, tidak semua orang mampu mengendalikan dirinya untuk bersikap bijak atas segala informasi yang berseliweran atas zaman yang semakin cepat bergerak tersebut.
Mementaskan tajuk persoalan bernama Andam Karam di Gedung Serbaguna FIB Undip (27 Juni 2023), Teater EMKA bermaksud mengulik kembali nilai-nilai psikologis dan sosial yang sedang kikis di masyarakat Indonesia. Mengisahkan tentang seorang lelaki bernama Bayu dengan adik bernama perempuan bernama Elok, Andam Karam bahkan sudah sarat makna dengan kedua nama tersebut. Keduanya tumbuh dewasa tanpa seorang ibu dan dengan seorang ayah yang tempramen, terutama sepeninggal ibu dari keduanya.
Membahas kedua posisi kritis tersebut, pertama-tama kita akan melihat simbol-simbol yang sejatinya sangat dekat dan erat dengan sejarah peradaban manusia. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf dari Prussia (sekarang negara tersebut telah melebur dengan Jerman) pernah mengungkapkan bahwa segala tragedi terus tercermin dan berulang.
Tragedi pertama yang terlihat dalam pementasan Andam Karam ini adalah sosok ayah yang semakin pemarah oleh sebab kesendiriannya. Dalam sejarah peradaban Indonesia, sosok-sosok lelaki yang kehilangan istrinya seringkali terlihat hilang dari dirinya sendiri. Pertama-tama perlu kita sama-sama pegang di sini adalah, kesendirian ini dapat dimaknai oleh sebab kematian, perceraian, atau ketidakpedulian sosok istri kepada suaminya.
Sejarah mencatatkan Tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi semakin parah atau cenderung terabaikan di masa Soeharto sepeninggal istrinya. Kasus korupsi yang bertubi-tubi dari keluarga Cendana pun semakin menjadi-jadi sejak saat itu. Hal yang serupa, tapi tak sama, terjadi pula oleh Presiden Soekarno semenjak ia tidak benar-benar bersama Ibu Fatmawati. Lahirnya Nasakom sebagai sebuah ideologi utopia pun justru melahirkan sebuah pemberontakan yang tidak boleh sampai terulang oleh sejarah lagi.
Bahkan, jauh di masa kerajaan di masa lalu, ketika sosok Pangeran Darpa harus takluk oleh adiknya sendiri, yakni Pangeran Kayun, juga oleh kesendiriannya dan ketidakmampuannya dalam mengatasi kesendirian. Hal itu tercermin dalam sosok ayah yang tidak benar-benar mampu mengasuh dua anak yang sedang beranjak dewasa dalam sosok Bayu dan Elok.
Mengulik nama dari keduanya, Bayu memiliki makna ‘angin’ yang mana dalam berbagai tradisi nusantara digambarkan sebagai seorang pengendali situasi. Angin di Indonesia adalah penanda dari cuaca yang harus diperhatikan nelayan. Bahkan, angin dalam konsep angin muson adalah sebuah penanda musim untuk menghasilkan pergerakan ekonomi melalui berbagai mata pencaharian fundamental di Indonesia, seperti berkebun, bertani, hingga budidaya ikan. Namun, sosok Bayu dalam Andam Karam justru seolah tenggelam dalam namanya sendiri hal ini salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan sosok ayah dalam mengatasi pergolakan mental anaknya.
BACA JUGA: TEATER TERJAL AJAK PASANGAN MUDA BELAJAR SEJARAH LEWAT PECAH KULIT
Dengan pergolakan mental yang juga tidak boleh diabaikan seorang ayah, sosok Elok menampilkannya dalam konsep kegagalan patriarki di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih terlalu menerima patriarki sebagai warisan zaman feodal yang mendarah-daging. Sosok ibu yang meninggal membuat Elok sebagai perempuan harus menggantikan posisi ibu dalam keluarga. Hingga, hal itu harus membuat makna Elok mengalami pemburukan. Nama yang seharusnya menyimpan makan keindahan itu pada akhirnya menjual nilai-nilai estetika dalam dirinya dan mengakhiri ketentraman sebuah keluarga. Tentu saja, pertama kali yang harus disalahkan di sini adalah sosok ayah yang lagi-lagi tidak mampu mengolah emosi anak perempuannya.
“Pementasan Andam Karam ini bisa menjadi refleksi bagi orang tua atau remaja, (terutama untuk) mengingatkan bahwa selain pendidikan formal, pendidikan keluarga juga penting,” ungkap Enggelina, sutradara dari pementasan yang diadakan oleh Teater EMKA ini.
Pertanyaan besar kemudian muncul di sini, yakni berkaitan dengan kegagalan apa yang sebenarnya dilakukan oleh sosok ayah. Kegagalan yang pertama adalah patriarki yang mengakar dalam pikirannya membuat konsep negosiasi dalam keluarga lenyap. Elok menangani semua urusan rumah tangga, seperti bersih-bersih rumah, memasak, hingga menyiapkan kebutuhan ayah dan kakaknya. Hal ini dianggap wajar oleh sosok ayah sebab ketika sang ibu masih hidup semua perkara tersebut tidak pernah dipegang oleh ayah ataupun Bayu. Dalam hal ini sang ayah lupa bahwa Elok adalah seorang anak yang juga kehilangan ibunya, namun pekerjaan rumah justru tidak diperbantukan oleh anggota keluarga yang lain.
Kesalahan patriarki yang mengakar ini bermula dari kewajaran bahwa sosok perempuan memang harus menangani semua urusan rumah tangga. Konsep yang seharusnya ditinggalkan dalam zaman feodal itu mengakhiri negosiasi dalam keluarga dalam Andam Karam. Ketika Elok ingin kuliah, sang ayah kokoh berpendapat bahwa kuliah tak penting sebab Bayu yang kuliah saja menganggur sampai dua tahun.
Ayah tersebut kemudian bercermin pada konstruksi sosial bahwa seorang perempuan yang penting menikah. Dalam menikah, bagi sang ayah yang penting adalah kemapanan, hingga ia pun bermaksud menjodohkan Elok dengan seorang anak juragan dari kampungnya. Hal ini kemudian melahirkan rantaian gejolak dalam keluarga tersebut.
Bayu yang dianggap sebagai anak gagal terus-menerus dicap sebagai tonggak kegagalan keluarganya. Hingga, kegagalan itu pun lahir dari sebuah video (dalam konteks ini free seks) yang didialogkan sebagai tonggak kehancuran keluarga melalui hubungan Elok dengan pacarnya. Masalahnya, mengapa persoalan seperti ini harus muncul? Perhatian seorang ayah, utamanya dalam negosiasi terbuka dalam hubungan keluarga yang kurang membuat masalah itu muncul. Seorang melakukan tindakan di luar norma seringkali dimunculkan oleh sosok yang kehilangan suara dalam keluarganya dan ia mencari pelampiasan di luar sana.
Itulah berbagai simbol reflektif yang bisa dihadirkan dari sosok Elok dan Bayu yang diharapkan dapat menjadi nilai renungan bagi masyarakat. Teater EMKA dalam hal ini menyuarakan perhatiannya atas pergolakan mental dan sosial yang tidak boleh dilepaskan oleh seluruh kalangan masyarakat di Indonesia. (*/)