In Depth

YANG BERMASALAH DARI BUDAYA ‘SUPPORT’ BELI KAOS BAND

Saya melihat motif tersembunyi dari kampanye itu, yakni mengatasnamakan “support” sebagai cara meningkatkan penjualan merchandise.

title

FROYONION.COM - Belakangan, cukup ramai perbincangan penolakan polisi skena. Fenomena polisi skena ini viral sejak munculnya para konten kreator yang bikin video dengan datang ke sebuah pertunjukan musik lalu menanyai setiap penonton yang pakai kaos band. 

Misalnya seseorang yang pakai kaos The Sigit, ia akan diminta untuk menyebutkan 3 lagu The Sigit yang ia tahu. Jika tak bisa menjawab, mampus sudah, ia "poser". 

Para musisi banyak yang speak up mengatakan bahwa polisi skena sudah seharusnya musnah dari skena. Apalagi para seller merchandise, sebagai pihak yang menggantungkan kaos sebagai komoditas bisnis, mereka adalah pihak yang bersuara paling lantang tidak setuju adanya polisi skena.

Karena itu muncul pembelaan dari berbagai penjuru mengkritik fenomena polisi skena dengan dalih, "Nggak apa-apa nggak tau lagunya, yang penting baju lisensi resmi untuk mendukung band agar tetap hidup".  

Namun bagi saya, terlepas dari pro dan kontra polisi skena, fenomena ini sedikit membuka mata saya lebih lebar untuk memberi perhatian khusus tentang bagaimana fenomena beli kaos band lisensi yang dikampanyekan para musisi dan penjual merchandise mempengaruhi keputusan kita sebagai konsumen dalam membeli merchandise

Karena saya melihat motif tersembunyi dari kampanye itu, yakni mengatasnamakan “support” sebagai cara meningkatkan penjualan merchandise.

LEBIH UTAMA MANA ANTARA BIKIN LAGU ATAU BIKIN KAOS?

Tidak salah sepenuhnya support dengan beli kaos. Cuma yang jadi pertanyaan adalah bukankah band itu tugas utamanya memang bikin musik yang bagus? 

Jika premisnya adalah lagu sebagai karya yang utama, band harusnya lebih fokus mengukur kualitas karya seni yang mereka ciptakan agar laku untuk didengarkan. 

Daripada menggantungkan napas panjang kehidupannya dari kaos, kenapa band tidak hidup dari karya lagu saja? Kalau hidupnya menggantungkan kaos, lantas apa maknanya mempertahankan hidup sebuah “band”? Apa tujuan ngeband itu bisnis kaos?

Lagi pula, kalau beli kaos itu tidak selalu otentik. Kebanyakan, artwork di kaos itu hasil garapan orang lain yang dipesan oleh band. Mau support ke band apa ke artworker

Fakta pahitnya, ada kok orang yang pakai kaos band lisensi tapi hanya kebetulan saja. Ia tidak bermaksud support, tapi hanya ikut tren pakai kaos band. 

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, pembelaan atas dasar "support" dengan membeli kaos, tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. 

Karena anggapan itu menghempaskan band dari rel yang seharusnya, ke arah lain yang bias, membuat band-band malah berlomba-lomba cetak kaos paling bagus. Terdengar pincang kan? Bukannya bikin lagu, band-band berlomba memproduksi kaos.

Akibatnya kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa band lebih memilih rajin bikin kaos daripada rilis musik atau manggung. Apalagi bikin kaos lebih mudah daripada bikin lagu. Tiduran sambil WA ke artworker, pesan dengan konsep ini-itu, lalu bayar, jual lagi, dapat uang deh. Simpel. Toh, orang tidak perlu tahu kan lagunya? "Yang penting support bro!!!".

Jadi tidak perlu heran jika suatu saat nanti semakin banyak band yang rilis kaosnya lebih sering dari karya lagunya, seperti Dazzle dan Iron Voltage yang kaosnya bertebaran di banyak toko merchandise

Di dunia masa depan, bisa jadi band-band akan mendirikan brand distro. Di titik inilah, substansi seharusnya diperdebatkan, tentang musik sebagai subculture yang semakin tidak jelas arah dan maknanya. Band pada rajin rilis kaos, dan kolektor kaos band semakin banyak yang “kosong”.

KAOS DAN KONSUMERISME

Sementara itu, punya banyak-banyak kaos band juga tidak baik. Itu adalah perilaku konsumerisme. 

Masih ingat dengan spirit kemunculan band-band straight edge dan anarcho-punk di era 70's? mereka tumbuh dengan semangat anti konsumerisme, berupaya membuat budaya tanding kepada kapitalisme yang serba konsumtif. Misalnya mencetak produk terbatas dengan menerapkan sistem print on demand. Di era itu, kapitalisme menjadi dominant culture yang kokoh.

Suatu konsumsi barang dan jasa bukan lagi bersifat kebutuhan melainkan keinginan dari setiap individu yang terhanyut ke dalam dunia konsumtif yang tidak bermakna.  Itu sebabnya banyak band underground di era itu muncul dengan semangat perlawanan kepada kapitalisme. Era sekarang, semakin susah ditemui band yang masih memegang erat prinsip itu.

Selain itu, sisi gelap kaos yang harus diketahui, kaos band lisensi kebanyakan memakai bahan katun. Padahal katun dalam proses pembuatan satu baju saja membutuhkan 2.700 liter air. Itu menurut laporan National Geographic loh, saya bukan mengarang.

Kalau tren pakai kaos musik lisensi semakin melaju pesat, berapa besar sumbangsih skena ini untuk kerusakan lingkungan? Kita perlu memikirkan ulang, apa yang bisa dilakukan untuk mencari jalan tengah kebiasan antara musik sebagai subculture atau dominant culture yang cukup melekat sebagai konsep kapitalisme yang dari awal sebenarnya ditentang.

Bagi saya, memutuskan untuk support band juga perlu dipertimbangkan dengan matang. Karena support pada dasarnya pengertiannya adalah mendukung. 

Memangnya apa yang kita dukung dari band itu? Amit-amit aja, kalau misal kita miskin nih, mana bisa kita dukung apalagi kalau bandnya sudah kaya raya karena jual merchandise

Bahkan di level tertentu, ada loh musisi dan pegiat musik yang malah menganjurkan pembajakan. Nah bagaimana? Lebih puyeng lagi. 

Untuk itu, saya menganjurkan agar beli merchandise secara wajar saja. Tidak perlu menumpuk terlalu banyak di almari. Beli kalau butuh dan suka saja. Jangan terlalu didengarkan kalau ada yang menghasut atas nama support

Saya rasa, punya kaos band satu hingga tiga aja cukup. Kalau ada yang ngecengin, beri edukasi secara halus sekaligus jelaskan alasan kamu punya kaos dikit. Siapa tahu orang itu akan bertaubat. Kalau kamu butuh kaos band baru, jual saja kaos band kamu yang lama, atau tawarkan kepada teman untuk barter.

Sekian cuap-cuap ini tidak bermaksud menggurui apalagi ingin mencerahkan. Solusi di atas, bukanlah solusi absolut, namun hanya satu di antara banyak solusi. Sekecil apapun upaya baik, mari coba terapkan. (*/) (Photo credit: Bid Stitch)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ugik Endarto

Pegiat di Perpustakaan Jalanan Wahana Baca juga berkecimpung di Metallagi.com