Nggak usah dengerin cibiran orang soal lokasi rumah yang belum banyak diketahui orang. Itu artinya lu pribadi yang out-of-the-box, mandiri, dan berjiwa petualang.
FROYONION.COM - Entah apa yang merasuki gue hari itu. Kok rasanya tiba-tiba ingin beli rumah padahal gue masih bisa nge-kos dengan nyaman di tengah area jantung ibu kota.
Di suatu hari di tahun 2018 itu gue sebenernya iseng aja naik kereta buat jalan-jalan. Suntuk di kos melulu pas weekend.
Kebetulan habis ngerjain proyek yang lumayan panjang durasinya. Energi intelektual dan kreatif rasanya terkuras tandas.
Mau belanja-belanja tapi kok sayang duitnya mengingat kerjanya aja udah jungkir balik nggak karuan tiap hari.
Akhirnya gue pilih jalan-jalan aja menghirup udara segar naik kommuter line yang murah meriah.
Mood yang bagus ini didukung sama cuaca di luar gerbong kereta yang juga sama cerahnya. Sang surya terik banget di luar. Sinarnya nyorot sampe ke dalam, bikin gerbong yang ber-AC nggak gitu sejuk.
Di depan gue duduk seorang wanita berkacamata. Dia lagi ngobrol asyik gitu ama penumpang wanita lain dengan nunjuk-nunjuk tangan ke selembar brosur.
“Hmm, apaan sih buibu itu?” Batin gue sinis. Untung itu sebelum pandemi bikin kocar-kacir negara ini. Kalau naik kereta di masa pandemi gini, bakal didatengin dan disemprot petugas deh.
Ternyata ibu berkacamata itu kerja sebagai tenaga penjualan (sales) dari agen properti. Dia lagi merayu seorang calon konsumen rupanya. Pantes ngobrolnya lupa sekeliling. Khusyuk banget.
Karena rekening lagi ‘gemuk’ dan udah bosen berboros-boros ria plus karena udah bosen tinggal di kos sempit, gue putusin coba liat-liat rumah. Asli ini pikiran yang terlintas di dalem benak aja. Nggak terencana bakal jalan dan jadinya gini sih.
Pas ibu itu turun sampe stasiun yang ‘cuma’ 1 jam lebih dari Jakarta, gue juga iseng turun tuh.
Gue ikutan nimbrung aja pake sok nanya ke ibu tadi: “Eh bu, boleh ikutan liat-liat rumah nggak?”
Ibu itu kontan menyambut permintaan gue dengan hati yang berbunga-bunga dong. Mungkin pikirnya: “Yeshh, dapet satu calon ‘korban’ lagi!”
Tapi untungnya ibu sales itu nggak terlalu membombardir kayak orang sales pada umumnya. Jadi gue nggak ngerasa risih atau muak banget. Dia masih nanya-nanya ke gue sih tapi nggak yang sampe ngejar banget dan pushy.
Karena nggak pushy, akhirnya gue seterusnya mengontak ibu tadi yang kemudian gue kenal sebagai ibu Ummi (aneh ya, namanya artinya “ibu Ibu”) untuk urusan beli rumah ini.
Kata bu Ummi, kalau gue mau, bisa pilih unit secepetnya.
Wow kan?
Terus gue dikirimin aja via WhatsApp sebuah foto yang menunjukkan denah unit di kompleks perumahan yang ia sedang jual.
Yang kosong cuma di sisi depan banget dan belakang deket tower SUTET. Nggak mau dong gue deket-deket ama SUTET. Ada yang bilang jangan deket-deket ama radiasinya. Tapi ya selain itu juga ngeri kalo misal ada percikan apai atau sejenisnya juga. Jadi gue ‘terpaksa’ milih unit yang tersisa di depan.
Untung gue bukan tipe orang yang percaya banget ama tradisi dan peruntungan ya. Soalnya ada temen gue yang mempertimbangkan posisi rumah dan nomor rumah demi hoki dan rezeki yang moncer ke depannya. Bisa kelamaan kalo pake mikir-mikir ini itu.
Sebagai anak millennial totok, gue pilih aja unitnya tanpa pikir panjang soal nomor dan posisi. Liat aja yang kayaknya aman dan nyaman dan harganya yang paling terjangkau (nggak muluk-muluk), deket pos sekuriti jadi risiko rumah dibobol orang lebih kecil juga. Gitu gue mikirnya dulu.
Lalu bu Ummi gue hubungi lagi dan doi menawari beberapa opsi pembayaran. Bisa cicilan KPR lewat bank dan kudu kasih DP lalu nyicil dalam jangka waktu (tenor) sekian puluh tahun.
Tapi gue mikirnya, jumlah bunga yang mesti gue bayar nggak sedikit. Jadi gue pun nekat bayar pake cash keras. Selain gue bisa tidur dengan lebih nyenyak karena ga harus mikir cicilan utang KPR, cara ini juga bebas riba. Cocok buat yang mo hijrah dengan kaffah.
Setelah gue itung-itung saldo rekening, ternyata belum cukup dong. Syukurnya ada ‘suntikan dana’ dari ortu buat bisa beli tunai.
Akhirnya rekening gue pun tersedot habis dan resmi status gue ‘kere’ di hari gue bayar rumah. Tapi seenggaknya gue nggak bakal terlunta-lunta karena udah ada tempat bernaung, batin gue.
Lu pikir gue tajir melintir? Nggak kok. Gue anak daerah dari keluarga PNS yang kerja udah 8 tahunan di Jakarta saat itu. Dan pas gue ada duit yang jumlahnya lumayan dan gue mikir: “Daripada duit abis, mending buat beli rumah yang insyaAllah nggak bakal turun harganya kayak barang elektronik atau sejenisnya.”
Ya udah gue nekat aja beli di daerah antah berantah yang waktu tempuhnya dari stasiun Palmerah sekitar 1 jam lebih itu.
“Tapi gimana kalo lu nggak cocok nanti tinggal di situ?”
Ya semoga cocok sih. Kalau nggak, rumah itu bisa gue jual lagi. Ya meski harus diakui bahwa jual rumah itu nggak segampang jual iPhone second.
Ternyata gue cuma satu dari sebagian warga dunia yang menganggap hidup di kota-kota megapolitan nggak lagi menyenangkan. Arus ruralisasi di saat ekonomi lesu begini tercatat meningkat di benua Eropa dan juga India juga setelah kebijakan karantina diberlakukan.
Persentase warga Eropa yang balik ke desa mencapai lebih dari 40% sehingga ini bukan tren yang kecil. Sedangkan di India, harga rumah di kota kecil dan desa lebih murah dan lingkungannya dianggap lebih aman dari wabah. Ya maklum kan jarak antarrumah lebih jauh, kepadatan penduduk juga lebih rendah.
Alasan orang Eropa dan India balik ke desa-desa dan kota yang lebih kecil dan sepi adalah akses ke ruang terbuka hijau, pertokoan dan fasilitas umum yang lebih mudah. Mereka sudah capek dengan kondisi kota besar yang penuh polusi. Kebijakan isolasi di rumah membuat warga kota besar merasa sumpek. Ya bisa dipahami sih. Siapa yang nggak stres di dalem apartemen sempit terus berminggu-minggu? Tikus aja bisa sinting apalagi manusia.
Sementara itu, di Jepang tren balik ke desa juga terjadi karena warga cemas dengan ketersediaan pangan. Iya lah, kalo tinggal di apartemen terus semua swalayan,toko-toko dan resto pada tutup, gimana mau makan?
Di desa, mereka bisa nanem sendiri tanaman pangan konsumsi harian mereka. Jadi nggak tergantung 100% pada dunia luar. Mereka lebih memilih tinggal di pusat produksi makanan dan dekat dengan alam, begitu alasan warga Jepang yang milih pulang kampung atau pindah ke daerah pedesaan.
Terus kenapa gue berani banget naruh semua duit gue di rumah ini? Semurah-murahnya rumah tetep aja kan ya nggak semurah cilok.
Well, pertama karena meski lokasi rumah gue ini jauh banget rasanya dari denyut kehidupan modern ibu kota, gue riset kecil-kecilan dan nemuin bahwa perumahan ini bagian dari rencana jangka panjang pemerintah untuk mengembangkan daerah penyangga ibukota dalam satu dekade ke depan.
Jadi kemungkinan perumahan ini bakal berkembang menjadi sebuah kota mandiri kayak BSD atau kota-kota satelit itu bukan isapan jempol. Meski sekarang masih sepi kayak kuburan, gue optimis makin banyak fasilitas umum dibangun dan kehidupan di sini berkembang pesat suatu saat.
Kedua, gue juga tahu banget pengembang di balik proyek perumahan ini. Ya gimana nggak kenal, wong gue dulu kerja di pengembang itu. Dan reputasinya emang udah terjamin. Jadi risiko rumah gue nantinya batal dibangun juga rendah.
Karena gue selalu miris dengan membeli rumah ke pengembang properti yang nggak tau kredibilitasnya. Pemilik dan CEO-nya siapa, kantornya di mana.
Bayangin kalo duit gue yang seharusnya dibangunin rumah malah dibawa lari pengembangnya. Bisa nangis darah kan?
Udah bukan berita langka di negeri ini ada pengembang yang nggak bertanggung jawab dan kabur sama duit konsumen. Mau konsumen menggugat gimana pun lewat hukum, duit itu kecil kemungkinan bakal balik dalam jumlah utuh.
Itu pun belum biaya kelelahan psikologis dan mental yang diakibatkan oleh proses hukum di baliknya. Kerugian immaterial yang nggak tanggung-tanggung itu sih.
Makanya buat poin satu ini, gue nggak mau ambil risiko. Selalu cek riwayat pengembang properti yang janji bikin rumah lu. Bisa lewat Google atau ngobrol-ngobrol ama orang-orang yang udah pernah beli rumah di pengembang itu.
Ketiga, lingkungannya masih relatif liveable daripada Jakarta. Selama lebih dari 10 tahun, gue tinggal di Jakarta nggak ada keluhan sih soal kemudahan menjangkau fasilitas dan kemewahan duniawi. Tapi untuk kebutuhan dasar hidup yang hakiki kayak udara bersih, keleluasaan jalan-jalan santai tanpa harus nutup kuping sama hidung akibat kemacetan yang nggak teratasi, bisa tinggal di rumah yang tetap kering selama musim penghujan, Jakarta udah gagal total buat gue.
Keempat, meski jauh dari pusat peradaban masih ada jalur transportasi murah yaitu commuter line yang lumayan bisa diandelin karena relatif tepat waktu baik jam keberangkatan dan kedatangannya.
Maka dari itu, gue sadar gue harus membuat semacam trade-off alias pertukaran. Gue putusin gue bisa menolerir belum adanya fasililitas umum yang lengkap di lingkungan rumah baru gue ini dan memilih untuk menikmati hal-hal yang gue nggak bisa nikmati selama di Jakarta, yaitu lingkungan yang lebih tenang, udara yang lebih segar, jalan yang sepi dan hampir nggak pernah kena macet, tanah yang nggak pernah kena banjir atau genangan. Itu semua gue anggap sebagai kemewahan yang Jakarta nggak bakal bisa kasih ke gue.
Itulah kenapa saat ada tetangga yang masih ngeluh sepinya daerah perumahan ini, gue pengen nyerocos: “Lha sebelum lu pindah ke sini apa nggak dipikir masak-masak dulu? Kalau emang nggak sanggup hidup di daerah sesepi ini ya mending sono balik ke Jakarta.”
Satu tetangga gue ini - sebut aja Raflessia Arnoldi (bosen ya kan ama nama samaran Mawar) emang kritis orangnya. Dia selalu menyoroti apa yang bisa diperbaiki dari daerah ini. “Khlis, lu betah banget yah di sini? Nggak kongkow, nggak keluar?”
Gue batin aja, “Mau sih tapi kan lagi pandemi gini, Flesss!!!”
Si Rafflesia ini lanjut: “Trus yah yang paling gue nggak tahan itu di sini belom ada ATM BCA. Gila nggak sehh?? Tau kan, suatu daerah itu belum dianggap beradab kalo belum ada ATM BCA.”
Belum gue mangap buat jawab, si Rafflesia udah nimpalin lagi: “Di sini juga nggak ada bengkel yang murah. Trus belom ada pom bensin Shell, padahal mobil gue kalo dikasih bensin Pertamax yang oktannya rendah itu suka jadi ngadat dan kasar mesinnya.”
Sebagai pengguna moda transportasi umum, gue emang kurang bisa relate ama keluhan dia tapi gue coba memaklumi perspektif sobat gue si Rafflesia ini.
Satu lagi keluhan dia: “Di sini kalo malem dikit aja udah sepi. Masak jam 7 aja udah kayak jam 12 di Jakarta. Nggak ada tempat kongkow yang asyik gitu.”
Ya namanya juga daerah yang lagi berkembang, cuy. Please, jangan berharap kelengkapan fasilitas kayak di Jakarta dong! Kalau udah buat keputusan, jangan ngeluh sama konsekuensinya. Dihadepin aja sambil cari solusinya.
Inget, harga rumah di sini senggaknya masih di bawah 200 juta dan nggak fair lah lu bandingin ama Jakarta yang harga satu cuil bidang tanah ama rumah petak di atasnya aja bisa 1 miliar.
Alih-alih ngeluh terus kayak Rafflesia, justru pindah rumah ke perumahan yang masih sepi di masa pandemi ini menurut gue jadi berkah tersendiri.
Bayangkan repotnya tinggal di Jakarta sekarang. Saat jumlah kasus Covid-19 terus menanjak, lu ngerasa nggak aman, terkurung dan depresi di dalam kamar kos yang sempit. Mau ke luar rumah aja wajib pake masker. Liat berita udah capek mental ama berita Covid yang nggak ada habisnya.
Di perumahan sepi ‘antah berantah’ ini, gue masih bisa bersyukur karena bisa keluar rumah tanpa pake masker buat sekadar jogging pagi atau jalan santai sore pas suntuk lagi WFH (iya di sini meski dicap udik tapi udah ada jaringan WIFI kok). Ya kenapa nggak, wong di kompleks aja yang menghuni masih sedikit banget. Jarang-jarang ketemu tetangga. Kalaupun ketemu ya tetep jaga jarak kok.
Di sini gue bisa jaga kesehatan dengan lebih baik karena nggak setiap hari ketemu orang sebagaimana di Jakarta. Bisa berjemur tiap pagi dan kapanpun gue mau dan butuh karena ternyata berjemur itu nggak cuma bagus buat ningkatin imunitas dan kadar vitamin D dalam badan tapi juga meningkatkan semangat hidup dan mood seharian.
Dan gue bisa jalan-jalan bak bocah petualang di perkampungan dan ladang-ladang di sekitar perumahan yang ternyata masih pedesaan banget. Mereka tinggal di rumah berdinding bambu, sebagian lagi kayu dan batubata sederhana, pelihara ayam dan bebek di sebelah rumah, punya pohon besar di halaman rumah yang bisa dipake main anak-anaknya tanpa harus ke mall atau Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).
Di sini gue bisa jelajahi rute-rute baru dan mengamati cara hidup orang yang sangat berbeda dari cara hidup orang Jakarta. Tinggal di sini kayak antidot alias penawar buat kehidupan gue di Jakarta selama 11 tahun terakhir.
Jadi gimana? Mau pindah ke ‘antah berantah’ atau tetep di Jakarta yang bikin kepala mo pecah? (*/)