Dunia bisnis nggak seindah yang dibayangkan, bestie. Tapi dunia bisnis juga nggak semulus itu.
FROYONION.COM - Fenomena banting stir menjadi pebisnis sangat marak terjadi pada generasi masa kini. Sayangnya, salah satu alasan yang paling sering ditemui adalah karena ogah menjadi budak korporat.
Menurut Abdul Wakhid, S.E., M.Pd. dalam artikelnya yang bertema young entrepreneurship, fenomena ini dilatar belakangi karena kondisi ekonomi dunia yang sedang nggak baik-baik saja sehingga orang-orang mulai mencari solusi lain untuk menjadi sejahtera.
Abdul beranggapan bahwa munculnya banyak pengusaha muda di kalangan mahasiswa menunjukkan mulai berubahnya paradigma berpikir bahwa untuk kaya, berbisnis adalah solusinya.
Dalam artikelnya, disebutkan bahwa profesi pengusaha memiliki image “berkelas” yang terlihat nyata. Keren banget loh, ketika bisa menjawab, “Aku punya start-up, Tante” di acara halal-bihalal keluarga besar.
Pendapat tersebut nggak salah, sih. Berbisnis memang bisa menjadi salah satu “kendaraan” untuk menjadi kaya. Buktinya banyak juga kok yang memiliki pendapatan tinggi di usianya yang masih muda karena bisnis.
Nggak usah jauh-jauh. Tetangga saya, warga asli Yogyakarta yang usianya masih 20 tahun, sukses membuat ayam geprek dengan bumbu rahasia yang cocok di lidah orang-orang Sumatra. Pernal viral di TikTok, omsetnya hampir mencapai tiga digit dalam satu bulan. Keren ya?
Tapi, kalau ingin menjadi pengusaha lalu menghakimi profesi pekerja kantoran yang harus berangkat pukul 7 pagi dan pulang pukul 9 malam, jatuhnya kok jadi semacam persaingan tidak sehat.
Sekarang, yuk, kita coba untuk membahas struggle-nya seorang pengusaha. Menjadi pengusaha tentunya perlu modal. Modal di sini nggak melulu soal uang loh ya, Bestie.
Ilmu bisnis juga bisa disebut dengan modal karena nggak banyak orang yang mendapatkannya secara cuma-cuma. Nggak banyak juga sekolah yang mengajarkan ilmu ini kepada siswanya. Lalu, belajar dari mana?
Bagi sebagian orang, peran mentor bisnis menjadi salah satu yang krusial. Tanpa harus melalui jatuh bangun yang berarti, seorang pebisnis bisa sukses berkat bimbingan mentornya. Sayangnya, cuma segelintir orang aja nih yang bisa begini.
Sisanya? Harus berjuang!
Pemilik brand baju muslimah, misalnya. Dia harus mengorbankan waktu tidurnya demi menemukan pola yang pas untuk gamis keluaran terbaru. Bisa juga bensinnya habis untuk keliling kota. Crinkle-airflow premium di satu toko beda dengan toko lainnya.
Lalu, dia juga harus mencari penjahit yang bisa diajak kerja sama demi mendapatkan harga yang miring. Hal ini wajib dilakukan untuk menekan biaya produksi. Kemahalan sedikit, customer meng-sulit.
Setelah mendapatkan penjahit, dia harus menjelaskan model baju yang diinginkan supaya minim error. Proses ini biasanya agak alot, nih. Pemilik brand memiliki standarnya sendiri sedangkan penjahit lebih menang pengalaman.
Setelah produk jadi, pemilik brand harus memikirkan soal packaging. Hari gini sih, harus aesthetic demi mengikat hati calon konsumen. Masalahnya, harga dan tampilan packaging berbanding lurus. Semakin ‘menggemaskan’ packaging-nya, semakin mahal harganya, vice versa.
Belum lagi urusan foto produk. Kamera spek mentok kanan atau iPhone ‘bobba’ diperlukan untuk mendapatkan foto produk yang baik. Salah kecerahan sedikit, customer protes, “Barang yang diterima berbeda dengan yang diiklankan”.
Editing? Bisa tapi masih diprotes customer juga. Seringnya karena warna asli produk yang berbeda dengan foto katalognya. Padahal biasanya karena resolusi atau kecerahan HP pribadi dari si customer.
Lalu, memikirkan soal modal (iya, uang) yang harus terus berputar. Apa lagi kalau usahanya sudah memiliki karyawan. Makin banyak lagi yang harus dipikirkan. Belum lagi karyawan yang tiba-tiba resign. Belum lagi… ah sudahlah.
Iya, itu cerita saya pribadi waktu awal berjuang membesarkan brand baju muslimah. Meskipun bisa belajar banyak dari semua prosesnya, kalau ditawari untuk mendirikan bisnis lagi, nggak dulu deh. Saya lebih memilih jadi karyawan aja.
Kenapa? Karena kemungkinan besar saya memang nggak berbakat di bidang usaha. Loh, kan baru satu jenis usaha aja yang digeluti? Siapa tahu di bidang kuliner rejekinya?
Menurut saya, semua kembali ke ‘feel’ alias ‘rasa’. Selama menjalankan usaha, saya merasa tertekan. Banyak hal yang berputar di kepala sampai-sampai saya pernah minum obat tidur hanya demi istirahat sebentar.
Itu baru satu jenis usaha, loh. Saya nggak punya energi lagi untuk memulai jenis usaha yang lainnya seperti kuliner yang jelas-jelas perjuangannya lebih keras daripada bikin oversize kulot.
Lalu, apakah saya tidak bisa hidup karena pernah gagal di dunia usaha? Nggak. Nih, saya masih hidup. Saat ini gaji saya juga lebih tinggi dari UMR kota tempat saya tinggal. Saya punya hidup yang teratur dan bisa dijadwalkan.
Saya bangun pukul empat pagi dan tidur pukul sembilan malam. Jarang lembur sih memang, karena sebisa mungkin saya gunakan waktu ketika ada di kantor. Pernah bawa pulang kerjaan? Pernah, sekali dua kali.
Yang paling membuat saya tenang adalah soal pemasukan. Sebagai karyawan kantor, saya memiliki penghasilan tetap. Dengan demikian saya nggak perlu khawatir mau makan malam apa atau mau coba skincare apa lagi bulan depan.
Kesehatan mental saya juga membaik. Meskipun kadang harus menghadapi lingkungan ataupun rekan kerja yang toksik, tapi semua bisa dilewati. Yang penting, saya nggak mimpi buruk lagi.
Jadi, menurut saya, nggak jadi pengusaha bukan sebuah masalah besar kok. Cuma seperti nggak mengikuti tren saja sedikit. Menjadi pebisnis sah-sah aja. Tapi, jangan jadikan motivasi itu untuk meremehkan profesi pekerja kantoran ya! (*/)