In Depth

STIGMA PADA KATA ‘NETIZEN’ AKIBAT DARI RENDAHNYA LITERASI DIGITAL

Awalnya kata netizen memiliki makna yang sangat netral. Kata tersebut memiliki arti ‘warganet’ atau warga internet; orang yang aktif menggunakan internet. Namun belakangan ini, ulah dari orang-orang berliterasi digital yang rendah mengakibatkan makna kata ‘netizen’ jadi berstigma negatif.

title

FROYONION.COM – Pada era globalisasi ini kita semua dihadapkan pada kemudahan-kemudahan. Sebelumnya mungkin buat sekedar menginformasikan sesuatu, harus pergi ke penerbit surat kabar. Itu pun nggak semuanya bisa mengakses atau mengirimkan informasi yang akan diberitakan. Cuma orang tertentu aja yang dapet akses dan memberikan informasi, misalnya jurnalis atau profesi sejenisnya.

Masyarakat umum yang bukan sebagai jurnalis, nggak diperbolehkan buat ngasih bahan informasinya. Meskipun boleh, peluang infonya nggak dipublish akan sangat besar. Karena hal itu menyangkut kepercayaan dan kebenaran informasi yang didapat.

Berbeda dengan jurnalis, yang dari awal emang udah ditugasin buat memperoleh info yang ada di tengah masyarakat. Mereka lebih dipercaya, karena menyangkut kredibilitas dan para jurnalis mungkin udah punya sertifikasi tertentu. Makanya penerbit lebih mengutamakan mereka.

Namun pada era sekarang, kesulitan menyebarkan informasi sudah sirna, yang ada hanyalah kemudahan. Informasi apapun yang lo punya, dengan gampangnya lo bisa sebarin ke orang-orang. Dengan sekali ‘klik’ aja semua info yang lo anggap penting bisa tersebar luas ke penjuru negeri, bahkan sampe ke mancanegara. Tanpa susah payah harus pergi ke penerbit, memohon, dan berdiskusi supaya info yang udah lo dapetin bisa dicetak dan disebarin ke masyarakat.

Adanya kemudahan menyebarluaskan informasi pada era sekarang, dan kemudahan untuk mendapatkan informasi pun kita rasakan. Hal itu terjadi korelasi berbanding lurus. Ketika memberi sesuatu itu mudah, maka mendapatkannya pun mudah pada era globalisasi ini.

Cuma rebahan di kasur aja, terus buka gadget dan scrolling media sosial, semua info akan mudah lo dapat. Tanpa lo harus menyusuri pinggiran kota. Nyari Bang Supri yang korannya selalu update dengan isu-isu hangat, dan kemudian lo membelinya. Hal itu menghabiskan waktu dan tenaga buat sekedar pengen tau apa yang sedang terjadi di dunia ini.

Tadi itu merupakan kebebasan dalam aspek informasi, baik itu menyebarkan maupun mendapatkan. Gimana dengan aspek lain, misalnya kebebasan berpendapat? Dengan adanya kemudahan informasi tadi, sebagian besar masyarakat udah sadar akan pentingnya hak asasi manusia. Kebebasan berpendapat termasuk di dalamnya. 

Pada era sekarang kita semua cenderung memiliki kebebasan itu. Apapun yang lo pikirin, dan opini yang lo punya, itu sangat boleh diutarakan. Justru, ketika ada orang tertentu membatasi opini orang lain, mengintervensinya dengan melakukan hal-hal tertentu yang ngebuat orang itu takut berpendapat, maka akan dengan mungkin dijatuhi hukuman. Karena kebebasan berpendapat dijamin oleh undang-undang, dan tindakan membatasi pendapat orang lain merupakan sebuah pelanggaran.

Namun semakin ke sini, berpendapat cenderung melenceng dari awal penciptaannya. Sebagian orang salah kaprah mengartikan kebebasan itu. Khususnya di dalam media digital saat ini, seperti Instagram, Twitter, TikTok, YouTube, dan media digital lainnya.

Alih-alih mengutarakan opini yang dimilikinya, netizen (warga internet) malah cenderung mengolok-olong orang tertentu dengan kedok kebebasan berpendapat dan kritik membangun. Padahal hal itu jauh dari makna kata tersebut. Itu yang biasa netizen sekarang lakukan.

Netizen biasa melancarkan aksinya saat mengetahui sesuatu yang nggak sejalan dengannya. Mereka cenderung berkehendak sesuai keinginannya aja, hanya memuaskan egonya, tanpa mempertimbangkan aspek lain. Dari semua tindakan buruknya, netizen seperti orang yang nggak memiliki sebuah empati.

Nggak sedikit lo menemukan kasus-kasus cyberbullying yang sedang marak dan memakan korban. Kebanyakan dari para korban ulah netizen mengalami depresi hingga memutuskan untuk “pergi”. Dampak tersebut sangat berbahaya jika terus dibiarkan, karena semakin dibiarkan maka akan semakin banyak korban.

Harus diatasi dengan cara apapun, misalnya dengan literasi digital. Dengan literasi digital, semua netizen akan paham apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan pada saat berinternet. Termasuk netizen nantinya akan tau dan paham bahwa berkomentar kasar, mengolok-olok orang lain merupakan sesuatu yang nggak boleh dilakukan.

Banyaknya kasus cyberbullying yang ditoreh atau dilakukan oleh netizen, menyebabkan makna dari kata ‘netizen’ itu sendiri jadi melenceng. Sehingga menciptakan stereotip baru yang menempel pada kata ‘netizen’.

Awalnya kata netizen memiliki makna yang sangat netral. Kata tersebut memiliki arti ‘warganet’ atau warga internet; orang yang aktif menggunakan internet. Namun belakangan ini, ulah dari orang-orang yang memiliki tingkat literasi digital rendah mengakibatkan kata tersebut jadi berstigma negatif.

Stigma negatif itu semakin kesini, semakin tebal. Coba aja lo denger kata ‘netizen’ hal apa yang pertama kali ada dibenak lo? Gue jamin sebagian besar pasti berfikir sesuatu hal yang buruk kan? Pasti nggak jauh-jauh sama anggapan “orang yang selalu berbuat semaunya; berkomentar pedas, buruk, dan nyakitin di sosial media.”

Bahkan dari semua tindakan egoisnya yang merasa benar, dan mengatur orang lain dengan kata-kata yang tidak pantas, sampai tercipta istilah “Netizen maha benar”. Istilah tersebut terbentuk dari frustasinya masyarakat, dengan ulah yang segelintir netizen selalu lakukan di internet. Termasuk juga sebagai satir dari fenomena tersebut.

Maka hal itu harus segera dimusnahkan, Civs. Karena nggak cuma berdampak pada orang yang terkena komentar jahatnya secara langsung, tapi dampaknya ke kita juga sebagai netizen yang nggak berkomentar jahat, pedas, dan menyakitkan.

Pemusnahannya bisa dengan cara sering-sering share materi tentang literasi digital. Supaya mereka paham bahwa ada batasan dalam berinternet, yaitu sesuatu hal yang boleh dan nggak boleh dilakukan.

Hal itu nggak cuma menyangkut orang lain yang menjadi korban, tapi juga menyangkut netizen (pelaku) itu sendiri. Karena sekarang ada undang-undangnya. Nggak mau kan dikenakan hukuman gara-gara kebodohan sendiri? Gara-gara nggak tau apa-apa tentang digital, dan nggak tau apa-apa tentang literasi digital.

Gue jamin dengan mereka paham dan mahir literasi digital, kasus-kasus semacam ini dapat dipastikan hilang dari muka bumi. Literasi digital sebetulnya nggak sekedar itu, tapi juga ngebahas tentang penipuan di internet, hoax, dan sebagainya. Minimal buat sekarang, netizen paham dulu tentang cyberbullying yang nggak boleh dilakukan.

Cara lainnya juga lo bisa share artikel ini ke temen-temen lo, keluarga lo, pacar lo, selingkuhan lo, hehe, atau semuanya orang yang lo kenal deh, biar pada tau penting banget yang namanya literasi digital ini. Dan biar nggak ada lagi pergeseran makna atau stigma yang nggak diinginkan dari kata ‘netizen’. Biar netizen tuh nggak dianggap negatif mulu.

Cara lainnya bisa juga lo cari info-info lebih jelasnya di internet terkait hal itu, Civs. Gue bilang zaman sekarang mah mudah banget dapetin info. Jangan males dan jangan sampe deh lo cuma jadi debu yang beterbangan, gara-gara tergerus zaman. Cuma karena lo nggak ngikutin perkembangannya. Selamat mencari info lebih dalam dan selamat menghadapi orang-orang ngeyel, Civs, hehe. (*/Photo credit: Austin Distel)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Afrija Nurul Hikam

Penulis anak kemaren sore yang berangan-angan ketemu hari esok yang cerah.