Kalau memang hanya seks yang dicari, tidak usahlah membungkus kesangeanmu dengan istilah-istilah halus. Apa biar kelihatan agak sedikit bermoral? Mencari keintiman di tengah kesangean sejati?
FROYONION.COM - Sebuah percakapan belum lama ini terjadi antara saya dengan seorang rekan match di aplikasi dating Bumble.
“Staycation yuk..”
“Mau ngapain? Nanti aneh-aneh…”
“Ya memang supaya untuk aneh-anehlah..”
Saya agak geli-geli gimana gitu, ketika ada orang yang mengajak saya staycation. Sebenarnya arti staycation yang dia sebut sungguhlah berbeda dengan makna sebetulnya. Kehidupan yang penuh dengan godaan setan ini membuat staycation mengalami pergeseran makna. Staycation yang dulunya bermakna liburan kini diplesetkan menjadi makna ena-ena.
Tampaknya untuk memberikan kesan luhur dan tidak terlalu sangean, ketimbang to the point bilang, “Yuk having sex..” ngomong “Staycation mau enggak?” lebih sopan—padahal ya maksudnya sama kan, ingin menuntaskan nafsu. Mau dibikin istilah “sehalus” apapun, kalau memang mau ngajak seks ya udah seks aja kaleee.
Dan sekarang, istilah staycation diganti menjadi sleepover date. Kencan semalam suntuk yang tentu saja berbungkus seks. Saya tidak menimpali ajakannya, dan justru malah menggali pengalamannya.
Dia menjawab pertanyaan saya secara terbuka, ketika dia tahu kalau saya mengunduh aplikasi dating untuk tujuan penelitian tesis (kalau memang jadi dilanjutkan). Saya berencana mengambil tema perubahan ekspresi seksualitas dan pemaknaan keintiman pengguna aplikasi dating Bumble untuk penelitian.
“Pernah sih…,” begitu jawabnya, saat saya tanyakan apakah dia pernah berakhir dengan sleepover date dengan salah satu teman match di aplikasi dating. Dia—kita sebut saja namanya Joni (28), cerita kalau dia pernah bertemu dengan seorang match di suatu kota di Jawa Timur.
Ceritanya si cewek ini main ke rumahnya si Joni malam-malam. Dan berakhir dengan having sex. Menurut Joni, si cewek yang memberikan kode duluan yang disambut Joni. “Sebenarnya aku ada sedikit rasa dengan dia, tapi kayaknya dia enggak…” begitu kata Joni.
Joni cerita ke saya, kalau dia ingin mengulangi “pengalaman” menyenangkan tersebut, dan mengajak si cewek. Si cewek menyanggupi dengan syarat, mereka harus menginap di kamar dengan pemandangan balkon dan bathtub. Joni menyanggupi, tapi di luar ekspektasi, setelah mengikuti persyaratan si cewek, di hari H, si cewek tidak datang. Gagal deh sleepover date yang didamba-dambakan Joni.
Sebelum bertemu Joni, saya mengenal Tatang (36). Kita sebut saja namanya Tatang, karena kebetulan laki-laki ini bersuku Sunda. Saya iseng memintanya berbahasa Sunda, dan dia turuti.
Sesungguhnya, saya baru pertama kali bertemu dengannya ketika kami nge-date di suatu malam, di bilangan Cikini. Kami berkenalan lewat DM Instagram yang saya ladeni, karena dia menanyakan buku saya “Sebab Kita Semua Gila Seks” (2021), dia bermutual dengan teman dekat saya, dan yang terakhir dia cukup terdidik dengan profesi pekerja kreatif.
Pada umumnya semua orang suka dengan orang pintar ya, tapi kita perlu tanamkan baik-baik di otak, pendidikan tidak menjamin manusia punya ikhtiar baik pula. Anyway, saya termasuk orang yang senang meladeni orang yang baru dikenal.
Saya langsung contohkan saja. Ketika menuliskan tulisan ini, saya baru melakukan perjalanan Yogyakarta – Surabaya dengan kereta api. Saat di kereta, saya mendengar obrolan kalau orang yang duduk di belakang saya sedang membicarakan kampus di Yogyakarta. Saya gatal ingin nimbrung kalau saya juga kuliah di tempat sama. Untung saya menahan diri. Saya sudah cukup sering melibatkan diri pada hal-hal yang tidak berfaedah.
Seperti ketika saya meladeni pertemuan dengan pembaca buku saya secara random. Ujung-ujungnya dia cerita ngalur-ngidul sampai lewat jam 12 malam. Saya ladeni, padahal paginya saya harus berangkat ke Yogyakarta.
Mungkin karena saya mantan wartawan atau terlalu kepo, jadinya suka saja menerima ajakan dan obrolan asing, untuk mengetahui sejauh mana pertemuan ini akan membawa. Begitulah…
Jadi panjang banget yak! Kita balik lagi ngomongin si Tatang. Ketika kami ngedate di bilangan Cikini tersebut, dan suasana sedikit “menghangat”, dia mengajukan proposal untuk mencari tempat yang cukup privat, “Yuk, ke hotel…”
“Mau ngapain di hotel?” saya bertanya oon.
“Ya, ngobrol-ngobrol saja…” jawabnya.
“Masak hanya ngobrol?” kata saya lagi.
“Iya, ngobrol…” jelasnya.
Saya jadi teringat dengan beberapa ajakan sebelumnya yang meminta pertemuan untuk dilakukan di hotel dengan alasan supaya obrolan lebih privat.
Lha, memang apa sih yang mau diobrolin sampai membutuhkan ruang privat? Ngapain lagi coba cari hotel, kalau bukan untuk SEKS? Enggak mungkin kan main kartu atau beneran deep talk?
Seperti halnya Joni, Tatang cerita kalau dia pernah beberapa kali melakukan deep talk di kamar hotel. Ngobrol-ngobrol lucu yang diakhiri dengan having sex. “Setelah having sex, aku lanjut kerja..”
Menurut Tatang, seks buatnya adalah pelepasan dari kesibukannya yang padat sebagai asisten sutradara (yaah ketahuan deh profesi Tatang :D). Dia kerap kali menerima pekerjaan yang membuatnya syuting gila-gilaan.
Terus Tatang cerita lagi, kalau dia sedang tidak bisa menjalin relasi serius karena load pekerjaannya, sementara dia membutuhkan seks sebagai pelepasan, jadinya dia mencari seks-seks kasual. Ngakunya sih dia tidak menggunakan aplikasi dating, melainkan dari pertemanan ataupun mutual, seperti yang sedang dia lakukan ke saya.
Tatang cerita lagi, dia suka dengan deep kissing. Menurutnya, dia merasa diinginkan ketika melakukan ciuman panjang yang dalam. Saya agak bingung dengan alasannya. Kalaulah dia memang menginginkan sensasi diinginkan, kenapa dia tidak mencari relasi yang membawa dia kepada diinginkan selamanya, bukan hanya semalam, apalagi beberapa jam saja?
Konsep sleepover date ataupun staycation kan menghabiskan waktu semalaman dan membangun sesuatu yang “intim”. Kalau memang hanya seks yang dicari, tidak usahlah membungkus kesangeanmu dengan istilah-istilah halus. Apa biar kelihatan agak sedikit bermoral? Mencari keintiman di tengah ke-sange-an sejati?
Duh, ribetnya jadi manusia!
***
Tren sleepover date, staycation, dan lain-lainnya itu cukup meresahkan. Apalagi kalau istilah ini dianggap sebagai tren yang perlu dituruti supaya tidak FOMO (fear of missing out). Jadilah, anak-anak muda berduyun-duyun mencoba dan mempraktikkannya.
Melakukan tanpa pernah mempertimbangkan konsekuensi dari berhubungan seks tanpa pengaman, dengan orang asing, dengan pacar tanpa memaknai seks yang sebenarnya, bagaimana hubungan yang sehat dan sewajarnya. Tidak ada kebanggaan dan kepuasan dari itu.
Pada akhirnya, hubungan yang kilat hanya akan membawa pada hasil akhir yang cepat usai juga. Seperti kembang api, yang sparkling-nya hanya sementara. Jangankan kilaunya, sisa asap dan bau percikan apinya bahkan tak tercium lagi.
Ya iya sih, itu kelaminmu, suka-sukamu. Tapi, jangan sampai sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak ada gunanya. Ingat lho, bermain air basah, bermain api terbakar. Kalau bukan hati yang terbakar, bisa jadi kelaminmu yang “terbakar”. Nah, lho! (*/)