Zaman sekarang sering banget kalo lagi kenalan sama orang dan ditanya umur, mereka kasih respon, “Wah millennial, ya?” atau “Duh, masih muda banget. Gen Z ya kamu?”. Kategori generasi ini tampak normal diselipin dalam percakapan. Tanpa sadar, hal ini bisa jadi tanda-tanda diskriminasi usia.
FROYONION.COM - Jalan hidup orang emang beda-beda. Ada yang lahir di desa, ada juga yang di perkotaan. Ada yang dari lahir udah tajir melintir, ada juga yang harus berjuang mendefinisikan tujuan hidupnya. Ada yang sukses dengan jadi budak korporat, ada juga yang bahagia menjadi seniman.
Tapi ada satu hal pasti yang akan dialami semua orang. Nggak peduli seberapa banyak harta yang dia punya, sebahagia apa hidupnya, atau setampan dan secantik apa rupanya. Jadi tua.
Yup, jadi tua pasti akan kita alami suatu saat nanti. Kita yang sekarang masih bisa aktif 24/7, suatu saat pasti ngalamin sakit pinggang dan encok. Yang sekarang masih bisa begadang setiap hari. Suatu saat pasti bakal menghargai waktu tidur sebelum fajar menyingsing. Yang sekarang mungkin masih nakal, serong kanan dan kiri, nanti pasti mikir, “Gue zaman muda kok nakal bener, ya?”.
Masa-masa itu pasti akan kita lalui, cepat atau lambat. Kalo lo lagi suka sebel sama ortu sendiri, siap-siap aja dibikin kesel sama anak lo suatu hari nanti. Yang namanya hidup pasti terus berputar dan semua pasti ada masanya.
Tapi, ternyata nggak semua orang bisa menerima hal ini. Ada beberapa orang yang nggak terima kalau harus jadi tua dengan kulit kendor dan wajah keriput. Makanya serangkaian skin care bergaransi anti-aging laku banget di pasaran. Ada juga berbagai perawatan facial yang pake darah sendiri untuk dijadiin masker wajah. Agak creepy, tapi banyak juga peminatnya.
Kalo level nggak terimanya cuma sekedar merawat diri biar awet muda, masih nggak masalah. Yang bisa bikin geger, adalah jika pandangan kita soal menjadi tua mempengaruhi perspektif kita melihat generasi di atas kita.
Kalo kita sering denger perkataan, “Kalo di kasih tahu sama orang tua, bilang iya aja. Kan mereka jauh lebih tahu dari lo yang masih bau kencur,” atau sebaliknya seperti, “Kerjaan kayak gini orang tua mana ngerti sih? Kan pikiran mereka kolot semua,” hati-hati.
Karena itu adalah awal dari diskriminasi usia, atau bahasa kerennya, ageism.
MEMAHAMI AGEISM
Dilansir dari Global Report on Ageism yang dirilis oleh World Health Organization, ageism adalah stereotip (bagaimana kita berpikir), prasangka (bagaimana kita merasa), dan diskriminasi (bagaimana kita bertindak), kepada orang lain menurut umur mereka.
Masih satu rumpun dengan -ism lainnya, seperti sexism (diskriminasi berdasar jenis kelamin), racism (diskriminasi berdasar ras), dan lain sebagainya, ageism juga termasuk cerminan dari masyarakat global memandang sesuatu.
Diskriminasi umur ini ternyata udah ada sejak kita kecil. Seperti bagaimana ‘seharusnya’ kita melihat kaum lansia yang lekat dengan citra lemah, udah di penghujung umur, dan membosankan. Atau bagaimana kita ‘seharusnya’ melihat anak muda, seperti penuh semangat, gairah, teledor, dan sebagainya.
Infografis yang dirilis oleh WHO terkait ageism. Menjelaskan kalo ageism ada di mana-mana dan bisa mempengaruhi kehidupan sosial kita.
Secara nggak langsung, kita dari dulu udah kenal dengan stereotip satu ini. Dampaknya kepada kehidupan sehari-hari bisa dalam berbagai macam bentuk dan level.
Level pertama mainnya masih di dalam pikiran aja. Misal kalo di lingkungan pekerjaan dan punya teman kerja yang jauh lebih muda, bisa muncul pikiran seperti, “Ah, masih muda nih. Pasti dia nggak tahu apa-apa,”. Atau kalo punya partner kerja yang jauh lebih tua, pemikiran seperti, “Waduh beda umurnya jauh juga ya. Pemikirannya kolot nih biasanya,” bisa aja muncul.
Kalo pemikiran ini terus dilestarikan bahkan dipupuk, bisa berlanjut ke level kedua yaitu mempengaruhi bagaimana kita merasa. Kalo udah pake perasaan, biasanya agak susah untuk dikasih tahu apa yang bener. Misal melanjutkan percakapan tadi soal partner kerja yang lebih muda, bisa aja kita jadi merasa, “Hadeh udah nggak tahu apa-apa, nggak bisa apa-apa pula. Kerjaannya nggak pernah bener dan bikin kesel doang!”.
Begitu mempengaruhi perasaan kita, akan lebih mudah untuk mempengaruhi bagaimana kita bertindak. Misal kayak nggak ngasih kerjaan yang berat-berat ke teman kerja yang lebih muda karena udah beranggapan dia nggak bisa. Atau nggak mau diskusi sama rekan yang lebih tua karena ngerasa pendapat dia pasti cuma ganggu rencana awal lo.
Semua itu adalah contoh dampak dari diskriminasi usia di dunia kerja. Gimana kalo di lingkungan keluarga? Wah, mungkin dampaknya akan lebih gede yah. Nggak jarang kasus-kasus diskriminasi bisa muncul di keluarga sendiri.
Yang jelas, WHO udah bilang secara terang-terangan kalau ageism ini banyak banget pengaruhnya. Bahkan bisa mengurangi angka harapan hidup dan produktivitas kerja. Ditambah lagi ageism bisa bercampur dengan -ism lainnya kayak rasisme. Hal ini bisa kasih dampak sosial yang lebih besar lagi.
WHO juga bilang kalo penyebaran ageism ini erat kaitannya dengan peran media, termasuk media sosial. Kalo di Indonesia sendiri, gimana yah?
HAL YANG SERING KITA LAKUIN DAN NGGAK SADAR KALO ITU AGEISM
Ternyata ageism termasuk sering kita lakukan, loh. Nggak percaya?
Contohnya, coba simak percakapan di bawah ini:
A (orang tua) : “Halo, B. Kamu umur berapa?”
B (lebih muda) : “Halo, saya umur 25 tahun.”
A : “Wah, generasi millennials dong?”
B: “Hehe, iya bisa dibilang begitu.”
A: “Wah pemikirannya kreatif dong harusnya. Coba, pendapat kamu soal anak ayam yang ditampol kucing tuh gimana?”
B: “Menurut saya, hal itu nggak bener. Karena nggak seharusnya anak ayam ditampol sama kucing. Hak-hak anak ayam untuk merasa bebas bermain jadi terkekang karena perilaku kucing itu.”
A: “Hmm, yakin kamu? Itu buah pemikiran kamu sendiri?”
B: “Hah? Iya dong…..” *tampak bingung denger pertanyaan si A*
Dari contoh percakapan di atas aja (mohon maaf kalo agak nyeleneh, hehe) udah kelihatan beberapa stereotip yang dilontarkan A ke B.
Ternyata, percakapan serupa tapi tak sama beneran terjadi di salah satu acara televisi Indonesia, ROSI-Politik Kebohongan dan Politik Sontoloyo, saat pembawa acara sedang ngobrol sama salah satu narasumber yang tergolong lebih muda dibanding narasumber lainnya.
Itu contoh pandangan generasi tua ke generasi muda yang secara nggak sadar udah mendiskriminasikan orang lain berdasar umur.
Menyisipkan kalimat yang bilang, “Oh, millennials ya? Oh Gen Z ya?” dan lain-lain emang tampak normal. Tapi dari perkataan itu udah mencerminkan bagaimana kita memandang seseorang dengan mengkotakkan mereka berdasarkan umur.
Dalam contoh percakapan A dengan B, A melihat B sebagai anak muda yang millennials serta berbagai citra millennials yang seakan-akan otomatis melekat di diri B.
Oh, anak muda pasti kreatif. Pasti inovatif. Pasti blablabla. Tapi di sisi lain, juga mempertanyakan apakah opini mereka bisa dipercaya karena masih muda.
Kebayang kalo hal ini dinormalisasi dan terjadi di mana-mana. Suara anak muda akan lebih sulit dianggap serius, apalagi didengar.
Tentunya hal ini bisa terjadi di mana-mana dan kepada siapa aja. Bisa mempengaruhi bagaimana kita ngeliat generasi di atas maupun di bawah kita. Tapi yang jelas, mengkotak-kotakkan kemampuan seseorang berdasar umurnya udah nggak relevan lagi.
Setelah baca artikel ini, apakah lo jadi sadar kalo pernah melakukan ageism tanpa sadar? Kalo gue sih, iya. Dan gue jadi lebih aware sama bagaimana gue memandang orang lain.
Ageism ini bisa jadi berbahaya loh kalau terus dilestarikan. Nggak mau kan kemampuan lo dinilai dari berapa umur lo?
Jadi, yuk mulai aware sama ageism. (*/)