In Depth

SELF-DIAGNOSIS LEWAT KONTEN TIKTOK NGGAK BIKIN MENTAL KAMU MEMBAIK

Mending kalian ngaku sekarang, ada nggak yang masih suka self-diagnosis? Tapi mending tobat sekarang juga, soalnya bahaya banget, lho. Simak selengkapnya di artikel ini!

title

FROYONION.COM – Siapa hayo disini yang masih suka ngeliat konten-konten di media sosial berkaitan dengan kesehatan mental dan jatuhnya malah self-diagnosis?

Kalau kamu merasa begitu, aku saranin udahan deh. Kok gitu? Ternyata konten ini bisa lebih berbahaya daripada bermanfaat, banyak akademisi yang khawatir mengenai fenomena ini loh.

Konten kesehatan mental di media sosial seperti TikTok, sekarang ini memang marak sekali bermunculan. Bahkan konten seperti ini banyak sekali menarik jutaan hingga puluhan penayangan di setiap videonya.

TikTok, sebagai sebuah media sosial populer dari Tiongkok, memiliki pengaruh besar di Indonesia dengan 127 juta pengguna pada tahun 2024, menjadikannya media sosial terpopuler kedua setelah YouTube.

ByteDance, perusahaan yang mengoperasikan TikTok, mengumumkan bahwa TikTok advertising menjangkau 45,5% orang dewasa di Indonesia, dan 68,5% dari pengguna internet.

Dalam satu tahun terakhir, TikTok semakin populer di kalangan pria, dengan 53,5% pengguna berjenis kelamin pria dan 46,5% wanita.

Pengguna TikTok sebagian besar terdiri dari Gen Y (Milenial) dan Gen Z. Menurut analisis Media dan Hiburan oleh Kevin Tran dari Morning Consult, penelitian terbaru menunjukkan bahwa Gen Z lebih suka mencari informasi melalui TikTok dibandingkan dengan Google, termasuk informasi tentang penyakit dan masalah kesehatan.

Sebesar itulah kira-kira pengaruh TikTok di Indonesia hingga beberapa ahli kesehatan mental khawatir bahwa kesadaran kesehatan mental yang disebarkan melalui TikTok bisa menjadi kontraproduktif.

BACA JUGA: MUSISI ZAMAN SEKARANG MEMBUAT LAGU YANG ‘TIKTOK ORIENTED’, EMANG BOLEH?

Kemunculan video yang menampilkan gejala penyakit mental tertentu dapat mendorong penontonnya untuk mendiagnosis diri sendiri.

Contohnya adalah konten seperti "Ciri-ciri kamu terkena bipolar" atau "POV terkena ADHD" yang menunjukkan sudut pandang seseorang dengan penyakit mental lainnya.

Kemunculan konten semacam itu menyebabkan dua hal: pertama, sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran tentang isu kesehatan mental, terutama bagi masyarakat awam. Kedua, yang cukup serius, adalah mendorong penontonnya untuk melakukan self-diagnose.

Kebanyakan dari konten tersebut tidak dibuat oleh orang-orang profesional di bidang kesehatan mental dan beberapa bahkan mendorong penontonnya untuk mendiagnosis diri sendiri.

Hal ini tentu saja bisa membuat orang salah paham mengenai emosi dan perasaan umum, menganggapnya sebagai tanda gangguan seperti kecemasan, depresi, atau ADHD. 

BACA JUGA: TIKTOK SOUND ‘BROWN NOISE’ DICAP JITU BIKIN CEPAT TIDUR, EMANG IYA?

Misalnya, video yang menggambarkan ‘kecemasan’ sebagai gangguan yang sangat parah, padahal sebenarnya semua orang mengalami kecemasan di waktu-waktu tertentu memang adalah sebuah hal yang wajar.

Dr. Lucy Foulkes, seorang psikolog di Universitas Oxford, mengatakan bahwa kampanye dan postingan di media sosial seringkali membuat orang mengartikan gejala ringan sebagai tanda gangguan serius. Ini disebut "inflasi prevalensi," dimana masalah kecil dianggap sebagai penyakit mental.

Selain kecemasan, topik kesehatan mental lain ada topik lain yang cukup populer dan sering dibahas di TikTok seperti layaknya autisme, ADHD, gangguan kepribadian borderline, dan OCD.

Tak jauh berbeda, Jackie Nesi, asisten profesor di departemen psikiatri dan perilaku manusia di Universitas Brown dikutip dari Psychiatrist.com bahwa konten seperti ini bisa menyebarkan kesalahpahaman dan informasi yang salah.

“Mendiagnosis penyakit mental sebenarnya cukup rumit, dan ada banyak faktor yang terlibat. Orang-orang – terutama yang muda – mungkin percaya bahwa mereka punya diagnosis yang sebenarnya tidak berlaku untuk mereka.”

Kesalahpahaman ini bisa membuat informasi salah yang mereka coba hilangkan malah menyebar lebih luas. Misalnya, ada penonton yang percaya bahwa bernapas dalam-dalam adalah obat untuk kecemasan atau bahwa tanda zodiak tertentu rentan terhadap psikosis.

“Ada risiko meremehkan gejala yang sebenarnya bisa sangat serius atau membuat sesuatu yang sangat serius jadi lelucon, sehingga tampak seolah-olah ini bukan masalah nyata,” tambah Nesi.

Konten kesehatan mental buatan sendiri kadang mengambil stereotip dari TV, film, dan media lain. Konten semacam ini bisa meyakinkan penonton bahwa mereka tidak punya masalah jika mereka tidak cocok dengan gambaran yang ditampilkan. Akibatnya, mereka mungkin tidak mencari bantuan yang sebenarnya mereka butuhkan.

“Itu mungkin karena kita tidak punya pendidikan dan informasi yang baik tentang penyakit mental, jadi banyak orang bergantung pada apa yang mereka lihat di media,” kata Nesi.

Banyak konten yang secara tidak langsung mendorong pemirsanya untuk mendiagnosis diri sendiri. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, sangat rentan untuk mendiagnosis dirinya sendiri memiliki gangguan kesehatan mental.

JANGAN SALAH PILIH KONTEN MENTAL HEALTH DI TIKTOK 

Beberapa profesional kesehatan mental, seperti Dr. Sasha Hamdani, berpendapat bahwa perhatian pada kesehatan mental di TikTok bisa bermanfaat.

Banyak pasiennya pertama kali mempertimbangkan diagnosis setelah melihat konten di TikTok, yang membuat mereka lebih terbuka untuk berdiskusi tentang kondisi mereka.

Namun, dia juga mengakui bahwa platform ini dipenuhi dengan informasi yang salah.

Ada juga argumen bahwa manfaat utama dari video kesehatan mental di TikTok adalah komunitas yang mendukung yang terbentuk di sekitar video tersebut.

Banyak komentar di video-video ini bersifat positif dan memberikan dukungan, saran, dan pengalaman pribadi.

Konten kesehatan mental di TikTok adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong orang untuk mencari bantuan. Disisi lain, mereka bisa menyesatkan dan menyebabkan diagnosis diri yang salah.

Oleh karena itu, penting bagi para profesional kesehatan mental untuk terlibat dan memastikan bahwa informasi yang benar dan bermanfaat tersedia di platform ini.

Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal mengalami masalah kesehatan mental, langkah yang baik adalah mencari bantuan dari profesional kesehatan mental. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis