Banyak perusahaan secara terang-terangan menekankan kepada seluruh karyawannya untuk siap bekerja di bawah tekanan bahkan sejak dari awal proses rekrutmen. Apa dampak yang akan terjadi jika hal ini terus diterapkan?
FROYONION.COM – Tuntutan pekerjaan yang tinggi memang menjadi momok bagi sebagian besar kaum millennial dan Gen-Z yang saat ini sudah terjun ke dalam dunia kerja. Target yang sering melebihi kemampuan adalah masalah yang paling sering dikeluhkan, sehingga menimbulkan banyak pandangan mengenai hal ini.
Sebagian orang menganggap bahwa dengan memberikan tekanan yang lebih kepada para pekerja dapat meningkatkan pendapatan perusahaan yang lebih besar, itu berarti jika kita bekerja semakin ‘gila’ maka hasil yang didapatkan juga akan sangat fantastis. Ada juga yang berasumsi bahwa meluangkan waktu bekerja lebih lama akan mempercepat kesuksesan.
Kerja keras sendiri memiliki artian yang cukup luas. Secara umum, kata ini bisa bermakna melakukan suatu kegiatan secara sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kerja keras juga dapat diartikan sebagai cara seseorang untuk meraih cita-citanya dengan melakukan aktivitas berulang dan dalam waktu yang cukup lama.
Budaya kerja keras memang sudah diperkenalkan oleh orang tua kita sejak kecil, tapi mungkin kita tidak pernah membayangkan seberapa ‘kerasnya’ kehidupan selepas lulus dan terjun ke dunia kerja. Banyak yang kesulitan melamar pekerjaan karena kemampuannya tidak sesuai dengan kebutuhan industri, atau justru pengalamannya dinilai terlalu banyak sehingga perusahaan tidak mampu membayarkan upah sesuai harapan.
BACA JUGA:
BALADA OVERQUALIFIED: SUSAH DAPAT KERJAAN KARENA TERLALU BANYAK PENGALAMAN
Tidak hanya karena skill yang dimiliki kandidat karyawan saja, terkadang atasan di dalam sebuah perusahaan juga menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap bawahannya dengan menambah beban pekerjaan. Alhasil, banyak orang yang akhirnya menyingkirkan waktu pribadi dan terpaksa menambah jam kerjanya demi target yang harus dicapai sesegera mungkin. Yang lebih parahnya lagi, fenomena ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan bahkan menahun. Apalagi tidak semua perusahaan mau memberikan hak uang lembur.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, tingkat pekerja di Indonesia yang bekerja melebih waktu yang ditetapkan pemerintah cukup tinggi. Selama lima tahun terakhir, rata-rata orang kantoran bekerja overworked tertinggi adalah di tahun 2018 yaitu 41,8 jam, yang seharusnya batasnya hanya 40 jam per minggu. Di tahun 2022, nilai ini mengalami penurunan menjadi 40,02 jam per minggu, namun hal ini masih melebihi ketetapan jam kerja seharusnya.
Terlalu lelah karena bekerja berlebihan akan menimbulkan masalah baru yaitu burnout. Sebuah studi mencatat bahwa fenomena kelelahan ini bisa menyerang fisik dan mental bagi penderitanya.
Kesehatan Fisik
Salah satu dampak nyata yang paling awal terlihat adalah menurunnya konsentrasi dan kondisi kesehatan. Masalah-masalah seperti sakit kepala, anemia, hingga serangan jantung sangat memicu terjadinya human error di lingkungan kerja.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout dalam bekerja ini muncul seperti sebuah fenomena baru sejak tahun 2019. Permasalahan bekerja berlebih nampaknya sudah menjadi isu internasional yang cukup kompleks dan sulit dihentikan, melihat beragamnya budaya kerja dari masing-masing negara saat ini perlu diteliti lebih jauh lagi dan tentu membutuhkan waktu yang lama.
Kesehatan Mental
Masalah ini akan berujung sangat serius apabila tidak hanya kesehatan fisik yang terganggu, namun juga mental bagi para pekerja. WHO menambahkan, sindrom burnout ini bisa menimbulkan kecemasan berlebih, energi dan pikiran negatif, serta menurunkan tingkat produktivitas dalam bekerja. Jika hal ini terus-menerus terjadi, dikhawatirkan kualitas kesehatan pekerja menjadi lebih cepat menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sebuah survey mencatat, sekitar 68% orang Indonesia rela meninggalkan gajinya yang besar beserta tunjangan dan bonus yang diperoleh demi kesehatan mental yang lebih baik, dan sekitar 84% dari pekerja sudah berencana untuk resign dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Secara garis besar, nominal gaji yang besar dan tempat kerja yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan kenyamanan seseorang dalam bekerja. Memperhatikan kesehatan fisik dan mental di tengah-tengah era yang serba cepat seperti sekarang ini memang menjadi suatu kebutuhan primer yang banyak dicita-citakan oleh sebagian besar orang di usia produktif. (*/)