In Depth

ROTI DAN SELAI, BUNGA DAN KUMBANG, MUSIK DAN VISUAL, VISUAL DAN MUSIK

Berikut merupakan hasil pemikiran saya tentang relevansi musik dan visual selama bangku kuliah. Silakan dibaca beberapa ratus kata berikut.

title

FROYONION.COM - Pengulangan kata pada judul tersebut dihasilkan dari pengalaman kuliah desain berdurasi empat tahun sambil tidak sengaja nyemplung ke ‘skena’ musik, yang sampai akhirnya berujung pada perancangan sekaligus penelitian di tugas akhir saya dengan bahasan tersebut.

Poin pertama yang harus digaris bawahi, artikel ini bukan bermaksud untuk membahas tentang visualisasi musik yang sering dilakukan mahasiswa seni untuk menciptakan posting-an Instagram yang edgy dalam merespon suatu musik baru yang mereka anggap keren.

Seperti yang sudah diketahui semenjak duduk pertama kali di bangku kuliah desain dan dijelaskan oleh dosen sambil menertawakan mahasiswanya karena jawaban yang ngaco-ngaco, bahwa desain merupakan sebuah pemecahan masalah.

Dalam satu hingga dua dekade ke belakang, pergantian zaman terjadi dengan cepat, yang akhirnya berakibat pada industri musik yaitu pada masalah yang bisa disebut sebagai kepanikan industri musik dalam pemasaran karya musisinya. Contoh yang terlihat seperti penjualan album musik di toko ayam goreng dan juga supermarket berlabel ‘Indo’. 

Kasus di atas dikukuhkan kebenarannya oleh Teguh Wicaksono, salah satu punggawa dari tim Sounds From the Corner, yang menyatakan, “Hal-hal yang menjadi pemicu masalah tersebut yaitu daya adopsi model bisnis digital yang lemah, pembajakan yang tidak ada obatnya, dan daya beli rendah & perangai konsumsi yang bergeser.”

BACA JUGA: PUNYA SELERA MUSIK BAGUS BIKIN COWOK AUTO-GANTENG, EMANGNYA IYA?

Penemuan-penemuan masalah tersebut menjadikan musisi harus memutar kepalanya untuk dapat menjual karya-karyanya dan mendapatkan timbal balik apresiasi yang sebanding dengan apa yang dikeluarkan. Lalu yang akhirnya saya pikir, hal yang selama ini saya pelajari dari kuliah desain tepatnya desain grafis menjadi solusi pada masalah tersebut.

Desain tersebut hadir dengan bentuk yang bisa saya simplifikasi sebutannya menjadi identitas visual, identitas visual menjadi media yang hadir menjawab masalah-masalah tersebut sebagai media utama dalam masa kehidupan digital ini. Namun, seorang teman berpendapat “Hah? Visual bukannya memang dari dulu sudah ada di industri musik?”. 

Tunggu-tunggu mari kita jawab perlahan.

Idhar Resmadi, seorang jurnalis musik senior dari Kota Bandung yang sekaligus dosen saya di kampus desain, memberi pendapat pada fenomena visual dan musik di zaman sekarang, beliau mengatakan:

“Identitas visual dapat menggambarkan bagaimana persona dari sebuah grup musik dan isi/pesan dari sebuah album musik seperti dalam pilihan aspek warna, objek desain, dan lain lain. Akan berbeda setiap pilihan aspek desain sebuah album musik yang membicarakan kritik sosial dan sebuah album musik yang membicarakan tentang alam,”

Maksud dari sepotong ucapan yang saya cantumkan berikut merupakan bagaimana cara identitas visual dapat hadir dalam sebuah karya musisi di zaman sekarang. Memang sudah lama sebuah visual bersinggungan dengan dunia musik, dari sampul album yang selalu menjadi top of mind orang-orang yaitu The Dark Side of the Moon milik Pink Floyd, logo ikonik dari grup musik Rolling Stones, dan bendera yang akan selalu ada pada setiap konser milik grup musik Slank.

Namun, pergeseran pola konsumsi dan cara apresiasi pendengar musik pada musisi, menciptakan sebuah identitas visual yang tidak hanya hadir pada sebuah sampul album, logo grup musik, atau bendera kebanggaan penggemarnya saja. Tapi juga hadir sebagai media yang menyampaikan pesan karya yang akan muncul di setiap media promosi karyanya. Ada banyak, tapi salah satunya adalah media sosial yang menjadi primadona di zaman digital ini.

BACA JUGA: USIA MUSIK: BAGAIMANA SELERA MUSIK CERMINKAN FASE HIDUP SESEORANG

Dari zaman dahulu, setiap musisi menciptakan karya akan tetap sama alasannya, apa yang disampaikan sebuah musik adalah pesannya, yang berubah hanya media untuk dapat menyampaikan musik tersebut ke kuping para pendengar. 

Mungkin dari zaman orang-orang hanya mendengarkan musik melalui radio sampai hunting ke toko-toko musik untuk mendapatkan CD atau kaset dari album kesukaan mereka. Akhirnya hadir zaman di mana semua kebutuhan menjadi digital, beberapa sektor industri kebingungan bagaimana harus beradaptasi mendistribusikan barangnya, termasuk industri musik.

Saat identitas visual menjadi sebuah media pada pesan karya dan dapat menghasilkan konsistensi dan ambient pada apapun yang dapat direfleksikan karyanya pada zaman digital ini, identitas visual akan menyampaikan sebuah karya hingga menggaet mata para pendengar musik yang akhirnya menghadirkan timbal balik rasa apresiasi yang tinggi. Salah satu kerabat saya, Ferdin MaulanaEditor In Chief dari media musik arus pinggir yaitu Incotive pun mengatakan:

“Salah satu faktor suksesnya sebuah karya musisi yaitu dari segi penyampaian/delivery, dalam artian bagaimana cara sebuah grup musik menyampaikan konsep dan teknis dalam albumnya ke para pendengarnya, seperti jika membawa tema mental-illness dalam sebuah album penyampaiannya tidak hanya terpaku pada liriknya saja tapi juga berbicara soal ambient yang dibawa pada para pendengar lewat identitas visual, media promosi, konsep pertunjukan, dan lain lain”.

Seperti beberapa musisi yang telah sadar untuk melakukan hal tersebut, nama yang selalu disebut setiap narasumber yang saya wawancarai untuk perancangan tugas akhir, yaitu Hindia. Lewat pesan yang disampaikannya mengenai “diri sendiri” dikemas dalam visual dan konten yang kuat pada media sosial, dokumentasi konser, paket album, video klip, dan merchandise. Menghasilkan nama Hindia yang bertengger di top chart layanan streaming musik Spotify juga jangan lupakan penggemar militannya di media sosial.

(Sumber: instagram.com/wordfangs)

Lalu seperti Kelompok Penerbang Roket, dengan album Galaksi Palapa-nya yang hadir bersama illustrator muda berbakat yaitu GunkBudi. Membawakan tema science fiction tentang penelusuran luar angkasa visual dan musik psychedelic-rock khas 70-an menciptakan ambient tersendiri dalam album ini melalui ilustrasi, penerapannya pun beragam dari sampul album, media sosial, bumper video saat manggung, merchandise, hingga sebuah film yang menjadi pengantar album tersebut. 

Hasilnya jika melihat dan mendengar hasil albumnya secara keseluruhan seorang teman sampai berkata “Anjir kaya di luar angkasa tapi trippy begini ya”, kesan yang akhirnya mengantarkan karya pada apresiasi lebih pendengarnya.

(Sumber: instagram.com/penerbangroket)

Lain-lainnya lagi ada BarasuaraThe Panturas.FeastKunto AjiPetra Sihombing, ya bisa kalian lihat di media sosial dengan penampakan yang berbeda dari yang lain. Memang belum terlalu banyak musisi yang mengambil langkah ini secara utuh, tapi jika disebutkan akan terlalu penuh juga paragraf ini untuk menyebutkannya satu persatu. Hormat untuk musisi-musisi yang sudah membuka jalan untuk desain grafis dapat lebih terjun ke dalam industri musik.

Sebenarnya lebih jauhnya lagi apresiasi dari penggemar akan hadir atas keterlibatan langsung pendengar pada karya seorang musisi. Pengalaman yang didapatkan pendengar secara langsung dari produk-produk musik menjadi poin yang dapat mengaktivasi kembali rasa apresiasi secara langsung pendengar yang telah lama hilang karena konsep konsumsi yang berubah. Ya tapi pembahasan akan meluas jika hal ini dibahas, biarlah ia tetap kekal dalam laporan tugas akhir saya.

Dari semua ini dibuktikan, sebuah desain, atau tepatnya identitas visual, hal yang saya pelajari selama ini dalam dunia desain grafis. Bila digunakan sesuai kaidahnya seperti kombinasi antara konsistensi, ilustrasi, warna, logo, ah you name it… yang dipadukan dengan pesan sebuah karya musisi hasilnya memberi jawaban dari masalah yang cukup membuat beberapa musisi menjual albumnya di toko ayam goreng, tidak seutuhnya tapi cukup.

Banyak sekali macam bentuk strategi untuk memasarkan sebuah karya musisi, menciptakan identitas visual hanyalah salah satunya, salah satu media yang dapat mendukung dan menciptakan kekokohan sebuah pesan dari kepala musisi yang ingin menyampaikannya. Di luar itu masih ada konten, teknis, pesan yang dibawakan, dan banyak lagi hal yang dapat dilakukan musisi untuk dapat menjual karyanya.

Pada akhirnya saya menggaris bawahi lagi, artikel ini bukanlah seutuhnya jawaban dari masalah musisi dapat mendistribusikan karyanya, namun tidak ada salahnya juga jika dicoba. Setidaknya tiga pemicu masalah yang disebutkan Teguh di awal, dampaknya dapat tertutupi sedikit demi sedikit.

Asal tidak lupa dengan core-nya yaitu musisi menciptakan sebuah karya musik, menyampaikan sebuah pesan lewat lantunan nada, bukan hanya menjual gimmick untuk iming-iming pendapatan datang berkali-kali lipat tapi asal dalam menciptakan karyanya atau menjadi tidak tulus dalam menciptakan karya, memberikan konsep tidak jujur hanya untuk memberikan visual yang bagus. In the end… pilihan itu hadir untuk dipilih, antara menjadikannya sebuah alat serang atau hanya menjadi sebuah topeng.

Sebagai penutup, sebuah harapan yang saya miliki dan harus diyakini pastinya. Bahwa desain dalam kurung desain grafis dalam kurung identitas visual dalam industri musik akan menjadi sebuah cerita yang menarik untuk diamati. Desain menjadi alat yang semakin diperbaharui lagi, lagi, dan lagi bagi para musisi yang melek akan kejadian ini, sehingga memperlihatkan persaingan yang cantik dan menarik. Semoga semakin banyak hasil yang dapat menjadi contoh dan lahirlah inovasi setelahnya. (*/)

BACA JUGA: MUSIK YANG LAGI LO DENGERIN MENGGAMBARKAN KEPRIBADIAN DIRI LO SAAT INI

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Maha

Temukan di konter pulsa terdekat.