Ganja telah legal selama dua tahun di Thailand untuk penggunaan rekreasional. Namun, Rancangan Undang-undang terbaru mereka, kemungkinan akan membuat ganja kembali ilegal untuk rekreasional.
FROYONION.COM - Dua tahun setelah menjadi pelopor di Asia dalam melegalkan ganja untuk keperluan rekreasional, Thailand kini bersiap untuk merevisi peraturan tersebut.
Kebijakan ini muncul meskipun sektor ritel ganja di Thailand telah berkembang pesat, dengan ribuan toko dan bisnis baru yang bermunculan dalam beberapa tahun terakhir. Dikutip dari dw.com, diperkirakan nilai industri ini bisa mencapai $1,2 miliar pada tahun 2025.
Thailand telah mengusulkan rancangan undang-undang baru untuk mengatur industri ganja dan membatasi penggunaan mariyuana terutama untuk keperluan kesehatan dan medis.
Usulan ini merupakan langkah terbaru dalam mengontrol penggunaan ganja untuk tujuan rekreasional, setelah beberapa kali terjadi perubahan kebijakan yang membingungkan.
Dikutip dari Bangkokpost.com, dalam rancangan undang-undang ini, ganja dan ekstraknya akan diizinkan untuk perawatan medis serta penelitian oleh lembaga pemerintah.
Selain itu, ganja dapat digunakan dalam produk herbal, makanan, dan kosmetik. Rancangan ini pertama kali diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand pada minggu ini, hanya beberapa hari setelah Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dan kabinet barunya dilantik.
Jika dibandingkan dengan upaya regulasi oleh pemerintahan sebelumnya, rancangan undang-undang ini tampak mengambil pendekatan yang lebih longgar.
BACA JUGA: KULIAH JURUSAN ILMU GANJA, EMANGNYA ADA?
Salah satu perbedaannya adalah rancangan ini tidak lagi menyertakan klausul yang secara eksplisit melarang penggunaan ganja secara rekreasional.
Klausul tersebut sebelumnya pernah diusulkan oleh pemerintahan mantan perdana menteri Srettha Thavisin. Dengan demikian, rancangan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemerintah baru telah membatalkan upaya untuk mengklasifikasikan ganja sebagai "narkotika."
Namun, rancangan undang-undang ini masih memberlakukan denda bagi siapa pun yang mengonsumsi ganja atau ekstraknya di luar ketentuan yang sudah diizinkan. Mereka dapat dikenai denda hingga 60.000 baht.
BACA JUGA: GANJA BISA BIKIN SPERMA LO JADI SEDIKIT DAN ENGGAK SUBUR, EMANGNYA IYA?
Selain itu, para penjual ganja atau produk ganja yang dijual untuk tujuan di luar izin juga dapat terkena hukuman maksimal satu tahun penjara atau denda hingga 100.000 baht, atau bahkan keduanya.
Aturan-aturan ini mungkin akan mengurangi kebebasan penggunaan ganja di Thailand. Negara ini sebelumnya dikenal sebagai negara pertama di Asia yang melegalkan ganja pada tahun 2022.
Sejak saat itu, celah hukum dalam undang-undang memungkinkan lebih dari 9.400 toko ganja beroperasi di seluruh negeri.
Banyak dari toko-toko ini berada di daerah wisata dan kawasan bisnis terkenal di Bangkok dan kota-kota besar lainnya.
Kemudahan akses terhadap ganja telah menjadi isu politik yang sensitif selama pemilihan umum Thailand pada tahun lalu.
Saat itu, Partai Pheu Thai, yang kini menjadi partai penguasa, berjanji akan mengembalikan ganja ke dalam daftar narkotika. Langkah ini bertujuan untuk membatasi penggunaannya hanya untuk keperluan medis karena kekhawatiran akan meningkatnya kasus kecanduan.
Namun, partai koalisi utama lainnya, Partai Bhumjaithai, menentang langkah ini. Sebagai partai terbesar kedua dalam koalisi pemerintahan, mereka memiliki pengaruh signifikan dalam menekan Pheu Thai agar mempertahankan legalitas ganja.
Rancangan undang-undang ini mencakup peraturan perizinan yang lebih ketat untuk kegiatan penanaman, penjualan, ekspor, dan impor ganja.
Para petani, pemasok, dan pelaku bisnis yang terkait dengan ganja diharuskan memiliki izin atau mengajukan perizinan baru, jika tidak ingin menghadapi ancaman hukuman berat seperti denda besar atau bahkan hukuman penjara.
Meski demikian, undang-undang ini tetap memberikan peluang yang lebih baik bagi industri ganja dibandingkan upaya-upaya regulasi sebelumnya.
Walaupun begitu, peraturan ini tetap bisa menimbulkan tantangan kepatuhan bagi para petani, pemilik toko, dan perusahaan konsumen-agro yang menjual produk-produk berbasis ganja.
Bisnis-bisnis ini menjual berbagai produk mulai dari bunga ganja hingga ekstrak minyak, permen ganja, hingga makanan ringan yang dipanggang.
Menurut aturan yang berlaku saat ini, produk-produk tersebut harus memiliki kandungan tetrahydrocannabinol (THC) tidak lebih dari 0,2%. THC adalah senyawa psikoaktif yang memberikan efek "tinggi" pada pengguna.
Prasitchai Nunual, seorang aktivis yang mendukung penggunaan ganja, menyatakan bahwa rancangan undang-undang ini sebetulnya memberikan kesempatan lebih luas untuk penggunaan ganja yang sesuai dengan realitas sosial saat ini.
Namun, dia juga menyoroti bahwa undang-undang tersebut masih mensyaratkan pengawasan dari praktisi medis berlisensi. Menurutnya, syarat ini terlalu membatasi dan menjadikan hak individu bergantung pada izin dari praktisi.
Dalam pandangannya, seharusnya undang-undang menyebutkan bahwa penggunaan ganja tidak boleh melanggar hak orang lain.
Publik dan para pemangku kepentingan industri diberi waktu hingga 30 September untuk memberikan tanggapan atau masukan terhadap rancangan undang-undang ini. Setelah itu, kementerian terkait mungkin masih akan melakukan revisi sebelum mengirimkannya ke kabinet. Kabinet kemudian harus menyampaikan rancangan ini ke parlemen untuk memperoleh persetujuan resmi.
Saat ini, Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah melegalkan penanaman dan konsumsi ganja sejak Juni 2022. Sementara itu, Singapura masih melakukan survei dan diskusi terkait potensi legalisasi ganja untuk keperluan medis.
Namun, terdapat survei yang diselenggarakan oleh The Sunday Times dan perusahaan riset konsumen Milieu Insight pada bulan September 2019 menunjukkan bahwa lebih dari separuh warga Singapura mendukung legalisasi ganja untuk keperluan medis.
Dari seribu responden yang disurvei, 53% menyatakan setuju jika ganja dilegalkan untuk tujuan medis. Sebaliknya, 35% menolak segala bentuk legalisasi ganja, sementara 12% lainnya menyetujui legalisasi ganja baik untuk penggunaan medis maupun rekreasi.
Hasil survei menunjukkan bahwa pandangan terkait legalisasi ganja untuk medis bervariasi di antara kelompok umur. Di kalangan generasi muda, hampir 3 dari 5 (59%) responden berusia 16 hingga 34 tahun mendukung legalisasi ganja untuk penggunaan medis. Dukungan ini menurun pada kelompok usia yang lebih tua, yaitu 50% untuk responden berusia 45 hingga 54 tahun, dan 44% untuk mereka yang berusia di atas 55 tahun.
Meskipun dukungan publik terhadap ganja medis meningkat, Singapura tetap memiliki peraturan ketat terkait penggunaannya. The Straits Times melaporkan bahwa sejak 2019, hanya dua orang yang mendapatkan izin untuk menggunakan obat turunan ganja, yaitu mereka yang menderita epilepsi resistan terhadap pengobatan.
Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura, K. Shanmugam, menegaskan dalam konferensi Asosiasi Anti-Narkotika Singapura bahwa kebijakan ganja medis akan berbasis bukti ilmiah. Ia menambahkan bahwa Singapura hanya akan mempertimbangkan akses ganja medis secara terkontrol ketika semua alternatif pengobatan telah habis. (*/)