In Depth

PROFESI FREELANCER POPULER DI KALANGAN GEN Z, APA SAJA SIH TANTANGANNYA?

Jadi freelancer nggak cuma tentang bekerja fleksibel saja, banyak tantangan yang pasti akan kamu temui. Kalian yang akan berprofesi sebagai freelancer wajib baca artikel ini!

title

FROYONION.COM - Menjadi freelancer belakangan menjadi hal yang sangat digandrungi oleh banyak anak muda di kalangan Gen Z. 

Salah satu alasannya mungkin saja karena pekerjaan freelance di dunia kreatif bisa sangat menguntungkan dibandingkan dengan bekerja sebagai 'budak korporat' dari jam 9-5 bahkan terkadang lebih dengan berbagai lemburannya. 

Memang, mungkin jika kita pintar mencari celah dan menemukan pekerjaan freelance yang tepat maka kadang hal tersebut akan jauh lebih menguntungkan. 

Banyak kok kasus anak muda yang menjadikan pekerjaan freelance awalnya sebagai sampingan doang, tapi ternyata bisa lebih menguntungkan dibanding pekerjaan utama dan bahkan cukup untuk menghidupinya. 

BACA JUGA: SILENT PRODUCTIVITY: TREND PARA FREELANCERS DAN REMOTE WORKERS YANG BEKERJA DI PERPUSTAKAAN

Selain itu, bekerja sebagai seorang freelancer itu terkadang lebih menyenangkan karena kita bisa lebih fleksibel dan tidak tergantung pada bos ataupun atasan yang mungkin saja 'rese'. 

Buat mereka yang tidak suka diatur-atur dan lebih ingin jadi berdikari (berdiri di kaki sendiri), menjadi seorang freelancer pasti bakal cocok banget. 

Sebagai contoh, tim Froyonion.com mewawancarai Gilang (24), seorang freelancer yang sehari-hari bergantung pada upah menulis. 

Dia mencari celah dan peluang dari banyaknya platform pencari freelancer di seluruh dunia. 

Ada waktunya dia akan kebanjiran job menulis dari berbagai dunia yang jauh lebih menguntungkan karena punya rate pembayaran yang menggiurkan. 

"Awalnya gue emang menjadikan pekerjaan freelance ini sebagai sampingan. Tapi makin ke sini, gue ngerasa kalau pekerjaan utama gue justru menghalangi gue untuk bisa lebih produktif. Padahal terkadang keuntungan dari job freelance gue itu jauh lebih banyak. Makanya, baru sekitar awal tahun ini gue mulai untuk fokus ke pekerjaan freelance gue dan mencoba mencari lebih banyak job di berbagai platform," kata Gilang saat berbincang dengan tim Froyonion.com

Kata dia, pekerja freelance memang menggiurkan. Tapi jangan sampai kita terlena karena semua hal akan kita yang mengaturnya. 

Bahkan terkadang jangan sampai lupa juga kalau kita tidak bisa mendapat benefit seperti apa yang dijanjikan oleh perusahaan besar, misal asuransi. 

Dia pun harus ekstra hati-hati dalam mengatur keuangannya setiap bulan. Terkadang saat dirinya sedang menggarap project, ia tidak boleh lupa untuk mencari peluang cuan dari project lainnya. 

"Gue sering ngelakuin project menulis website misalnya untuk 3 bulan. Nah karena gue yang mengatur, biasanya memang gue akan menerima lebih dari 1 job di satu waktu. Celakanya, kadang memang ada waktu project sudah mau selesai dan gue belum nemu penggantinya. Biasanya gue harus kasih tanda checkpoint di kalender gue untuk lihat kapan gue harus mulai ngegas lagi nyari job di internet," cetus dia. 

Tapi harus diakui, nggak semua freelancer akan bernasib untung seperti Gilang. Konsep freelance memang kini berkembang pesat dan seringkali menjadi pilihan karir bagi anak muda. 

Tapi tahukah kalian kalau ternyata industri freelance di Indonesia sendiri pun masih penuh tantangan. 

Gaji atau pendapatan freelancer dapat sangat bervariasi tergantung pada sektor dan jenis proyek yang mereka kerjakan. 

Tapi kalau kita lihat rata-rata pendapatan freelancer di Indonesia, pada 2024 Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) mencatat jika pendapatan mereka masih hanya sebesar Rp2,09 juta per bulan saja. 

Sementara itu, freelancer di sektor jasa memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp1,45 juta per bulan. Sektor jasa meliputi berbagai layanan seperti desain grafis, penulisan konten, penerjemahan, dan konsultasi.

Lantas apa saja tantangan yang akan dihadapi para freelancer? Setidaknya, ini adalah beberapa masalah yang berhasil dipetakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). 

Lembaga ini merilis panduan advokasi bertajuk "Upah Layak Untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media dan Kreatif. Tujuan panduan ini sebenarnya sederhana, agar para pelaku industri ini bisa mendapat model pengupahan yang sesuai. 

Riset ini didasarkan pada survei terhadap 55 responden freelancer di industri media dan kreatif yang berasal dari Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Banten, D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan.

EKSPLOITASI STATUS KERJA 

Masalah pertama yang ditemukan SINDIKASI berkaitan dengan eksploitasi yang berlebih terhadap freelancer dengan status kerja yang fleksibel. 

Dalam hal ini, seringkali masalah mereka berasal dari ketiadaan jaminan sosial dan kontrak kerja yang jelas hingga pelanggaran upah. 

Pengupahan jadi hal yang sangat krusial, di mana para freelancer seringkali menemukan kondisi keterlambatan pembayaran, kurang bayar, bahkan tidak dibayar sama sekali. 

Menurut SINDIKASI, masalah ini menjadi praktik umum di kalangan freelancer. Makanya, para freelancer pun harus melek terhadap metode kerja mereka dan meminta kejelasan status kerja. 

SINDIKASI merekomendasikan agar para freelancer bisa mengatur ketat metode pembayaran upah hingga denda bagi keterlambatan pembayaran. 

Dalam hal ini, mereka bisa menuangkan aturan pengupahan itu dalam sebuah model Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk dirundingkan bersama. Ini juga memperkuat posisi kontrak kerja mereka. 

JAMINAN PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA

SINDIKASI juga menemukan masalah lain dalam aturan para pekerja di Indonesia. Salah satunya mereka merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. 

Beleid itu menyebutkan jika pemberi kerja tidak diwajibkan untuk menyediakan fasilitas kerja bagi pekerjanya. Aturan ini tentu saja tidak win-win-solution. 

Seringkali memang freelancer harus menggunakan alat kerja mereka sendiri ketika menerima pekerjaan. 

Tapi diperlukan advokasi yang lebih detail untuk memastikan agar hak-hak pekerjanya tidak tergerus. Misal, menentukan model penentuan upah yang sesuai untuk mengatasi hal tersebut.

Soalnya, riset ini menyebutkan jika seringkali penentuan kenaikan upah kenaikan upah yang hanya didasari oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi seperti dalam sistem pengupahan versi pemerintah hari ini juga menjadi masalah. 

Pasalnya, aspek kebutuhan produktif dan reproduktif freelancer terus bertambah sehingga tidak bisa hanya mendasarkan kenaikan harga dari kebutuhan sebelumnya. 

Sebagai contoh, freelancer graphic designer perlu mengganti laptop dengan spesifikasi yang lebih tinggi setiap periode tertentu untuk menaikkan kualitas kerjanya. 

Kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi hanya dengan menambahkan komponen harga laptop lama dengan inflasi saja. 

Contoh lain, dalam aspek reproduktif, peningkatan pengeluaran freelancer untuk memenuhi kebutuhan anak yang mulai bersekolah tidak bisa dicukupi hanya menggunakan skema kenaikan upah berkala berdasar penambahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Tim peneliti menemukan mayoritas responden (75,55%) mendapatkan upah kurang dari Rp 7 juta per bulan. 

Di sisi lain, total rata-rata kebutuhan alat produksi per bulan per proyek adalah Rp 1.729.634 dan total kebutuhan untuk reproduksi per bulan yakni Rp 13.082.303,95. 

Dengan demikian, total pengeluaran rata-rata pekerja lepas jika dihitung secara kumulatif adalah Rp 15.444.557,2 per bulan.

So, apakah kamu masih tertantang untuk menjadi seorang freelancer? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!