Banyak masalah yang bikin angka pengangguran di Indonesia tinggi. Salah satunya, mungkin karena praktik ageism masih lazim di tanah air.
FROYONION.COM - Ternyata nggak cuma kerjaan doang yang bisa dibilang ada red flag-nya selama berkarir. Tanpa disadari, ada banyak lowongan kerja yang juga jadi red flag dan sebenarnya perlu buat dihindari supaya nggak jadi kebiasaan.
Untuk melihat hal ini lebih lanjut, penting untuk menyadari fenomena yang terjadi tentang banyak angkatan kerja muda yang susah mendapatkan pekerjaan sekarang ini.
Alasannya beragam, mulai dari jumlah pencari kerja yang terlalu banyak dan nggak sesuai dengan lapangan pekerjaan yang ada, kondisi ekonomi yang seringkali disebut ‘suram’ hingga dampak pandemi Covid-19 yang masih bisa dirasakan sekarang ini.
Tapi ada sudut pandang lain juga tentang kenapa orang sebenarnya susah dapat kerja. Salah satu yang mencolok ialah seringkali lowongan pekerjaan yang dibuka itu punya kriteria-kriteria nggak masuk akal yang sebenarnya nggak sesuai dengan jobdesk pekerjaan yang dibutuhkan.
Salah contoh misalnya diskriminasi umur lewat syarat batasan maksimal bagi orang yang mau melamar di perusahaan tersebut. Biasanya, disebutkan tuh kalau maksimal pelamar kerja yang mau mendaftar ke perusahaan A, misalnya, harus berusia maksimal 30 tahun atau bahkan 25 tahun.
Padahal usia-usia itu masih tergolong sangat muda. BIasanya juga usia 25-30 tahun adalah fase di mana orang-orang masih sangat produktif dan butuh-butuhnya pekerjaan. Banyak perut dan kebutuhan yang harus diberi makanan, kayak misalnya orang-orang pada usia ini baru menikah ataupun merupakan pasangan di usia muda yang memiliki anak bayi.
Dengan adanya banyak pembatasan usia ini dan dihadapkan pada kondisi ekonomi yang nggak pasti maka bakal semakin sulit juga buat mereka bertahan ketika terjadi suatu hambatan dalam karir mereka (misalnya di-PHK dari perusahaan).
BACA JUGA: TIPS MENGGUNAKAN LINKEDIN BIAR LO CEPAT MENDAPATKAN PEKERJAAN
AGEISM NGGAK BOLEH DILUMRAHKAN
Ada satu artikel yang ditulis sama dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati di The Conversation yang gue temuin dan mengulas tentang problematik ageism atau diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan itu.
Menurutnya, praktik pembatasan usia ini nggak seharusnya dilakukan. Dengan adanya pembatasan usia dalam kualifikasi, maka mereka yang sudah berkepala tiga atau lebih jadi punya pilihan yang terbatas dalam pasar tenaga kerja.
Nabiyla menggambarkan kalau praktik diskriminasi dalam dunia kerja, apapun itu bentuknya, yang dinormalisasi berkebalikkan dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara. Misalnya, dijabarkan secara tertulis dalam K-111 atau Konvensi International Labour Organization (ILO) tentang Diskriminasi (dalam Pekerjaan dan Jabatan), yang sudah ada sejak 1958.
Beberapa larangan tentang itu yang berlaku di sejumlah negara sebenarnya sependapat jika usia merupakan indikator prediksi kinerja seseorang yang buruk, seringkali hal itu tidak berhubungan langsung dengan kemampuan kerja.
Ungkapan itu dapat relate dengan berbagai kondisi ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Fyi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2022 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang atau 5,86% dari total angkatan kerja nasional.
Dari antara itu, ternyata masih banyak pekerja di usia produktif yang juga menyumbangkan dirinya tercantum sebagai penganggur versi BPS.
Tercatat, kelompok usia 20-24 tahun menjadi angka penganggur paling tinggi dengan 2,54 juta orang atau 30,12% dari total pengangguran nasional. Kemudian, penduduk dari usia 25-29 tahun dengan jumlah 1,17 juta jiwa (13,84%), usia 30-34 tahun sebanyak 608,41 ribu jiwa (7,22%), dan usia 60 tahun ke atas 484,54 ribu jiwa (5,76%).
BACA JUGA: CARA UPGRADE DIRI AGAR LEBIH DISEGANI BUAT LO PEKERJA 9-5
Maka dari itu, menurut Nabiyla, harus ada langkah yang serius secara langsung dari pemerintah agar ageism ini bisa dihapuskan secara total di tanah air. Dengan begitu, secara signifikan pun sebenarnya memberi peluang yang lebih besar lagi bagi para pencari kerja untuk mendapatkan kesempatan.
PAYUNG HUKUM DAN DAMPAK KE PEKERJA PEREMPUAN
Untuk melihat dampak yang terjadi dari diskriminasi ini, kalian dapat berasumsi pada kondisi seorang karyawan yang habis masa kontraknya dalam usia yang tidak lagi muda alias 30 tahun ke atas. Dengan begitu, peluangnya untuk mendapat kerja lagi akan menjadi lebih sulit.
Padahal, dalam rentan usia tersebut mereka sudah memiliki pengalaman yang mumpuni dan keahliannya masing-masing. Tapi “batasan usia” yang lewat membuat seorang karyawan menjadi lebih terhalang.
Jika merujuk pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia memang tidak ada ketentuan secara rinci yang mengatur diskriminasi usia pada lowongan kerja, kata Nabiyla.
Dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003 misalnya, haya dijelaskan jika setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama dan tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pesan dalam beleid itu sendiri sebenarnya sudah menyiratkan jika seharusnya pasar tenaga kerja di Indonesia nihil ageism.
Well, praktik dan aturan itu seringkali memang tidak sinkron terjadi.
Bukan hanya itu saja, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 111 sebagaimana dijabarkan di atas berikut. Dalam konvensi itu, negara mendapat tanggung jawab untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan kerja.
Artinya, aturan tentang ketenagakerjaan itu tidak dapat dikelompokan hanya pada tenaga kerja itu sendiri, mereka yang masuk sebagai usia pekerja dan masih mencari pekerja juga dilindungi undang-undang.
Nabiyla juga menyoroti jika perempuan rentan menjadi korban ageism. Di Indonesia, menurut dia, banyak perempuan yang harus berhenti bekerja sementara waktu karena pernikahan, kehamilan, kelahiran, dan mengurus anak.
Biasanya, ketika mereka ingin kembali ke pasar kerja setelah melewati fase itu maka seringkali peluang sudah banyak tertutup. Alasannya karena batasan usia yang sering disyaratkan dalam lowongan pekerjaan.
“Ini bisa menjadi salah satu penyebab kenapa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan di Indonesia masih berada jauh di bawah laki-laki, sebesar 53,41% dibandingkan laki-laki sebesar 83,87%,” jelas Nabiyla.
BACA JUGA: JOB SECURITY: STRATEGI PENTING UNTUK MEMPERTAHANKAN PEKERJAAN LO
Dari semua sudut pandang tersebut, tidak ada alasan lagi buat pemerintah membiarkan praktik ageism masih lazim di dunia kerja. Kebiasaan-kebiasaan tanpa diskriminasi harus dibiasakan mulai dari institusi pemerintah hingga ke pasar kerja secara keseluruhan.
Nggak cuma butuh payung hukum sebenarnya, tapi coba mulai dari sekarang korporasi mulai punya sudut pandang buat lebih menghargai skill dibandingkan ngasih persyaratan yang nggak penting sama kebutuhan pasar kerja. (*/)