Hubungan platonik konon dianggap aneh. Masak sih bisa ada hubungan pria wanita yang tak melibatkan nafsu?
Topik percintaan emang selalu menarik, apa lagi tentang hubungan platonik sebagai hubungan yang jenisnya “unik” dan nggak umum dialami banyak orang.
Salah satu tipe percintaan yang cukup menarik untuk dibahas adalah platonic relationship / love, yang memungkinkan 2 orang untuk saling mencintai secara tulus tanpa melibatkan nafsu seksual.
Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Plato, seorang filsuf terkenal asal Yunani. Setelah beberapa era kemudian, konsep ini dibahas ulang secara lebih mendalam oleh filsuf Italia yang bernama Marsilio Ficino, itulah mengapa konsep cinta ini disebut dengan istilah PLATOnic relationship..
Menurut Marsilio, platonic relationship adalah hubungan yang berupa rasa kasih sayang antar individu dan memiliki nilai dan tujuan yang mulia. Mulia gimana maksudnya?
Doi bilang kalo hubungan platonik nggak bersyarat–atau menuntut apapun dari si pasangan, dan terbilang bisa jadi hubungan yang lebih ‘kuat’ ketimbang hubungan yang romantis (melibatkan nafsu) sekalipun. Maka dari itu, Marsilio bilang kalo platonic relationship ini hubungan yang mulia.
Kalo biasanya hubungan romantis cuma melibatkan dua orang, platonic relationship punya jangkauan yang lebih luas dan ngelibatin lebih banyak orang. Contohnya adalah hubungan antara anak sama orang tua, kakak sama adiknya, juga seseorang kepada teman-teman atau sahabatnya, dan bisa juga antara rekan kerja.
Tapi, apa jadinya kalo platonic relationship diterapkan di sebuah hubungan yang mengarah ke percintaan? Apakah manusia bisa punya ikatan percintaan serta komitmen yang kuat tanpa sedikitpun punya intensi yang mengarah ke hubungan seksual?
Untuk bisa tahu apakah platonic relationship bisa berhasil diterapkan di kehidupan kita sebagai remaja yang menuju tahap dewasa–atau dewasa sekalipun, maka perlu buat ngeliat konsep hubungan ini dari sang pencetusnya sendiri, yaitu Plato. Lewat buku yang membahas pandangan Plato terhadap konsep cinta yang sukses, yaitu “Symposium” yang dirilis tahun 1951 lalu, doi membagi perjalanan cinta dalam hidup seseorang menjadi 4 tahapan.
Tahapan pertama, seseorang secara natural bakal tertarik sama orang lain lewat kecantikan fisiknya. Katanya, tahapan ini adalah tahapan yang ephemeral alias nggak kekal–cintanya cepat memudar dan bisa cepat beralih ke orang lain.
Lalu di tahap kedua, seseorang mulai sadar bahwa ‘kecantikan’ pada jiwa seseorang itu lebih menarik ketimbang kecantikan fisik semata, yang akhirnya memengaruhi orang itu ke tahap selanjutnya, yaitu keadaan diri seseorang yang lebih mengapresiasi dan menyukai orang lain lewat kemampuan sosial serta moral yang dimiliki orang itu.
Di tahap terakhir, setelah menyadari bahwa kecantikan fisik itu nggak kekal dan mulai menyukai orang lain berdasarkan kecantikan jiwa, moral, serta kemampuan sosialnya, maka seseorang itu mulai mengembangkan keingintahuannya terhadap sains dan pengetahuan yang lebih luas. Kemudian berakhir menjadi seorang filsuf, atau seseorang yang kritis sama keadaan jiwa diri sendiri dan orang lain tanpa mementingkan hasrat seksual dan nafsu yang memiliki kesan ‘sangat duniawi’ buat Plato.
BACA JUGA: KAITAN HORMON SEKS DAN PILIHAN KARIER
Menurut gue, pandangan Plato terhadap ‘cinta yang mulia’ ini memang nggak cocok untuk diterapkan semua orang. Terlebih di era digital kayak zaman sekarang, ada beragam media sosial yang bisa dengan mudahnya mengaburkan persepsi lo terhadap orang lain, lo jadi mudah percaya sama seseorang, dan mudah juga benci sama seseorang lainnya cuma karena posting-annya di media sosial itu.
Dalam perjalanan hidup gue, seringkali gue melihat teman-teman dan orang terdekat gue yang terjebak di tahap pertama dalam konsep cintanya Plato selama bertahun-tahun. Teman-teman gue ini merasa bahwa cinta bisa tumbuh lewat kecantikan fisik, dan mereka nggak akan pernah bosan dalam menjalani hubungan karena punya pacar atau pasangan yang memenuhi kriteria fisik itu. Tapi, pada akhirnya nggak menjamin bahwa hubungan mereka bisa aman, damai, tenteram, tanpa ada masalah sedikitpun.
Nah, yang gue tangkap dari konsep platonic relationship, Plato percaya bahwa dengan mengeliminasi hasrat seksual dalam hubungan, manusia bisa menghindari perpecahan dan permasalahan yang nggak seharusnya terjadi. Itu bisa jadi hal yang bagus, menempatkan pemikiran yang rasional di atas perasaan / emosi yang lagi bergejolak (yang mungkin disebabkan karena nafsu atas seks).
Tapi nggak bisa dipungkiri bahwa manusia pasti punya hasrat dan nafsu, ini juga hal yang wajar dimiliki. Maka dari itu, kunci keberhasilan hubungan menurut gue terletak di pola komunikasi yang baik antara 2 manusia, bukan sekadar ‘kuat-kuatan’ prinsip dan ego aja, juga menunggu siapa yang mau mengalah.
Setiap manusia punya pilihan masing-masing ya dalam menjalani hubungan. Bagi gue, hasrat seksual itu nggak jadi penentu keberhasilan hubungan–atau mendefinisikan hubungan itu mulia atau nggak, karena hubungan bakal berhasil kalo segala sesuatunya diomongin secara baik-baik dan berfokus untuk mencari jalan tengah dalam setiap urusan / permasalahan. Ya intinya supaya ngejalanin hubungan nggak berat sebelah aja sih.
Jadi, menurut gue, konsep platonic relationship adalah konsep yang menarik buat didiskusikan, Civs, tapi jadi nggak relevan untuk dijalani. Karena setiap manusia pasti punya hawa nafsu dan hasrat seksual, tapi kuncinya ada di komunikasi dan kontrol terhadap diri sendiri. (*/)
BACA JUGA: BERHUBUNGAN SEKSUAL TANPA CINTA: SEBUAH WEJANGAN DARI YANG SUDAH MENGALAMINYA