Jadi miskin susah, jadi kaya juga serba salah. Jalan keluarnya ya jadi yang di tengah-tengah. Tapi jadi yang di tengah, juga malah memicu perdebatan. Gimana dah maunya?
FROYONION.COM - Akhir-akhir ini rame banget perdebatan tentang video seorang perempuan yang mendokumentasikan keseharian sebagai ‘middle class’ di Jakarta. Nggak disangka-sangka, video itu malah viral dan memicu diskusi yang cukup berat di TikTok.
Ada beberapa orang yang sampai stitch videonya untuk memberikan pendapat mereka. Seperti akun @gbriellealicia di atas dan beberapa pengguna TikTok lainnya yang sependapat dengan pendapatnya. Karena banyaknya opini di media sosial, perdebatan soal ‘middle class’ ini terbagi jadi dua kubu.
Kubu kontra yang merasa definisi ‘middle class’ Jakarta yang nggak sesuai dengan video sarapan yogurt itu dan kubu pro yang setuju kalo mbak yang sarapan yogurt emang termasuk ‘middle class’-nya Jakarta.
Jadi penasaran, emang apa sih definisi ‘middle class’?
BACA JUGA: TIPS MENGELOLA KEUANGAN BUAT ANAK MUDA SUPAYA MELEK FINANSIAL
Ada banyak cara untuk mendefinisikan kelas menengah.
Dilansir dari kajian Bank Dunia berjudul Aspiring Indonesia - Expanding the Middle Class, ada 4 cara yang paling umum digunakan untuk mendefinisikan kelas menengah. Dengan tingkat pendapatan dan level konsumsi, parameter global, mengkaji kebiasaan dan persepsi manusia, dan mengkaji keamanan ekonomi mereka.
Kalo pake cara yang pertama, masyarakat kelas menengah adalah mereka yang pendapatannya antara Rp1.200.000-Rp6.000.000 dan pengeluarannya antara 20%-80% dari pendapatan mereka. Tapi kalo pake cara ini doang, muncul lagi perdebatan tentang orang yang penghasilannya besar tapi pengeluarannya kecil banget atau juga sebaliknya.
Kalo cara kedua, masyarakat kelas menengah adalah mereka yang memiliki penghasilan sebesar US$2-US$20 (Rp30.000-Rp300.000) per harinya (menurut parameter Asian Development Bank). Tapi ternyata masing-masing negara punya parameter sendiri untuk mendefinisikan pendapatan kelas menengah.
Misalkan di Brazil masyarakat kelas menengah adalah mereka yang berpenghasilan US$4.000/tahun (sekitar Rp60.000.000) yang udah termasuk miskin kalo pake parameter di Jerman yang bilang kelas menengah itu yang penghasilannya US$17.000/ tahun (sekitar Rp255.000.000).
Karena masing-masing negara punya definisi berbeda-beda, cara kedua jadi dianggap nggak cocok untuk diterapkan secara global. Begitu juga dengan cara ketiga dan keempat yang juga memicu pertanyaan lain.
Maka, Bank Dunia akhirnya bikin definisi sendiri tentang kelas-kelas sosial-ekonomi yang terbagi dalam 5 kategori: Poor, Vulnerable, Aspiring Middle Class, Middle Class, dan Upper Class.
Menurut kajian Bank Dunia, mayoritas masyarakat Indonesia masih termasuk kategori Aspiring Middle Class, alias mereka yang berhasil keluar dari garis kemiskinan tapi belom tentu berhasil bertahan di atas garis tersebut.
Sebanyak 115 juta penduduk Indonesia (42%) termasuk ke dalam kategori Aspiring Middle Class. Termasuk di dalamnya juga para anak muda Indonesia yang penghasilannya masih sebatas UMR kota masing-masing.
BACA JUGA: TIPS MENJADI PENGANGGURAN YANG MEANINGFUL BIAR WAKTU LO GAK TERBUANG SIA –SIA
Walaupun begitu, sebagai 20% penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori Middle Class. Kelihatannya sih cuma 20%, tapi ternyata ada cara untuk memanipulasi orang untuk bikin mereka ngira kita termasuk middle class padahal penghasilan nggak segede itu.
Yaitu dengan beli barang-barang branded yang punya image dan story yang menjual. Seperti produk yang berlabel organik, sustainable, punya value yang kreatif dan keren, pokoknya produk yang marketing-nya berhasil.
Makanya, muncul persepsi di masyarakat kalo orang yang punya iPhone itu kaya, padahal mah belom tentu. Bisa aja doi nyicil hapenya 24 bulan ya kan.
Karena persepsi ini juga, video Mbak yang sarapan yogurt itu jadi menuai perdebatan. Ada yang mencibir gaya hidupnya yang dianggap nggak mencerminkan kelas menengah, tapi ada juga yang bilang kalo middle class ya emang gitu.
Kalo dikaji pake indikator Bank Dunia, ya emang bener mbak itu termasuk middle class. Mungkin dia keliatan lebih ‘borju’ karena dia termasuk korban marketing yang beli produk dengan image yang oke. Bisa dilihat kalo chia seeds yang dia konsumsi aja mereknya (berlabel organik dengan harga Rp280.000-an).
BACA JUGA: FENOMENA ‘OVERPRIDE’ DI TENGAH MASYARAKAT INDONESIA: FLEXING, PAMER KEKAYAAN, PARIS FASHION WEEK
Pihak-pihak yang nggak setuju ini nih yang pada akhirnya berlomba untuk jadi ‘si paling middle class’. Ada yang bandingin sarapan yogurt sama nasi uduk, bilang kalo kelas menengah itu HP-nya ya Android bukan iPhone, dan ke mana-mana naik motor yang dikredit 3 tahun bukannya mobil 5-seater yang dipake sendiri.
Padahal mah, banyak orang kaya yang sarapannya nasi uduk, HP-nya Android, dan perginya malah pake kendaraan umum.
Ngebanding-bandingin nasib untuk jadi ‘si paling middle class’ ini malah jadi terkesan aneh ya. Rebutan kok title ‘kelas menengah’. Lha wong para ahli aja punya indikator berbeda-beda untuk mendefinisikan kelas menengah. Kita netizen yang budiman malah sibuk bikin indikator masing-masing untuk terlihat paling relevan.
Mending, rebutan raih prestasi sebanyak-banyaknya, berkarya sebanyak-banyaknya, supaya kita bisa jadi orang sukses di bidang masing-masing, ye gak? (*/)