Maraknya kasus pelecehan seksual di Indonesia udah bisa disamain kayak jumlah episode sinetron, nggak ada habisnya. Sekarang, pelecehan seksual aja udah mengalami digitalisasi. Kira-kira, logis nggak ya kalau dilihat dari kacamata psikologis?
FROYONION.COM - Awal tahun 2022 rasanya nggak dimulai dengan cukup mulus. Beberapa kasus pelecehan seksual yang terkuak turut mewarnai awal tahun ini. Mulai dari kasus pelecehan seksual oleh seorang kru film hits Indonesia (baca di sini), beberapa pemuka agama yang mengecewakan masyarakat, hingga kasus pelecehan seksual secara virtual.
Kasus yang terakhir ini, sebenarnya udah jadi omongan hangat sejak Desember 2021 lalu. Tapi tampaknya kesadaran masyarakat akan hal ini masih dibilang cukup rendah.
Pada bulan November 2021 lalu, seorang pemain game Virtual Reality (VR) yang turut serta dalam beta tester dunia VR (Horizon Worlds) yang dibuat oleh Meta (perusahaan yang menaungi Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Oculus), mengatakan bahwa ia telah dilecehkan oleh pemain lainnya.
Dilansir dari Technology Review, pemain yang menjadi korban pelecehan ini diketahui seorang perempuan. Kasusnya baru terekspos dan ditanggapi oleh pihak Meta setelah ia mengunggah posting-an secara mandiri di grup Facebook pada 1 Desember 2021.
Korban menyebutkan bahwa seorang pemain datang ke arahnya dan meraba bagian-bagian vital dari avatar yang ia gunakan dalam game secara virtual.
Setelah itu, kasus ini terus ramai diberitakan oleh media. Beberapa orang berpendapat kalau apa yang dilakukan korban adalah hal yang berani sekaligus berisiko, karena ia berurusan dengan perusahaan konglomerat yang tentunya punya kuasa lebih kuat dibanding korban.
Tapi di sisi lain, kasus pelecehan seksual melalui game VR ini juga menimbulkan keraguan dan pertanyaan, bahwa apakah mungkin terjadi pelecehan seksual di dunia virtual reality yang notabene para pemain tidak berinteraksi secara langsung?
NYATA ATAU LEBAY AJA?
Hal ini lantas membuat gue penasaran akan kemungkinan terjadinya pelecehan seksual di dunia digital. Pasalnya, sebelum ada VR pun pelecehan seksual lewat interaksi daring udah kerap kali terjadi.
Sebut saja sexting (chat tapi ke arah seksual), video call sex (VCS), gombalan ke arah seksual yang kerap ditemukan di bagian komentar artis atau public figure, atau sesederhana balesan Instagram Story dari temen lo yang bernada melecehkan saat lo posting foto.
Hal-hal kayak gitu, ternyata udah termasuk pelecehan seksual, lho.
Delfian Tri Bandoro dan Rininda Mutia sebagai associate psychologists di Yayasan Pulih, mengatakan bahwa dengan semakin meluasnya spektrum interaksi manusia, kemungkinan tempat dan cara pelecehan seksual juga semakin luas.
“Pertama-tama harus dipahami kalau pelecehan seksual adalah setiap tindakan yang membuat tidak nyaman bagi orang lain, tidak ada consent, bersifat paksaan, dan tentunya berbau seksual. Sekarang interaksi manusia kan makin meluas, maka sangat mungkin pelecehan seksual lewat game Virtual Reality untuk terjadi,” jelas Delfian dan Rininda.
Jika dikategorikan, pelecehan seksual bisa dibagi menjadi lima kategori: fisik, lisan, isyarat, visual, dan psikologis (pelecehan seksual yang terjadi terus-menerus dan mempengaruhi kondisi psikologis korban).
Luasnya spektrum pelecehan seksual ini, menjadikan detail perilaku yang termasuk pelecehan seksual juga makin luas. Misal siulan abang-abang di pinggir jalan waktu lo jalan kaki bisa termasuk pelecehan seksual (catcalling istilahnya). Atau bahkah lirikan mata yang mengarah kepada bagian tubuh tertentu dan membuat lo merasa nggak nyaman juga bisa termasuk pelecehan seksual.
Kalau banyak hal bisa termasuk pelecehan seksual, terus gimana kita bisa menyaring perilaku mana yang pelecehan seksual dan yang nggak?
Jawabannya adalah consent.
Consent dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai pemberian persetujuan dari pihak-pihak terkait yang diberikan tanpa paksaan. Consent menjadi indikator penting untuk menyaring hal apa yang termasuk pelecehan seksual dan apa yang tidak. Jika pihak yang terlibat sama-sama menyetujui suatu perilaku, maka hal tersebut tidak termasuk pelecehan.
Contoh, hubungan seksual yang terjadi antara suami dan istri yang telah disetujui tanpa paksaan oleh kedua pihak, tidak termasuk pelecehan seksual.
Beda halnya kalau dalam hubungan suami-istri tersebut terjadi pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual, maka termasuk pelecehan seksual.
Konsep consent dalam hubungan antarmanusia sudah saatnya lebih diperjelas dan ditekankan. Supaya nggak ada lagi kasus saat korban merasa dilecehkan, padahal pelaku merasa hal itu biasa saja.
Balik lagi ke kasus pelecehan seksual di Metaverse, apa yang dialami korban jelas adalah pelecehan seksual karena korban merasa tidak nyaman dan tidak menerima perbuatan pelaku.
TERJAMIN KAH KESELAMATAN KORBAN PELECEHAN SEKSUAL DI INDONESIA?
Sayangnya, landasan hukum yang menjamin keselamatan dan keberpihakan para penegak hukum pada korban pelecehan seksual di Indonesia masih belum kuat.
“Salah satu faktor eksternal yang turut melanggengkan adanya kasus pelecehan seksual di Indonesia ya karena landasan hukumnya belum kuat. Ini yang sayangnya, kita nggak punya kuasa sebesar itu untuk mengubah dengan cepat. Jangankan yang virtual, yang terjadi langsung saja masih sulit untuk bisa diproses secara adil lewat jalur hukum,” kata Delfian.
Kasus-kasus pelecehan seksual di Indonesia masih sering minta diselesaikan lewat ‘kekeluargaan’ saja.
Kalau pengen ketawa miris, boleh lho. Karena jalur ‘kekeluargaan’ ini efeknya cuma mengubur konflik, bukan menyelesaikannya.
Harapannya, dengan seiring bertambahnya awareness masyarakat sama pelecehan seksual, landasan hukumnya juga makin kuat.
Kalau menurut lo, gimana? Logis nggak pelecehan seksual lewat game VR? Dan apakah mungkin pemerintah makin sadar sama gentingnya pelecehan seksual di negara kita? Mari diskusikan di bawah. (*/Photo credit: Mihai Surdu via Unsplash)