Kerja ternyata nggak cuma soal cuan, cuan, dan cuan. Ada yang sama pentingnya: reactance. Apaan tuh? Simak penjelasannya di sini.
FROYONION.COM - Kalo lo disuruh milih dua pekerjaan: yang pertama bergaji dua digit, yang kedua kasih lo kontrol. Mana yang lo pilih, Civs?
Sebagian besar mungkin bakal pilih yang pertama ya. Karena di saat ekonomi sulit begini, pemasukan yang tinggi bikin beban pikiran berkurang. Tidur lo jadi lebih nyenyak karena cicilan bisa terus dibayar, dapur tetap ngepul.
Tapi bagaimana kalo lo dikasih pekerjaan yang tipe kedua: pekerjaan yang di dalamnya lo bisa jadi majikan/ bos buat diri lo sendiri? Maksudnya, lo kerja enggak karena disuruh-suruh senior, manajer, atau owner.
Lo kerja dengan keinginan dan passion yang lo punya dan bisa ngatur jadwal sesuai keinginan dan kebutuhan. Kalo mau rehat, ya ga usah ngemis-ngemis cuti ke bos. Mau kerja di weekend juga monggo, enggak merasa terpaksa karena lo yang pengen sendiri buat kerja saat orang lain libur.
Gue sendiri pernah ngerasain dua tipe pekerjaan kayak gini, Civs. Pekerjaan pertama harus diakui bikin gue lebih stabil secara finansial tapi waktu gue juga tersita lebih banyak. Gue kadang kudu masuk kerja di akhir pekan kalo diminta bos. Dan karena gue anak buah ya gimana bisa nolak?
Untungnya gue juga pernah mencicipi pekerjaan yang sesuai banget passion gue dan enaknya lagi juga bisa kasih gue kekuasaan untuk mengendalikan jadwal kerja gue sendiri. Mau kerja jam berapa sampai jam berapa, gue bisa ngatur sendiri. Sayangnya, secara finansial kerjaan ini kurang stabil dibandingin yang pertama tadi.
Dari pengalaman gue di pekerjaan kedua tadi, gue emang enjoy banget. Kerja jadi terasa lebih ringan. Bahkan kalo mood lagi bagus dan orang yang diajak kerja dan yang dilayani mood-nya oke juga, rasanya seneng banget.
Gue bisa sebenernya kerja setiap hari kalo gue ambisius tapi karena gue butuh me time juga, gue pikir kasih libur dua hari seminggu kayak orang-orang umumnya bisa bikin gue lebih sehat dan seimbang. Karena kerja apapun, kalo burnout pasti performa dan kualitas pekerjaan bakal turun. Itu udah pasti.
Dalam bukunya The Psychology of Money: Timeless Lessons on Wealth, Greed, and Happiness, Morgan Housel menyinggung soal pekerjaan idamannya: bankir investasi. Menurutnya kerjaan itu gajinya gede banget, bisa bikin dia tajir dalam waktu singkat.
Tapi ternyata pas dia magang, enggak bertahan lebih dari sebulan saking panjangnya jam kerja bankir. Housel enggak sanggup jadi ‘budak’ atasannya yang bahkan masih mengharuskannya kerja di hari Sabtu.
Housel mengatakan meski pekerjaan bankir itu bergaji tinggi dan idamannya sejak muda tapi ternyata dia enggak dapet satu hal di situ: reactance. Dan menurutnya, ngelakuin kerjaan idaman tanpa ada reactance bisa bikin kita ngerasa sama tersiksanya dengan saat disuruh bekerja dalam pekerjaan yang kita benci habis-habisan.
Jonah Berger, seorang dosen marketing dari University of Pennsylvania, mendefinisikan reactance sebagai suatu perasaan yang membuat manusia merasa sedang memegang kendali. Ibarat sedang nyetir, kita lagi jadi sopir yang berkuasa penuh atas arah dan tujuan mobil, bukan penumpang yang cuma duduk dan enggak bisa mengarahkan mobil ke tujuan yang kita mau.
Saat seseorang enggak merasakan adanya reactance dalam pekerjaannya, ia biasanya jadi merasa enggak bersemangat, kurang termotivasi dalam bekerja. Kata Berger, itu terjadi karena orang yang tak punya kendali atas pekerjaan mereka membuat mereka seperti robot.
Orang lain (atasan) selalu menentukan aktivitas mereka, dari berapa lama, hingga detil-detilnya. Ini sangat menyiksa karena sebagai manusia kita dikodratkan untuk juga merasakan kebebasan. Kita tak suka kekangan yang berlebihan dari manusia lain, sekalipun itu orang yang menggaji kita.
Maka dari itu, pekerjaan yang gajinya selangit tapi enggak kasih reactance buat kita bakal jadi kerjaan yang menyiksa jiwa raga pada akhirnya. Idealnya sebuah pekerjaan selain bisa memberikan sumber pemasukan yang memadai buat kita, juga bisa memberikan reactance atau perasaan penuh kendali tadi.
Ternyata manfaat reactance enggak cuma berhenti dalam menemukan sebuah pekerjaan yang ideal buat kita. Psikolog Angus Campbell mengaitkan reactance ini dengan tingkat kebahagiaan seseorang juga, Civs. Iya sefundamental itu ternyata reactance ini.
Dari penelitiannya, Campbell menyatakan faktor penentu kebahagiaan seseorang yang paling dominan ialah memiliki perasaan kendali atas hidupnya. Inilah yang berkontribusi besar pada perasaan bahagia dalam diri seorang manusia tak peduli kondisi apapun yang ia miliki dalam hidupnya saat itu.
Perasaan memiliki kendali atas hidup ini dikatakan Campbell lebih berharga daripada kepemilikan atas benda atau barang berharga apapun yang bisa dibeli dengan uang seperti mobil mewah, pakaian bermerek, hingga rumah besar dengan harga bermilyar-milyar.
Nah dari sini, kita tahu bahwa uang seharusnya bisa memberikan kita kendali atas hidup kita. Dengan kata lain, uang membebaskan kita dari banyak hal yang bisa menindas. Misalnya dengan adanya simpanan harta lebih saat pandemi kemarin meski kita dipecat pun, kita masih bisa bertahan hidup.
Pun saat kita bekerja, kita masih bisa memilih bekerja untuk korporasi atau organisasi mana jika kita tidak terdesak sekali dengan kebutuhan sehari-hari. Dan kita bisa menentukan sendiri kapan kita pensiun atau berhenti bekerja atau rehat jika lelah. Inilah yang disebut Housel sebagai nilai intrinsik terbesar dari uang.
Nah maka dari itu saatnya kita mengoreksi cara pandang dan pendekatan kita terhadap pekerjaan dan uang selama ini yang mungkin kurang pas. Pekerjaan dan uang semestinya sih bisa membuat kita lebih bahagia dan bebas. Bukan malah depresi, stres dan frustasi karena terlalu rakus ingin meraih prestise atau punya lebih banyak uang demi memperkaya diri sendiri.
Jangan jadikan pekerjaan dan duit sebagai tujuan akhir tapi sebagai sebuah batu loncatan saja menuju ke tujuan yang lebih besar dalam hidup kita. Karena jika pekerjaan dan uang jadi tujuan akhir, alih-alih membebaskan, keduanya malah bakal memperbudak kita. Ini satu hal yang terlupa oleh kita saat ini. (*/)
BACA JUGA: INI BAHAYANYA TERLALU ‘PASSIONATE’ SAMA KERJAAN LO