In Depth

PAWANG HUJAN MANDALIKA: MALU ATAU MALAH BANGGA?

Rara Istiati Wulandari, sosok menarik di balik event MotoGP Mandalika kemarin. Aksinya dalam menghalau hujansebagai pawang hujan saat itu memicu banyak respon, antara rasa malu atau malah bangga karena udah berhasil menunjukkan keunikan kita di mata dunia.

title

Sosok Rara Istiati Wulandari hangat diperbincangkan banyak orang dan jadi pemberitaan media sampe detik ini, baik di dalam dan juga luar negeri. Aksinya dalam meredakan hujan deras sesaat sebelum race MotoGP Mandalika dimulai dianggap cukup membanggakan. Tapi di sisi lain, sebagian orang juga beranggapan bahwa aksi Rara sebagai pawang hujan malah membuat malu nama Indonesia di mata dunia.

Pertanyaannya, apakah kita harus merasa bangga atau malah malu sama kejadian kali ini?

TRADISI LOKAL YANG ADA DI BANYAK DAERAH DI NUSANTARA

Kalo ngomongin tentang tradisi – atau kepercayaan khusus, pawang hujan memang mengakar di banyak daerah di Indonesia, terutama di pelosok-pelosok desa yang ada di Pulau Jawa.

Menurut GNFI, pawang hujan bahkan jadi tradisi keraton di Jawa, dan terlebih dianggap sebagai posisi yang cukup prestisius. Keahlian dalam menghalau hujan bukan semata-mata didapat dari latihan dan talenta aja, tapi lebih dalam juga berkaitan dengan genetika. Banyak pawang hujan yang masih menjalani profesinya sekarang yang memang berasal dari keluarga yang mempunyai keahlian yang sama.

Tradisi ini juga datang dari zaman Hindu-Buddha, di Bali juga ada tradisi serupa, disebut sebagai ‘Nerang Hujan. Begitu juga di Sumatera, tepatnya di Riau, tradisi menghalau hujan disebut dengan istilah ‘Bomoh’.

Eksistensinya memang masih berlanjut hingga sekarang. Memang, kalo di kota, kepercayaan ini dianggap kurang relevan dan cenderung dipandang rendah, kayak “Buat apa mengandalkan pawang hujan? Di smartphone ada fitur prediksi cuaca, kalo mau ngadain event ya tinggal liat prediksi cuaca aja”.

Tapi, nggak jarang juga penyedia event-event besar di perkotaan yang menggunakan jasa dari pawang hujan. Nggak cuma di MotoGP Mandalika, bahkan event-event seperti konser dan acara serupa pun masih percaya dengan profesi pawang hujan. Meskipun begitu, nggak ada data real yang menunjukkan kredibilitas pawang hujan dalam melakukan pekerjaannya, semuanya kembali lagi ke kepercayaan masing-masing.

PAWANG HUJAN CUMA ADA DI INDONESIA? OH TENTU TIDAK, FERGUSSO

Aksi Rara di MotoGP kemarin juga menimbulkan banyak cercaan dari orang-orang, yang menganggap bahwa cuma pawang hujan bikin perhelatan MotoGP jadi ‘nggak umum’ dan membanding-bandingkan race di Mandalika ini dengan race MotoGP di negara lain.

Banyak yang merasa malu, bahwa kenapa penyelenggara harus menunjukkan ‘aib’ negara sendiri di event balapan motor paling bergengsi ini?

Pertama-tama, pawang hujan yang jadi kepercayaan dan juga tradisi ternyata nggak cuma ada di Indonesia, utamanya, nggak cuma ada di negara ‘berkembang’ kayak Indonesia aja.

Banyak yang membanding-bandingkan negara sendiri sama negara maju, bahwa di negara maju nggak ada yang namanya ‘takhayul’ atau kepercayaan kayak pawang hujan ini.

Secara umum, edukasi yang baik memang jadi ciri khas negara-negara maju di dunia, dan itu bisa berarti bahwa sebuah kepercayaan atau ‘takhayul’ jadi makin sepele dan sulit dipercaya.

Perilaku yang percaya terhadap takhayul ini jadi salah satu bukti dari sejarah evolusi manusia. Artinya, selagi masih ada manusia di muka bumi, terlepas dari seberapa maju negaranya, hal-hal berbau mistis dan takhayul dirasa akan masih menjadi sesuatu yang erat dengan manusia, dan itu yang membuat masing-masing masyarakat di negara tertentu menjadi unik.

Di Jepang contohnya, salah satu negara maju di Asia Timur yang sampe saat ini masih punya tradisi unik dalam menghalau hujan, namanya ‘Teru Teru Bozu’, di mana seseorang membuat boneka kecil dari kain putih dan digantung di jendela rumah untuk mendatangkan cuaca cerah dan menghentikan hujan.

Ada yang bilang bahwa tradisi ini awalnya dilakukan sama petani-petani di zaman Edo (sekitar tahun 1603 – 1867 Masehi). Tradisi ini juga banyak dilakukan sama anak-anak kecil sambil menyanyikan chantFine-weather priest, please let the weather be good tomorrow. (Pendeta ‘Cuaca Cerah’, tolong jadikan cuaca cerah untuk esok)”.

Bahkan, fashion brand sekelas Louis Vuitton aja pernah pake jasa pawang hujan pas lagi mengadakan fashion show di Rio de Janeiro dan Kyoto. Acara saat itu pun dirasa sukses, karena meskipun cuaca mendung, hujannya nggak turun sampe setelah Nicholas Ghesquière (Creative Director Louis Vuitton) menutup acara.

TERUS, HARUS MALU ATAU MALAH BANGGA SAMA KEUNIKAN INI?

Kalo melihat dari sudut pandang modern dan aspek hidup yang serba digital kayak saat ini, rasanya tradisi atau kepercayaan seperti pawang hujan malah punya urgensi untuk selalu dijaga. Artinya, di tengah-tengah perkembangan zaman yang arusnya deras, tradisi menghalau hujan yang nggak dimiliki semua negara malah harus dilestarikan, dan itu yang membuat kita unik.

Dari banyak perspektif, apa yang udah dilakukan Rara ini selayaknya patut untuk kita banggakan. Keunikan yang kita miliki ini belum tentu akan terulang di race Mandalika tahun depan – belum tentu juga musim depan Sirkuit Mandalika kembali digunakan sebagai salah satu race untuk MotoGP.

Jadi, kenapa harus terlalu menyeriusi soal tradisi? Bukannya kita malah harus merasa bangga dengan apa yang negara kita udah sajikan untuk dunia? Terlepas dari berhasil atau nggaknya Rara dalam menghalau hujan saat itu, seenggaknya aksinya udah menonjolkan sisi unik negara kita dan berhasil memberantas kebosanan penonton saat itu, terutama karena race harus tertunda selama satu jam akibat hujan deras. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.