In Depth

PAKAIAN ADAT JADI SERAGAM SEKOLAH, LANGKAH  BIAR PELAJAR CINTA BUDAYA DAERAH?

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, menerbitkan Peraturan Nomor 50 Tahun 2022. Dalam peraturan tersebut pakaian adat akan jadi seragam sekolah demi menanamkan kecintaan pada budaya. Memangnya efektif?

title

FROYONION.COM - Suatu kali saya pernah mendapati sebuah postingan video di Facebook  yang kalau diingat-ingat kesannya lucu juga. Dalam video tersebut seorang perempuan mengajak orang yang ditemuinya tebak-tebakan judul lagu Indonesia. Tujuannya mengesankan yaitu buat mengetahui seberapa nasionalisnya dirimu.

Saya mengira lagu Indonesia yang dimaksud adalah lagu-lagu dari band lokal. Hingga kemudian ia memutar lagu lewat ponselnya dan mengalunlah lagu berbahasa daerah yang beberapa nggak pernah saya dengar.

Beberapa lagu nggak tertebak judulnya karena memang asing di telinga, terlebih lagi kalau lagu tersebut bukan lagu khas daerahnya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah secara otomatis orang yang ditanyai tersebut jadi nggak nasionalis gara-gara nggak tahu lagu-lagu daerah tersebut?

Beberapa waktu lalu, Nadiem Makarim melakukan terobosan yang kurang lebih sama dengan cerita di atas buat menguji dan memelihara nasionalisme para pelajar. Yaitu, dengan mengeluarkan aturan yang menjadikan pakaian adat daerah sebagai salah satu seragam sekolah. Aturan ini tertulis pada Permendikbud Ristek Nomor 50/2022 Pasal 3 dan Pasal 5.

Masing-masing provinsi nantinya bakal diwajibkan menggunakan salah satu pakaian adat di daerahnya sebagai seragam sekolah. Buat Surabaya yang berada di provinsi Jawa Timur misalnya, bakal diwajibkan memakai pakaian adat Pesa'an (Pakaian adat khas Madura).

Memang terlihat menyenangkan. Coba bayangkan anak-anak SD memakai baju tradisional kayak lagi ikut karnaval. Betapa lucu dan menggemaskan, bukan?

Meski begitu, ada beberapa alasan yang bikin kebijakan ini terkesan kurang kreatif dan nggak tepat sasaran. Apa saja?

1. JADI HARUS BELI SERAGAM BARU LAGI

Adanya seragam baru berarti bakal ada kewajiban untuk membeli seragam baru. Bagi sebagian orang, barangkali ini bukan masalah. Tapi bagi kebanyakan orang, seragam baru barangkali bisa berarti: penghematan ketat, makan tanpa lauk, atau bahkan berhutang.

Ya, memang sih seragamnya bisa dipakai selama bertahun-tahun. Tapi tetap aja, lagi-lagi duit. Di masa-masa sulit ini, ketika ekonomi di ambang ambruk, rasanya ada baiknya kebijakan ini ditunda dulu; bahkan kalau bisa dibatalkan saja.

2. SUDAH ADA SERAGAM BATIK

Kalau tujuannya buat mengejar nasionalis, rasanya seragam batik sudah cukup mewakili. Memangnya kurang nasionalis apa coba seragam batik, lah wong klaimnya aja jadi rebutan sama Malaysia, ya kan?

Lagipula, pakaian adat itu banyak banget pernak-perniknya, kelewat banyak item yang harus dipasang, sebab kebanyakan pakaian adat bukanlah busana buat aktivitas sehari-hari melainkan busana yang sifatnya seremonial seperti pernikahan.

Tentu ini merepotkan dan dikhawatirkan malah mengganggu proses belajar para anak didik. Bukannya fokus menyimak guru, para pelajar malah lebih ribet ngurusin pakaian adatnya.

Maka dari itu seragam batik adalah pilihan paling masuk akal kalau Pak Nadiem ingin mengejar tujuan menanamkan nasionalisme pada pelajar. Selain fleksibel dan enak dipakai sehari-hari, nilai budayanya juga ada.

3. MINIM ESENSI

Rasanya nggak adil deh melihat orang punya jiwa nasionalisme atau nggak, hanya lewat bajunya, hanya dari tampilan luarnya saja. Padahal kita diajari buat jangan menilai buku dari sampulnya.

Hal inilah yang bikin saya nggak melihat kalau kebijakan ini bakal mampu menanamkan lagi menumbuhkan semangat nasionalisme pada para pelajar. Nggak juga bikin mereka mencintai tradisi daerah.

Pakaian adat hanya terkesan simbolik dan minim esensi. Hanya bikin para pelajar kelihatan seolah-olah mencintai tradisi daerahnya, padahal yaa belum tentu.

Lebih berguna rasanya, jika ingin menanamkan kecintaan anak pelajar pada budaya daerah adalah dengan mendukung kesenian daerah. Misalnya di Jawa Timur, ada kesenian ludruk. Atau bahkan wayang yang kesannya lebih nasional.

Itulah alasan yang membuat kebijakan ini terkesan kurang kreatif dan nggak tepat sasaran.

Sebetulnya ada banyak cara buat menanamkan kecintaan para pelajar pada tradisi daerah juga semangat nasionalisme. Hanya saja cara lainnya itu butuh proses yang panjang, makan waktu juga biaya yang nggak sedikit.

Memang sih lebih gampang bikin aturan mengubah pakaian adat sebagai seragam, hanya modal nyuruh doang. Ya, meskipun nggak guna-guna banget. (*/)

BACA JUGA: BUDAYA BERKAIN YANG KEMBALI VIRAL DI KALANGAN MAHASISWA

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan