Setelah bulan lalu netizen dihebohkan dengan kasus pernikahan beda agama yang dilakukan oleh salah satu Staf Khusus Presiden, sekarang muncul satu pertanyaan, “emangnya boleh ya nikah beda agama?”
FROYONION.COM - Pada pertengahan bulan Maret yang lalu, pernikahan beda agama sempat jadi perbincangan yang panas di jagat sosial media. Ada 2 kasus pernikahan beda agama yang terjadi dalam kurun waktu 1 bulan itu.
Yang pertama dilakukan oleh seorang perempuan Muslim yang menikah dengan seorang pria Katolik di Gereja St. Ignatius Krapyak, Kota Semarang. Selang beberapa minggu setelahnya, pernikahan beda agama kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh Stafsus Presiden Joko Widodo, yang bernama Ayu Kartika Dewi. Wanita Muslim ini menikahi seorang pria Katolik bernama Gerald Sebastian di Katedral Jakarta.
Disclaimer dulu ya, Civs. Artikel ini murni berisi pendapat pribadi, gue nggak berusaha untuk menyampaikan sebuah narasi atau unsur apapun yang bersifat persuasif untuk mendukung pihak tertentu, gue hanya menyuarakan pendapat secara personal terhadap pernikahan beda agama aja.
Ramainya perdebatan terhadap kasus pernikahan beda agama ini terjadi bukan tanpa alasan, Civs. Dewasa ini, polemik atas pernikahan beda agama yang terjadi di masyarakat (se-penangkapan gue) disebabkan karena perbedaan pandangan antara masyarakat yang pro terhadap hukum yang berlaku di negara kita yang melarang adanya pernikahan beda agama, dan juga masyarakat yang pro terhadap perjuangan hak asasi manusia, bahwa seseorang dianggap bebas melakukan sesuatu hal yang dianggap baik untuk dirinya, dan terutama nggak merugikan pihak lain, terlepas dari kebenaran bahwa apa yang dilakukan itu nyatanya melanggar hukum agama dan negara.
Sebuah tweet dari akun bernama @Afutami mendadak jadi viral dan diprotes oleh netizen saat itu, utamanya soal isi tweet-nya yang bagi kebanyakan orang dipandang menyepelekan agama dan hukum yang berlaku tentang pernikahan beda agama yang dilakukan Ayu dan Gerald.
Ia beropini bahwa “Agama dan pernikahan memang seharusnya tentang cinta kasih”. Beberapa beranggapan bahwa tweet-nya terlalu ‘meromantisasi’ urusan nikah beda agama sebagai wujud toleransi.
Keesokan harinya, @Afutami pun men-tweet sebuah pernyataan maaf atas komentarnya kemarin yang ia sadari bukan sebagai ‘domain otoritas pengetahuan’-nya.
Secara hukum formal, perkawinan di negara kita salah satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU tersebut, utamanya di Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selain itu, ada beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang menguatkan status ‘ilegal’ terhadap pernikahan beda agama. Salah satunya di pasal 4 yang isinya:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Juga, ada pasal 44 yang berisi:
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam".
Dikutip dari tweet oleh @Inspiralaw_id, menurut Majelis Agama Tingkat Pusat, pelaksanaan perkawinan beda agama sepenuhnya mengikuti hukum agamanya masing-masing. Artinya, tidak sah secara hukum suatu pernikahan kalau masing-masing agama pun melarang pernikahan beda agama.
Dalam Islam, ada Surat Al-Baqarah Ayat 221 yang secara jelas menerangkan larangan atas pernikahan beda agama. Beberapa bait dalam ayat tersebut berisi:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”.
Begitupun dengan Kristen yang juga melarang pernikahan beda agama dalam 2 Korintus 6:14-18, dengan isi sebagai berikut:
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?”.
Menurut artikel oleh Hukum Online, Hindu pun nggak mengenal adanya pernikahan beda agama. Calon pengantin pria dan wanita harus sama-sama memeluk agama Hindu. Jika belum sama, maka wajib dilaksanakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu.
Meskipun dalam beberapa agama dijelaskan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang terlarang, namun, masih ada beberapa pihak yang memperdebatkan tafsir atas ayat-ayat agama tersebut. Seperti contohnya ayat 10 dalam Surat Al-Mumtahanah yang memperdebatkan apakah seorang Mukmin masih dapat menikahi seseorang yang musyrik dan bukan kafir.
Dikutip dari BBC, Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti merasa bahwa UU Perkawinan sudah harus direvisi.
“Menikah itu kan sebenarnya Hak Asasi Manusia, itu ada di konstitusi juga. Tugas negara itu cuma mencatat supaya memfasilitasi perkawinan itu. Itulah sebenarnya konsep hukum perdata dari perkawinan, untuk memiliki harta bersama, pajak, keabsahan anak, hak waris, dan seterusnya,” jelas Bivitri.
Lebih lanjut, Bivitri menjelaskan bahwa setiap agama mempunyai tafsir yang berbeda-beda. Selalu terjadi polemik setiap kali ada kasus pernikahan beda agama yang muncul ke publik. Pada akhirnya, Bivitri merasa bahwa pasal dalam UU itu lebih baik ditiadakan.
Begitupun dengan pendapat dari Pastor Y. Purbo Tamtomo Pr. yang mewakili KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Ia berkata bahwa pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mempersulit masyarakat negara yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama.
“Isi Pasal 2 ayat (1) harus diartikan dalam pernikahan perlu dijunjung dua hak mendasar yakni kebebasan hati nurani untuk memilih pasangan hidup (agama) dan hak untuk menikah. Tidak boleh dua hal itu bertemu salah satunya harus dikorbankan, tetapi harus tetap dijaga dan dihormati,” jelasnya, dikutip dari Hukum Online.
Dari banyaknya pasal yang udah mengatur tentang perkawinan di negara kita dan juga ayat-ayat yang melarang pernikahan beda agama, bukan berarti hal ini membuat masyarakat kita ‘enggan’ untuk tetap melangsungkan pernikahan beda agama.
Dikutip dari Kompas, seorang konselor pernikahan bernama Achmad Nurcholis menyatakan bahwa dirinya telah lebih dari 30 kali mendampingi pernikahan beda agama. Jadi, apa yang telah viral di Twitter bulan lalu pun memang bukan kali pertama pernikahan beda agama terjadi di Semarang.
Ternyata, banyak calon mempelai asal Indonesia yang memilih melangsungkan pernikahan beda agama di luar negeri. Mereka bakal mendapatkan akta perkawinan dari negara itu atau dari perwakilan KBRI yang ada di sana. Sesampainya di Indonesia, para pasangan ini bisa mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri, dikutip dari artikel oleh Padli Yannor.
Selain itu, nggak jarang juga calon pasangan memilih untuk menikah dengan menggunakan dua prosesi dari masing-masing agama, seperti akad nikah Islam terlebih dahulu, lalu lanjut dengan proses pemberkatan di gereja.
Konsekuensinya, status pernikahannya secara hukum bisa dianggap nggak sah, maka di KTP pun status pernikahannya masih ‘belum menikah’ meskipun secara agama sudah melalui proses pernikahan.
Pada akhirnya, pernikahan itu bukan melulu soal cinta antara kedua mempelai aja, Civs. Di dalamnya, ada campur tangan keluarga, negara, dan juga agama. Sebelum memilih untuk melangkah lebih jauh, pikirkan juga secara matang tentang dampak-dampak dan konsekuensi yang mungkin terjadi di kemudian hari. (*/)
BACA JUGA: TEMAN-TEMAN UDAH PADA NIKAH, TERUS LO HARUS NGAPAIN?