Bilang “ingin mati” sering disalahpahami sebagai keinginan mutlak untuk mati. Padahal seseorang yang mengaku demikian, mereka cuma sedang mencari cara untuk mengakhiri penderitaan yang mereka alami.
FROYONION.COM - Masalah bunuh diri menjadi salah satu isu yang paling kompleks dan membingungkan dalam kesehatan mental.
Banyak orang yang salah memahami konsep ini. Mereka beranggapan bahwa ketika seseorang menunjukkan tanda-tanda atau mengungkapkan keinginan bunuh diri, artinya mereka pasti ingin mati.
Padahal, seringkali kasusnya jauh lebih rumit dari sekadar keinginan untuk mengakhiri hidup.
Keinginan untuk bunuh diri bisa mencerminkan perasaan putus asa, ketidakmampuan mengatasi rasa sakit yang mereka rasakan, atau harapan agar penderitaan itu berhenti, bukan keinginan nyata untuk mati.
Secara psikologis, banyak orang yang mengalami ide bunuh diri sebenarnya berada dalam kondisi ambivalen.
Di satu sisi, mereka ingin mengakhiri rasa sakit atau situasi sulit, namun di sisi lain, mereka belum tentu ingin kehilangan hidup mereka sepenuhnya.
Perasaan campur aduk ini bisa membuat orang yang suicidal lebih banyak pasrah pada keadaan atau menyerahkan nasib mereka pada “takdir.”
BACA JUGA:
3 KATEGORI BUNUH DIRI ALA EMILE DURKHEIM: MOTIF PSIKOLOGIS ATAU SOSIOLOGIS?
Sebagai contoh, seorang pria muda yang depresi dan mengonsumsi obat penenang berjalan di jembatan Golden Gate. Dalam catatan yang ia tinggalkan, ia menulis, “Jika ada satu orang yang tersenyum padaku, aku tidak akan melompat.”
Ungkapan sederhana ini menunjukkan bahwa ada kerinduan terhadap kehidupan—bahwa sebenarnya ia berharap ada seseorang yang memberinya alasan untuk bertahan hidup, meskipun rasa sakit yang ia alami sangat kuat. Sayangnya, tak ada orang yang menyapanya, dan ia akhirnya mengakhiri hidupnya.
Kisah lain menunjukkan seorang gadis remaja yang menelan pil dalam jumlah besar tanpa mengetahui apakah itu akan berakibat fatal.
Baginya, ini adalah keputusan pasrah; ia lelah dengan rasa sakit emosional yang ia rasakan. Jika seseorang menemukannya tepat waktu, ia mungkin akan selamat.
Namun, jika tidak, penderitaannya akan berakhir. Dalam kondisi seperti ini, tujuan utamanya bukan kematian, tetapi sekadar jalan keluar dari beban yang tak tertahankan.
Sikap umum yang sering muncul di masyarakat terhadap mereka yang suicidal adalah sikap apatis atau bahkan merendahkan.
Kita mungkin pernah mendengar ada orang di tengah kerumunan yang meneriaki seseorang yang berada di tepi gedung, “Lompat saja!” Sikap kasar ini bisa mencerminkan ketidakpedulian dan ketidakpahaman kita terhadap penderitaan orang lain.
Dalam beberapa kasus, masyarakat merasa bahwa individu yang suicidal adalah beban yang lebih baik dihilangkan daripada ditangani.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat sering kali “menulis” orang-orang ini sebagai sudah tak berharga atau tak punya harapan, menganggap keputusan mereka untuk mengakhiri hidup adalah tanggung jawab mereka sendiri tanpa perlu intervensi atau perhatian lebih lanjut.
Padahal, ketika kita berpikir bahwa seseorang yang suicidal benar-benar ingin mati, kita kehilangan kesempatan untuk menolong mereka.
Kepercayaan bahwa “mereka sudah bulat ingin mati” sering kali menjadi justifikasi bagi kita untuk tidak mengambil tindakan apa pun, seolah-olah upaya untuk membantu mereka adalah tindakan sia-sia.
Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa banyak dari mereka yang sebenarnya membutuhkan bantuan dan kehadiran seseorang untuk memahami perasaan mereka.
Pada tahun 1975, seorang psikiater di San Francisco, Dr. David Rosen, melakukan wawancara dengan enam orang yang selamat setelah mencoba bunuh diri dengan melompat dari Jembatan Golden Gate.
Meskipun jumlah sampel sangat kecil, temuan Rosen cukup menarik: semua penyintas, yang berusia di bawah 30 tahun, mengatakan bahwa mereka menyadari keinginan untuk hidup saat tubuh mereka mulai jatuh dari jembatan.
Tak seorang pun dari mereka memiliki “Rencana B”; mereka merasa bahwa Jembatan Golden Gate adalah satu-satunya pilihan mereka untuk “mengakhiri” penderitaan mereka. Namun, ketika mereka melompat, perasaan yang muncul justru adalah keinginan untuk hidup.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ide untuk bunuh diri sering kali berasal dari keputusasaan yang mendalam, bukan dari keinginan sejati untuk mati. Pada titik kritis itu, kebanyakan orang justru menyadari bahwa mereka masih ingin hidup.
Momen ini bisa menjadi pengingat bagi kita bahwa dorongan bunuh diri bukanlah indikasi keinginan mutlak untuk mati, tetapi lebih kepada perasaan putus asa yang ekstrem.
Penting bagi kita untuk mengubah cara pandang bahwa orang yang suicidal selalu ingin mati.
Memahami bahwa keinginan bunuh diri seringkali muncul dari rasa sakit yang tak tertahankan, dan bukan dari keinginan untuk benar-benar mengakhiri hidup, adalah langkah penting dalam upaya mencegah bunuh diri.
Dalam banyak kasus, mereka hanya ingin rasa sakitnya berakhir, dan bukan kehidupan itu sendiri.
Sikap empatik dan proaktif dari lingkungan sekitar bisa sangat membantu dalam mencegah tindakan bunuh diri.
Intervensi sederhana seperti mendengarkan dengan penuh perhatian, menunjukkan empati, dan memberikan rasa peduli bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati bagi seseorang.
Kita harus selalu ingat bahwa ketika seseorang terlihat di ambang keputusasaan, mereka mungkin tidak benar-benar ingin mati; mereka mungkin hanya butuh alasan kecil untuk terus bertahan.
Dengan mendekati isu ini dengan empati, kita bisa membantu mereka yang suicidal menemukan harapan di tengah kegelapan.
Mari kita berhenti menganggap mereka yang merasa suicidal sebagai “ingin mati” dan mulai melihat mereka sebagai manusia yang memerlukan dukungan.
Kematian mungkin terlihat seperti satu-satunya jalan, tetapi jika kita hadir dan peduli, kita bisa menjadi titik terang yang mereka butuhkan untuk menemukan kembali alasan untuk hidup. (*/)