In Depth

MENGENAL WORKAHOLIC, KECANDUAN KERJA YANG MENGANCAM KESEHATAN MENTAL

Workaholic menjadi masalah umum bagi para pekerja modern sekarang ini. Simak pengertian dari workaholic, faktor pemicunya, dampak, serta cara mengatasinya.

title

FROYONION.COM - Pernahkah kamu merasa hectic sampai tak punya waktu buat menikmati hidup? Atau kamu mungkin sulit menahan godaan pekerjaan, bahkan merasa bersalah ketika mengambil cuti? 

Bisa jadi kamu sudah masuk dalam jebakan workaholic tanpa sadar.

Diungkapkan dalam tulisan dari Big Think, workaholic atau kecanduan kerja mulai menjadi hal yang umum dalam lingkungan kerja masyarakat modern. 

Hasil survei yang dilakukan baru-baru ini, melalui pengukuran di berbagai bidang pekerjaan dan budaya menunjukkan sebuah fakta mengejutkan soal isu tersebut. 

Diperkirakan ada sekitar 15 persen pekerja di seluruh dunia punya kecenderungan menjadi workaholic tanpa tahu kapan dan bagaimana caranya berhenti kecanduan. Bahkan parahnya, mereka juga meyakini workaholic hal yang lumrah belaka.

Namun, workaholic bukan sekadar bekerja lebih banyak dan lebih lama dibandingkan lainnya. 

Hal ini diungkap oleh Toon Taris, seorang ilmuwan dari Universitas Utrecht, Belanda, yang meneliti perilaku para pekerja.

Taris mengungkapkan bahwa meskipun istilah ini banyak diucapkan bahkan terkadang digunakan dengan sembarangan, workaholic merupakan gangguan mental yang lebih umum, lebih kompleks, serta lebih berbahaya dari dugaan banyak orang.

Ia tak hanya bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik, melainkan juga secara mental. Bahkan hal ini bisa membahayakan perusahaan karena berpotensi menurunkan kinerja.

PERBEDAAN WORKAHOLIC, BERDEDIKASI, DAN PEKERJA LEMBUR

Meski sama-sama bekerja lebih banyak dan lebih lama, ada perbedaan antara workaholic, pekerja lembur, dan pekerja yang berdedikasi.

Label “workaholic” jelas tak bisa disematkan pada pekerja lembur. Biarpun keduanya sama-sama bekerja lebih lama, para pekerja ini belum tentu suka bekerja lembur dan mungkin saja melakukannya untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Selain itu menurut Taris, workaholic juga berbeda dengan orang yang berdedikasi untuk pekerjaannya. 

Dan itu artinya, kecanduan kerja bisa jadi berada dalam kategori yang berbeda dengan kapitalisme atau bahkan mungkin tidak berkaitan dengan mendapatkan uang lebih banyak.

Penjelasan yang lebih ringkas untuk workaholic yang kompleks diungkapkan Malissa Clark, seorang psikolog industri/organisasi dari University of Georgia di Athena.

Dalam jurnal yang dibuatnya bersama rekan-rekannya, ia menyebut bahwa kecanduan kerja mencakup dalam empat dimensi, yaitu: motivasi, pikiran, emosi dan perilaku.

Mereka yang terjebak dalam workaholic sering kali melibatkan dorongan batin untuk bekerja tanpa henti (motivasi), sulit untuk berhenti memikirkan pekerjaan terus-menerus (pikiran), terbebani oleh perasaan negatif saat mereka tidak bekerja (emosi) dan bekerja di luar batas normal (perilaku).

Inilah yang kemudian membedakan pekerja workaholic dengan jenis pekerja lainnya. 

Ketika pekerja lain bisa melepaskan pekerjaannya sejenak dan masih menjaga hubungan sosialnya, para workaholic akan merasa malu dan tidak berguna ketika berhenti bekerja.

SIAPA PUN BISA TERJEBAK DALAM WORKAHOLIC

Temuan Clark lainnya menyebutkan bahwa workaholic bisa dialami oleh semua kalangan, baik yang muda maupun tua, pria maupun wanita, tingkat status sosial yang berbeda hingga dari berbagai bidang pekerjaan apa saja.

“Para workaholic bisa ada di bidang pekerjaan apa saja,” ungkap Clark dikutip dari bukunya Never Not Working: Why the Always-On Culture Is Bad for Business – and How to Fix It.

Meski demikian, ada beberapa jenis pekerjaan dan kalangan yang rentan terjebak dalam workaholic ini. Yang berarti juga terdapat beberapa faktor pemicu dari gangguan ini, antara lain:

1. PEKERJA WFH RENTAN WORKAHOLIC

Berdasarkan temuan dari Taris dan de Jonge, diungkapkan bahwa kemajuan teknologi seperti Zoom dan Google Meet yang memungkinkan orang-orang bekerja dari rumah atau WFH, bisa menjadi pemicu mereka terjebak dalam workaholic.

Lalu apa alasan di balik rentannya para pekerja WFH dan freelance masuk dalam jebakan workaholic ini?

Salah satunya adalah tidak adanya jam kerja yang jelas. Memang bekerja dari rumah juga memungkinkan mereka bekerja di mana saja dan kapan saja. Namun itu juga berarti, mereka bisa bekerja secara overtime tanpa batas yang jelas.

Terlebih, karena tidak adanya rekan kerja yang bisa mengingatkan mereka untuk mengambil jeda dan istirahat.

Kedua, kesulitan untuk lepas dari godaan pekerjaan sebagai hasil kesulitan kita lepas dari gadget seperti laptop dan ponsel, tempat pekerjaan terus memanggil-manggil untuk dijamah.

Ketiga, karena adanya keinginan untuk menjadi lebih menonjol dibandingkan rekan kerja lainnya, sehingga menimbulkan dorongan untuk terus bekerja dengan rentang waktu yang panjang.

2. MEREBAKNYA HUSTLE CULTURE

Tren ini merebak di kalangan Gen Z dan Milenial. Hustle culture menggambarkan gaya hidup yang isinya ‘kerja, kerja dan kerja’ belaka hingga mengabaikan hal lainnya.

Kedua generasi yang banyak disebut terobsesi dengan kekayaan dan status sosial tersebut, tidak puas dengan hanya memiliki pekerjaan utama sebagai sumber pemasukan.

Tak jarang sebagian besar dari mereka punya pekerjaan sampingan di luar pekerjaan utama yang sudah menyita seharian waktu yang mereka miliki.

Meskipun banyak faktor yang memicu tren ini, seperti efek negatif media sosial, FOMO, hingga kaitannya dengan sosio-ekonomi; hustle culture juga bisa menggiring generasi ini dalam jebakan workaholic.

3. LINGKUNGAN KERJA YANG TIDAK SEHAT

Lingkungan kerja yang tidak sehat juga bisa menjebak pekerja dalam perangkap ini seperti jam kerja yang panjang, memaksakan lembur, job desk lebih dari satu, hingga atasan yang sulit dipuaskan.

Untuk itu penting bagi setiap perusahaan menetapkan batasan yang jelas tentang jam kerja dan job desk suatu pekerjaan.

4. WORKAHOLIC SEBAGAI SEBUAH PELARIAN

Namun, tak jarang sebagian orang masuk dalam jebakan workaholic ini sebagai sebuah pelarian atau pengalihan isu dari masalah yang ia alami sebenarnya.

Biasanya mereka menggunakan workaholic sebagai pelarian karena berbagai alasan internal, seperti ketakutan akan kegagalan, kesepian, kurangnya kepercayaan diri, hingga sebuah cara yang ditempuh untuk mengatasi stres.

DAMPAK BURUK WORKAHOLIC

Ada temuan lainnya yang mungkin akan jadi fakta mengejutkan. Terlepas dari upaya yang dilakukan oleh para workaholic dengan bekerja gila-gilaan, nyatanya kinerja mereka tidak jauh lebih baik dibandingkan pekerja lainnya.

“Mereka menciptakan banyak pekerjaan untuk diri mereka sendiri, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa mereka melakukan pekerjaan dengan baik,” ungkap Taris dikutip dari Bigthink.

Hal ini bisa terjadi, karena semakin banyak seseorang bekerja, semakin sedikit waktu baginya untuk melakukan recovery dan istirahat yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan secara optimal.

Selain tak membawa dampak banyak pada kinerja, workaholic justru mendatangkan dampak buruk bagi mereka.

Pertama, karena sulit bagi mereka untuk lepas dari pekerjaan, mereka jadi tidak bisa menikmati hidup. Akibatnya, tingkat kepuasan hidup mereka pun menurun.

Kedua, karena kurangnya waktu beristirahat, para workaholic ini sering melakukan human error yang merugikan dan membahayakan perusahaan.

Ketiga, karena pekerjaan mereka menyita nyaris seluruh waktu mereka, para workaholic ini kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang penting bagi kebahagiaan mereka.

Keempat, workaholic juga rentan mengalami stres berlebih dan gangguan kesehatan lainnya. Selain itu mereka juga rentan menjadi pecandu obat-obatan terlarang, alkohol hingga melakukan kebiasaan tidak sehat lainnya.

Bahkan seperti halnya dengan budaya karoshi di Jepang, para workaholic ini bisa kehilangan nyawa saat bekerja karena kecelakaan atau penyakit lainnya.

CARA MENGATASI WORKAHOLIC

Hingga kini belum ada cara efektif untuk menyembuhkan dan menghilangkan kecanduan pada pekerjaan ini. 

Namun ada cara untuk menguranginya yang melibatkan banyak pihak, seperti pemilik perusahaan, pakar psikologis, keluarga hingga yang terpenting tiap individu yang mengalaminya.

Perusahaan bisa membantu para pekerja ini menemukan keseimbangan antara bekerja dan menjalani hidup, juga melakukan tindakan pencegahan.

Misalnya, dengan menentukan jam kerja dan jadwal yang pasti, melakukan pengecekan dan mengingatkan siapa pun yang bekerja terlalu lama, membatasi akses ke materi terkait pekerjaan setelah jam kerja berakhir hingga memberi contoh tentang pendekatan yang sehat tentang pekerjaan.

Meski begitu semua itu tak akan berhasil jika tidak ada peran dan keinginan masing-masing individu untuk keluar dari jebakan workaholic.

Cara yang bisa ditempuh oleh masing-masing individu, misalnya dengan mengatur waktu istirahat dan menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Menemukan hobi dan kegiatan lainnya untuk dilakukan juga bisa menjadi cara lainnya untuk lepas dari kecanduan ini.

Peran keluarga dan teman-teman terdekat juga dibutuhkan untuk membantu. 

Karena dengan membangun hubungan sosial dan support system yang baik, memungkinkan seseorang menyadari ada hal lain di luar pekerjaan yang juga sama berharganya.

Jangan sungkan juga untuk mencari dukungan dan bantuan dari profesional. Berkonsultasi dengan psikolog maupun konselor bisa sangat membantu dalam menemukan solusi untuk keluar dari perangkap workaholic ini. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan