Kerja, kerja, kerja, tipes. Hal ini bukan candaan semata, namun benar adanya di Jepang sana. Bahkan, bekerja secara berlebihan (karoshi) sudah jadi semacam budaya dan mendapat apresiasi. Kok bisa?
FROYONION.COM - Orang Jepang dikenal sebagai pekerja keras. Namun, siapa sangka di balik kerja keras ini ternyata ada bayang-bayang buruk yang mengintai..
Ada sebuah istilah yang populer di sana yaitu karoshi. Kata ini digunakan untuk menjelaskan kematian yang disebabkan karena bekerja terlalu banyak. Masalah sosial ini bahkan sudah dikenal sejak lama, sekitar tahun 1970-an.
BACA JUGA:
KAKEIBO: CARA MENGELOLA UANG ALA JEPANG YANG ENGGAK BIKIN STRES
Walau sudah jadi masalah klasik, namun penyelesaiannya masih terbilang berada di jalan buntu. Ratusan kematian di Jepang tercatat dalam beberapa tahun terakhir akibat jam kerja terlampau panjang.
Bagaimana karoshi bisa menjadi epidemi di Jepang dan bagaimana cara pemerintah Negeri Sakura dalam menanggulanginya? Apakah fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia?
Stres akibat terlalu banyak bekerja memungkinkan tubuh menahan hormon adrenalin dan kortisol dalam waktu lama. Kedua hormon ini lama kelamaan akan merusak sistem peredaran tubuh dan menjadi cikal bakal aneka penyakit mulai dari jantung, stroke hingga tekanan darah tinggi.
Kemungkinan lain yang muncul dari stres kronis adalah gangguan kesehatan mental. Ini bisa membuat seseorang mengadopsi berbagai kebiasaan berbahaya agar bisa mengatasinya. Istilahnya, sebagai coping mechanism.
Termasuk dalam kebiasaan berbahaya ini seperti merokok, konsumsi alkohol, gangguan tidur hingga tidak bersosialisasi ataupun melakukan olahraga rutin. Seiring waktu, tubuh akan menjadi semakin lemah dan resiko kardiovaskular semakin tinggi. Jelas bahwa ada hubungan kuat antara stres kronis dengan penyakit yang mengancam nyawa.
BACA JUGA:
KENAPA ORANG JEPANG SANGAT SUKA MINUM BIR?
Di Jepang, ada beberapa cerita populer yang sempat mengemuka terkait para pekerja yang mengalami karoshi. Juli 2013 lalu, misalnya. Seorang reporter NHK bernama Miwa Sado ditemukan meninggal dunia di apartemennya sembari memegang telepon genggam.
Ia diketahui bekerja 159 jam tanpa lembur dan sangat jarang mengambil cuti. Usianya masih 31 tahun kala itu dan penyebab kematiannya diketahui akibat gagal jantung.
Kasus lain adalah kematian Matsuri Takahashi yang pada 2015 lalu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia adalah seorang karyawan biro iklan di Jepang yang masih berusia 24 tahun. Tekanan pekerjaan dan jadwal yang melelahkan membuatnya hancur secara mental dan fisik.
Bahkan, survei pemerintah pada 2016 lalu mencatat bahwa satu dari lima pekerja Jepang memiliki resiko karoshi. Alasannya bermacam-macam, namun yang paling utama adalah kekurangan pasar tenaga kerja yang sudah dialami negara ini selama beberapa dekade.
Jumlah tenaga kerja yang terus menyusut serta produktivitas yang menurun membuat tuntutan serta tekanan kerja makin tinggi. Termasuk dalam tekanan ini adalah jam kerja panjang yang dibarengi beban kerja berat.
BACA JUGA:
NEKONOMI DI INDONESIA, SAAT KUCING PELIHARAAN TURUT GERAKKAN EKONOMI
Pada 2004 lalu, terhitung 12% warga Jepang bekerja selama 60 jam atau lebih tiap minggunya. Budaya kerja di Jepang juga sangat menghargai kerja keras serta jam kerja panjang. Pegawai yang pulang lebih awal, misalnya, akan dianggap tidak serius bekerja dan kurang loyal.
Pola pikir ini dianut pula dalam praktek manajerial. Supervisor akan menggunakan jam aktif serta jam non aktif sebagai tolok ukur produktivitas para karyawan.
Sektor ritel, manufaktur dan transportasi terutama mencatatkan kasus penyakit jantung, otak dan kesehatan mental yang cukup tinggi antara rentang tahun 2010 hingga 2015.
Berkat inovasi teknologi serta reformasi hak-hak pekerja, jam kerja tahunan kini mengalami tren penurunan. Namun, mengubah sesuatu yang sudah jadi budaya adalah cerita berbeda.
Pemerintah Jepang tentu tidak diam saja melihat statistik tidak membanggakan di atas. Beberapa program diluncurkan sebagai usaha mereka menekan angka kematian akibat terlalu banyak bekerja.
Program Jumat Premium, misalnya, memberi karyawan libur setengah hari tiap Jumat. Idenya adalah mendorong work life balance para karyawan sekaligus memperkuat perekonomian. Namun, aksi ini justru menjadi bahan tertawaan dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Tidak kehabisan akal, pemerintah lalu menerbitkan daftar “perusahaan hitam” yang terbukti melanggar UU Ketenagakerjaan. Diharapkan dapat mempermalukan perusahaan-perusahaan tersebut supaya patuh, namun kebijakan ini tetap tidak mendapat dampak signifikan.
2018 lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe mengesahkan UU Reformasi Gaya Kerja yang membatasi jam lembur maksimal 350 jam per tahun. Namun bahkan dengan UU ini, masyarakat Jepang masih kekeuh dengan pola pikir bahwa jam kerja panjang berbanding lurus dengan ketekunan karyawan.
Segala cara ditempuh, namun survei pemerintah masih menunjukkan hawa 37% perusahaan yang diinspeksi antara rentang tahun 2020 hingga 2021 masih melampaui batas lembur. Pada 2019 lalu tercatat ada 3.000 kasus karoshi dengan 1.000 di antaranya berhubungan dengan penyakit jantung dan otak.
Lepas dari karoshi nyatanya bukan hanya persoalan jam kerja panjang. Kondisi sosial di tempat kerja juga memiliki potensi bahaya psikososial. Tuntutan tinggi di tempat kerja, tugas-tugas monoton, konflik antarpribadi, ketidakamanan kerja hingga gaji yang tidak sesuai juga termasuk di dalamnya.
Berdasarkan data dari WHO dan ILO yang menunjukkan peta persebaran kasus karoshi, diketahui bahwa wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara adalah yang paling banyak terjadi paparan jam kerja tinggi. Sementara kasus paling jarang terjadi ada di wilayah Eropa.
Di Indonesia, walau statistiknya tidak semengerikan Jepang, namun kasus kematian akibat terlalu banyak bekerja juga pernah ditemukan dan jadi headline berita. Juli 2023 lalu misalnya, seorang desainer grafis asal Yogyakarta ditemukan tewas dalam kamar kosnya.
Terlalu sering begadang akibat bekerja dan dibarengi konsumsi kopi berlebihan disinyalir membuat asam lambungnya naik dan mengakibatkan kematian.
Sementara pada 2013 lalu, seorang copywriter dari agensi juga diberitakan meninggal dunia setelah 30 jam non-stop bekerja dan mengonsumsi banyak minuman berenergi.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sempat mengusulkan 4 hari kerja dalam sepekan untuk mendongkrak produktivitas karyawan. Sistem ini sendiri sudah dijalankan di beberapa negara dan diujicobakan di Jerman.
Melansir dari Liputan 6, Tulus Abadi selaku Ketua Pengurus Harian YLKI menyarankan ujicoba 4 hari kerja di wilayah Jabodetabek. Menurutnya, tambahan libur satu hari akan turut mereduksi sebaran polusi udara di Jabodetabek.
Namun, usulan kebijakan ini memang tidak bisa serta merta disamakan dengan negara lain. Kajian mendalam juga harus dilakukan dari berbagai sisi seperti sosial, ekonomi hingga kesiapan regulasinya.
Pemerintah memang harus turun tangan serta dalam menanggulangi masalah ini. Perlu dibuat dan ditegakkan secara tegas undang-undang guna memastikan keselamatan pekerja. Hukuman bagi pelanggaran undang-undang juga harus lebih berat daripada sekedar dipermalukan di publik yang hanya bersifat jangka pendek. (*/)