In Depth

KUNCI KESEHATAN MENTAL: BELAJAR MENERIMA ‘HEALTHY NEGATIVITY'

Merespons mereka yang lagi menghadapi masalah kesehatan mental lalu menasehati mereka agar bersyukur, apa iya itu respons yang tepat?

title

FROYONION.COM - Lo pasti pernah kan lagi curhat ke orang tua atau ke temen deket soal apapun, termasuk mengenai masalah kesehatan mental yang sedang lo alami. Kadang mereka nasehatin lo buat lebih pandai bersyukur, pernah enggak?

Ucapan kayak “Ah lo kurang bersyukur aja” atau “Kalau lo lagi sedih, coba lihat orang-orang yang hidupnya di bawah lo,” sebetulnya enggak ada yang salah, cuman kurang tepat aja merespons demikian. Apa kita yang enggak tau cara mendukung mereka lantas bilang hal itu biar mereka tenang?

Dan setelah gue mencari tahu, ternyata orang yang mengalami stres, depresi sampai ada keinginan buat melukai diri, itu bukan enggak pandai mensyukuri hidup. Mereka enggak tau gimana caranya mengelola emosi.

Menjalani hidup itu gampang-gampang susah, meski banyak yang bilang banyak susahnya. Ada banyak hal yang harus lo perjuangin. Belum lagi tuntutan buat memenuhi atau standar tertentu dalam hidup.

SULITNYA MENDAPAT DUKUNGAN

Misalnya ketika kita kecil, orang tua menuntut ranking satu, juara kelas, punya nilai bagus di setiap pelajaran. Namun, orang tua cenderung marah kalau anaknya dapet nilai jelek. Bahkan mereka belum bisa menerima atau memahami apa kendala yang dihadapi anak.

Ketika lo beranjak dewasa, tuntutan makin banyak. Misalnya masuk universitas ternama, setelah kuliah, cari kerja yang gajinya gede. Yang udah menikah, diminta untuk cepat punya anak. Kalo enggak sesuai mungkin bakal dicap gagal. Dan tuntutan ini, muncul tekanan yang bikin kesehatan mental lo terganggu.

Nggak jarang orang yang sedang menghadapi itu, punya pikiran untuk mengakhiri hidup. Namun, apa yang mereka dapatkan? Mereka malah mendapat nasihat yang kurang tepat.

Di kehidupan masyarakat, orang-orang cenderung belum bisa menerima kegagalan. Seakan dilarang untuk merasakan emosi negatif dan dipaksa untuk terus positif.

Gimana bisa positif kalau enggak diizinin untuk menerima emosi yang negatif? Gimana juga mau positif kalau lingkungan sekitar sama sekali enggak mendukung?

BACA JUGA: INILAH JUMLAH JAM KERJA IDEAL UNTUK MERAWAT KESEHATAN MENTAL

BERPIKIR POSITIF BELUM TENTU BAIK

Daripada mengabaikan dan menekan emosi negatif, ada baiknya kita memberi tahu mereka agar ngerasain emosi tersebut, terima keadaan yang terjadi dan mencoba untuk melihat sisi terangnya.

Sampaikan aja kalo enggak perlu lama-lama larut dalam emosi negatif. Dari kesadaran akan emosi yang dialami, bisa loh nemuin kekuatan untuk bangkit kembali dan mencari solusi yang tepat.

Tentunya, setiap orang punya cara masing-masing untuk bisa melalui masa-masa sulit Civs. Misalnya, memilih untuk konseling ke psikolog atau menjalani pemeriksaan ke psikiater. 

Sebetulnya emosi punya peran buat memberikan kita kesadaran buat jadi lebih baik. Kalo kita sedih, berarti kita menyadari hal tersebut adalah sesuatu yang penting dan dipedulikan.

Dokter Sara Elise Wijono bilang, kita tetap boleh berpikir positif, tapi jangan terlalu berlebihan karena bisa berisiko terjangkit toxic positivity. Begitu pula terhadap diri sendiri, enggak perlu memaksakan diri untuk selalu positif.

Jika merasakan emosi negatif, jangan takut untuk mengekspresikan. Meski itu agak sulit dan perlu belajar, enggak ada salahnya seseorang yang berani mengakui bahwa dirinya butuh bantuan.

“Carilah pendengar yang baik dan bisa memahami Anda. Ingat, walaupun tidak menyenangkan dirasakan, tetapi hal ini adalah emosi yang sangat manusiawi. Jangan sampai terjerumus dalam toxic positivity,” jelasnya.

Gimana, Civs, di lingkungan sekitar lo ada ngga teman atau sahabat lo yang lagi sering banget cerita masalah kesehatan mentalnya? Dibantu ya Civs, minimal lo dengerin mereka, hehe. (*/)

BACA JUGA: TERNYATA GEN ATAU KETURUNAN BISA MEMPENGARUHI KESEHATAN MENTAL LO

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdurrahman Rabbani

Cuma buruh tinta yang banyak cita-cita.