Konsep kerja ‘four-days workweek’ lagi marak diperbincangkan di luar negeri. Apakah perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa mempraktikkan konsep kerja yang menggiurkan ini?
FROYONION.COM - Pandemi Covid-19 yang ada selama 3 tahun ke belakang membuat banyak perusahaan kesulitan dalam menjaga stabilitas performa karyawan. Terlebih, banyak perusahaan mulai memberlakukan WFO kembali pasca pandemi, membuat perusahaan-perusahaan ini makin sulit dalam merekrut karyawan baru–yang datang dari Generasi-Z yang terbiasa bekerja dengan sistem WFH atau hybrid.
Tetapi, ada sebuah konsep kerja yang marak diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama di beberapa negara Eropa, salah satunya di UK. Konsep kerja ini disebut sebagai four-day workweek, yang mewajibkan karyawan di sebuah perusahaan untuk bekerja maksimal 4 hari dalam seminggu untuk mengurangi potensi burnout dan kelelahan mental pada karyawannya. Cukup menggiurkan, bukan?
Seorang ekonom asal Boston, Juliet Schor mengadakan eksperimen terhadap tenaga kesehatan di Swedia. Para tenaga kesehatan itu diberikan jam kerja selama 6 jam per hari ketimbang kerja full selama 8 jam untuk mengurangi stres dan burnout.
Eksperimen ini menghasilkan output yang positif, para tenaga kerja itu merasa jadi lebih bahagia dalam hidupnya.
Di sisi lain, perusahaan tempat mereka bekerja harus merekrut lebih banyak orang untuk menutupi kekurangan jam kerja itu. Tetapi, menurut Schor, meskipun perusahaan itu harus merekrut lebih banyak orang dan peningkatan pengeluaran perusahaan terjadi selama masa eksperimen itu, tetapi semua kerugian itu mampu ditutupi oleh biaya kesehatan yang lebih rendah dan meningkatkan produktivitas karyawan akibat tekanan kerja yang lebih rendah.
Pada akhirnya, Schor bilang bahwa kerja 4 hari per minggu lebih hemat secara finansial bagi perusahaan yang menerapkannya, sekaligus mampu meningkatkan produktivitas karyawan-karyawannya.
Menurut NPR, sebanyak 70 perusahaan di Inggris Raya yang mengikuti program ini pertama-tama melakukan percobaan selama 6 bulan terlebih dahulu. Pekerja yang mengikuti program ini nggak dikurangi gajinya, tetapi tetap bekerja 8 jam selama 4 hari berturut-turut, dan hari Jumat jadi hari libur pilihan bagi kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut.
Konsep kerja 4 hari dalam seminggu ini bisa dikatakan cukup menguntungkan bagi pekerja kerah putih, yaitu mereka yang kerjanya bersifat administratif dan 9-to-5 (masuk jam 9 pagi, pulang jam 5 sore).
Beberapa sektor bisnis yang mungkin bisa mengaplikasikan konsep ini di antaranya adalah kantor konsultan, tech startup, dan perbankan. Namun, nggak semua divisi bisa menerapkan konsep ini. Misalnya bagi tech startup, untuk karyawan di divisi IT Support dan Customer Care rasanya masih perlu standby dalam 5 hari kerja.
Untuk mengurangi potensi burnout, karyawan di divisi ini masih perlu kerja selama 5 hari berturut-turut, tapi dengan jam kerja yang dikurangi dan perusahaannya perlu memberlakukan sistem shift. Untuk itu, konsep ini rasanya masih terlalu muluk bagi beberapa sektor bisnis.
Sedangkan bagi pekerja kerah biru yang mengandalkan fisik dan diupah sesuai dengan indikator kerja tertentu, kerja 4 hari dalam seminggu malah bisa ‘memotong’ rezeki mereka.
Sektor manufaktur contohnya, yang mengharuskan karyawannya untuk memproduksi barang sebanyak mungkin dengan waktu yang seefisien mungkin. Apa jadinya jika waktu produksi dipotong 1 hari dalam seminggu?
Istilah “rezeki dipatok ayam” mungkin ada benarnya bagi pekerja kerah biru ini. Semakin jarang mereka bekerja, maka semakin sedikit pemasukan yang diterima. Jadi, wajar aja konsep ini nggak selalu bisa diterima dengan baik oleh seluruh sektor bisnis yang ada.
Kalo lo pribadi, lebih pengen kerja 4 hari seminggu atau kerja full 5 hari tapi bosnya fleksibel? Coba komen di bawah ya, Civs~ (*/)
BACA JUGA: EMANGNYA ‘PEKERJAAN IDEAL’ CUMA TENTANG GAJI YANG GEDE?