In Depth

KENAPA SPOT-SPOT ‘INSTAGRAMABLE’ DI INDONESIA NORAK TAPI DI KOREA NGGAK?

Pernah nggak ke tempat wisata lokal terus ada spot yang katanya paling bagus buat ambil foto? Anehnya bukannya seneng tapi merasa ‘cringe’. Kamu nggak sendirian ternyata!

title

FROYONION.COM - Pulau Nami sontak menjadi tujuan wisata unggulan di Korsel begitu drama korea “Winter Sonata” melesat ratingnya di kawasan Asia tahun 2002.

Saya juga pernah mengunjungi sejenak pulau kecil itu. Rute yang saya ambil bandara Incheon- Gunung Seorak – Pulau Nami yang sepertinya berdekatan.

Yang digadang-gadang untuk dikunjungi di Pulau Nami tentu saja adalah spot tempat kedua sejoli dalam “Winter Sonata” beradu kasih.

Sampai ada patung pemuda-pemudi yang konon adalah Joon-sang dan Yoo-jin, masing-masing diperankan Bae Yong-joon dan Choi Ji-woo. 

Area ini sering dipakai sebagai magnet turis. Entah kenapa mereka berasumsi bahwa semua orang yang ke sini pasti suka drama tadi.

Selain spot patung itu, agen turisme Korea biasanya menjual kesempatan berfoto di pepohonan yang berbaris rapi di sana karena di spot itu lagi-lagi pernah terjadi adegan mesra dua karakter utama drama tersebut.

Pulau Nami dan spot-spot itu tadi seolah menjadi sangat penuh dengan cerita drama percintaan, romansa yang penuh kesenduan sekaligus haru biru. Entahlah, terasa tak ada masalah.

Tapi begitu saya menilik negeri sendiri, kenapa ya semua spot yang dilabeli kata “instagrammable” itu menjadi begitu memuakkan dan ya, salah aja?!

Anda lihat saja deh foto “anjungan cinta” yang dibangun atas dasar inovasi dan pemberdayaan ekonomi desa di Lampung ini.

Just wrong.

Saya mencoba mencari jawabannya dan memang ada alasannya.

Karena saya suka dengan storytelling (bercerita), saya tentu hubungkan dengan hal itu.

Menurut saya memang tak ada yang salah atau haram mendirikan sebuah spot yang bertujuan baik dan memang dibuat seindah mungkin seperti anjungan cinta itu.

Tapi tunggu dulu deh bapak ibu, di balik pendirian spot-spot yang instagramable itu memang ada cerita yang patut menjadi perhatian? Memang ada kisah yang menarik di balik spot itu?

Iya sih anjungan itu bagus. Warnanya cerah ceria. Pemandangan sekelilingnya bagus banget. Bla bla bla.

Tapi apakah konsep di balik itu? Memang itu dibuat atas dasar pertimbangan apa? Ada konsep apa di baliknya? Itu dibuat dengan asal pilih saja atau memang ada kaitannya dengan lingkungan sekitarnya atau hal lain yang penting bagi orang?

Kisah dan narasi menarik inilah yang menjadi nyawa bagi spot-spot instagramable Korea. Mereka didukung dengan drama-drama, lagu, dan produk budaya yang seabrek dan terkonsep dengan baik. 

Lain halnya dengan spot instagramable di Indonesia yang muncul begitu saja tanpa kita tahu apa kaitannya dengan lingkungan sekitarnya, apa kaitannya dengan masyarakat di sekitarnya, dan bahkan tak memberikan informasi apapun bagi pengunjung itu. 

Indah memang tapi hampa. Kosong melompong karena tidak ada memori yang bisa kita kaitkan dengan spot-spot itu.

Makanya, kita tidak akan bisa menjual spot-spot begini buat turis mancanegara. Kalau ditawari bisa-bisa turisnya yang melongo: “Menariknya buat gue apa?” Paling juga turis lokal yang asal bisa piknik sudah senang bukan main. 

Kedua, karena bisa jadi spot-spot begini dibuat dan didesain bukan oleh ahlinya. 

Maksudnya?

Orang-orang yang tahunya ‘terbatas’ biasanya justru ‘teriaknya’ lebih kencang. Saat sebuah spot instagramable seolah muncul asal ‘templok’, asal ada, dirancang ‘ngasal’ aja ya tentu nggak kaget kalau jadinya juga begitu.

Kalau kita mau mengamati lebih jeli lagi, feel-nya juga berbeda kok antara tempat wisata yang didirikan dengan konsep yang terarah dan tempat wisata yang asal dibuat. 

Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan tingkat toleransi masyarakat Indonesia dengan kondisi yang berantakan itu sangat tinggi. Kita udah terbiasa berantakan dan membiarkan saja kondisi yang berantakan dan kacau itu. Misalnya aja kita lewat jalan, ada sampah, ya udah kita terus lewat aja. Padahal kita tahu sampah itu harus dibuang di tempat sampah. Sesimpel itu aja.

Sehingga pembiaran-pembiaran ini seolah makin berakumulasi dan menebal sedemikian rupa sampai kita kewalahan mau membenahinya. Mulai dari mana harusnya? Miriplah kalau kita punya kebiasaan kamar yang berantakan, begitu dibiarkan kamar bertahun-tahun jadi kayak kandang, kita jadi bingung harus mulai dari mana membereskannya. 

Di sinilah justru orang-orang yang mengaku bergerak di dunia kreatif harus peduli dan turun tangan memberesi keadaan.

Kalau menurut kamu sendiri, solusi apa yang bisa kita kasih supaya kondisi ini tidak makin berkepanjangan? (*/ Akhlis)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca