In Depth

KEKECEWAAN PENGGEMAR DONGKER BEGITU TERASA SAAT DHELPI NYALEG

Beberapa waktu lalu, dunia digital diramaikan oleh baliho yang menginfokan kalau salah satu personil Dongker, Dhelpi Nyaleg. Hal itu membuat publik terkhusus para penggemar Dongker kecewa berat. Ya, masak ada anak punk Nyaleg. Ada-ada aja!

title

FROYONION.COM - Jika kita flashback ke beberapa bulan belakang, mungkin banyak di antara kita yang mendapat rekomendasi musik untuk mendengarkan Dongker. Sebuah band beraliran punk yang bermarkas di Kota Kembang. Lagu yang paling nge-hits tidak lain dan tidak bukan adalah “Bertaruh Pada Api”. 

First Impression saat mendengarkan lagu itu tidak jauh-jauh dari pelampiasan rasa kekesalan, perlawanan, serta kemuakan terhadap ketertindasan. Mungkin kalian yang pernah atau sering mendengarkan lagu itu akan mengamininya. 

Karena memang begitulah karakter band punk yang kerap kali memuat lirik dan nada yang cukup meledak-ledak. Seperti lirik di lagu itu yang menuliskan, “Takkan menyerah di bawah tanah// Kabar baik menunggumu// Datang hari// Tanpa batas tanpa agama tanpa negara”. 

Namun sayang seribu sayang, “Bertaruh Pada Api” justru diludahi oleh personilnya sendiri, Mochamad Apie Dhelpilia Suhariyanto. Bagaimana tidak, alumnus ITB itu secara terang-terangan mencalonkan diri sebagai DPRD Jawa Timur, pun dirinya juga menjadi ketua Partai Kebangkitan Nusantara kota Blitar. 

Tentu hal itu membuat publik terkhusus para pengagum Dongker marah, kesal, dan kecewa berat. Bahkan dari berita itu membuat konser “Tuhan di Reruntuh Bandung” pada 05 Maret lalu turut dipending.

Wajar kalau banyak yang kecewa akut. Sederhananya masak ada anak punk yang nyaleg! Ada orang yang berkoar-koar tentang busuknya politik praktis malah terjun didalamnya. 

Hadeh…. Ra masuk, blas! Sampe-sampe bertebaran meme Dongker dan plesetan seperti “Bertaruh Pada (D)api(l)”, “Bertaruh Pada Partai”, “Bertaruh Pada Kotak Suara”, dan lain sebagainya tersebar di Twitter serta kolom komentar Instagram Dongker dan Greedy Dust. 

Jadi secara terang-terangan Dhelpi telah menghancurkan bangunan yang ia bangun bersama rekan-rekannya dengan susah payah. Sungguh hal yang sia-sia. Padahal band semacam Dongker ini walau tidak se-moncer band-band pop lainnya tapi memiliki basis massa yang lumayan. Memiliki pendengar yang militan. 

BACA JUGA: KISAH USTAZ HALIM: DISELAMATKAN DAN MENYELAMATKAN ANAK STREET PUNK

Ada banyak orang-orang yang menyisihkan rupiah mereka untuk membeli rilisan fisik ataupun merchandise-nya. Lantas kalau sudah tercemari dengan personil yang secara telanjang bergabung ke dalam parpol, darimana ada rasa bangga saat memakai kaos band Dongker lagi? 

Apa jadinya lagu-lagu Dongker yang bernadakan kemuakan dan kemarahan itu? Nuansanya sudah pasti berbeda!

Nah kita mungkin nggak tahu alasan Dhelpi mau-maunya terjun ke jagat politik. Tapi kalau mau berandai-andai, barangkali Delphi tidak mau menjadi anak durhaka karena membangkang ajakan ayahnya, Heru Sunaryanto yang memang sedari dulu menjadi petugas partai. 

Atau, Delphi merasa bahwa kerja di industri musik tidak bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya karena mengadu nasib di dunia musik tidak membuatnya kaya raya. Mungkin juga, Dhelpi ingin (sok-sokan) berdedikasi serta memenuhi aspirasi rakyat Jawa Timur yang selama ini tidak pernah didengar. Atau apalagi, ya? 

Apapun itu, keputusannya untuk masuk ke parpol adalah suatu kebodohan yang mutlak. Kenapa begitu? 

Ya karena antara musisi dengan karyanya tidak bisa dipisah. Keduanya adalah kesatuan utuh. Pun musik secara luas pun lebih spesifik beraliran punk dengan politik praktis adalah dua hal yang sangat kontradiktif. 

Di mana musik bisa menjadi media untuk melepas penat akibat ditipu oleh negara, menyuarakan kegelisahan, membangun ruang-ruang alternatif lalu disandingkan dengan politik praktis yang jelas-jelas sarat akan kepentingan dan kerap kali berisikan tipu muslihat. Ringkasnya keduanya seperti minyak dengan air.

Tapi ada juga statement, “Bisa jadi Dhelpi masuk ke parpol agar bisa merubah sistem dari dalam”. Melihat hal itu rasa-rasanya kita terlalu naif. 

Jadi inget Mahfud MD yang pernah mengatakan, "Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa menjadi Iblis juga." Makanya omong kosong kalau petugas partai itu bersih. Iya atau iya?

Oh ya, dalam baliho Dhelpi yang terpampang di kota Blitar dan sempat ramai di jagad dunia digital beberapa hari lalu itu tertera juga foto Anas Urbaningrum. Itu lho, yang pada 2013 lalu tersangka kasus korupsi Hambalang. 

Pun hingga saat ini dirinya masih dalam tahanan dan akan bebas (karena disunat) pada April mendatang. Kabarnya juga dia akan dikasih jabatan khusus oleh PKN. Ciee, kang Dhelpi sama pak Anas mau bikin gebrakan apa nih, ye? 

Terlepas dari itu, Dhelpi kan sedari dulu basic-nya musik, dia punya band, dia punya label rekaman bernama Greedy Dust lalu sekarang nyalon dan jadi ketua lagi. Tentu ngak salah kalo kita semua menilai dia minim atau bahkan tidak punya pengalaman sama sekali. 

Yang punya pengalaman aja suka bermain kotor dan blunder apalagi yang tidak. Jadi ngak bisa bayangin kalo dirinya terpilih para warganya akan seperti apa. Itu amit-amitnya, lho, ya. 

Ngomong-ngomong, jika ditelisik lebih jauh, tidak hanya sekali kasus musisi yang seharusnya dan biasanya lantang mengkritisi kebijakan tahu-tahu malah masuk ke dunia politik praktis. Sudah ada beberapa kasus yang membuat publik kesal/muak karena seperti Marjinal yang main di acara partai, Abdee Slank yang jadi komisaris, Jogja Hip-Hop Foundation yang pentas di keraton Jogja, dan mungkin kasus lain yang belum kita tahu. Oleh karenanya muncul pertanyaan, “Apakah belantika musik (sudah) usang di hadapan uang?” (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Khoirul Atfifudin

Masih berkuliah di Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Saat ini sedang memiliki ketertarikan pada dunia musik dan tulis-menulis.