Hampir dari semua drama atau kasus yang ada di media sosial sangat mengerikan. Salah satunya adalah doxing, dimana berakar dari ketersinggungan dan perbedaan opini juga dendam pribadi. Masalahnya yang menjadi target adalah area privasi. Lalu bagaimana cara menghadapinya?
FROYONION.COM – Di era digital seperti sekarang ini khususnya era media sosial, sudah tidak ada tembok yang jelas antara privasi dan mana yang bisa dibagikan pada publik. Sebagai seorang individu kita adalah representasi dari institusi, begitupun dengan media sosial. Kita adalah apa yang kita “suka” dan kita “bagikan”.
Di era sekarang hampir semua orang di dunia memiliki media sosial. Media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Maupun ia pengguna aktif suatu media sosial, atau hanya sekadar punya untuk memantau trend dan peristiwa terbaru.
Media sosial pun memiliki bermacam pelayanan, ada yang berfokus pada video panjang seperti YouTube, lalu ada juga video singkat dan serba cepat seperti TikTok, juga mungkin sharing dalam bentuk tulisan seperti Twitter.
Namun apabila hal yang berusaha kita keep untuk privasi malah disebarluaskan oleh tanpa seizin dari orang yang bersangkutan, hal ini bisa dipanggil dengan istilah doxing.
Doxing adalah suatu aktivitas yang melanggar hak individu dalam konteks privasi. Bentuk doxing yang biasa dilakukan adalah dengan menyebarluaskan nama lengkap, alamat, nomor hp, bahkan data yang lebih sensitif lagi, yaitu identitas keluarga.
Ada banyak hal yang biasanya menjadi alasan seseorang melakukan doxing. Pertama adalah dendam atau masalah pribadi. Alasan ini merupakan salah satu motivasi paling kuta mengapa seseorang melakukan tindakan doxing,
Contohnya seperti yang dilakukan Jefri Nichol kepada seseorang warganet yang dianggapnya sebagai haters. Mengutip dari Metrosuara Jefri Nichol telah melakukan doxing pada seorang warganet.
Kala itu ia bertujuan untuk memberikan penghakiman sendiri kepada sang haters. Namun ternyata yang ia sebar luaskan salah sasaran. Hingga akhirnya Jefri Nichol meminta maaf pada sang korban yang telah ia sebar luaskan data pribadinya.
BACA JUGA: KASUS PELECEHAN MAHASISWA GUNADARMA DARI KACAMATA ‘DOXING’, JADINYA YA GINI
Nah loh? Kok bisa ketika masalah ketersinggungan dan ketidaksukaan pada seseorang malah menyerangnya dengan “tindakan yang sama buruknya?” Apa iya sekarang masih zamannya melawan api dengan api?
Nah hal ini juga berlanjut ke alasan paling utama seseorang melakukan doxing, perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat dalam debat di media sosial jika tidak diimbangi dengan pemahaman rasional yang baik justru malah makin memperkeruh suasana, dan bukan membuktikan siapa yang paling mendekati kebenaran.
Sudah jelas bahwa hal ini dipicu oleh rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia.
Bahwa perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang buruk dan harus segera dimusnahkan, melainkan perbedaan pendapat justru menuntun seseorang untuk berpikir lebih luas dan fleksibel.
Memang sih... apa yang dilakukan oleh haters Jefri Nichol tadi termasuk dalam kategori Bullying, tetapi kalau sampai salah sasaran jadi ketahuan dong siapa yang bodoh?
Padahal ya pengungkapan identitas pribadi tanpa seizin yang bersangkutan termasuk tindakan melanggar hukum.
Sanksi doxing dalam hukum Indonesia regulasi tentang cybercrime di Indonesia yang terkait dengan doxing terdapat pada Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menetapkan perbuatan yang dilarang dan sanksinya.
Selain itu doxing juga diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama , Pasal 30 ayat 1 jo. Pasal 46 ayat 1 UU ITE menerapkan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp 600 Juta, atas akses ilegal terhadap sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun.
Walaupun begitu untuk mencegah kemungkinan terburuk, terdapat cara-cara tertentu yang sekiranya dapat membantu kita tercegah dari tindakan doxing.
Pertama, pastikan kita sadar dan mau memilah informasi yang akan dibagikan ke media sosial. Hal ini untuk menghindari informasi-informasi yang bocor tanpa kita sadari. Dan pikirkan juga sekiranya apa dampak dari informasi yang akan kita bagikan.
Lalu kedua ialah, tinjau ulang pengaturan privasi media sosial kita. Hal ini bertujuan untuk mengetahui mana sekiranya informasi yang bocor yang seharusnya kita tahu bahwa informasi ini tidak boleh disebarluaskan.
Dengan meninjau ulang juga sebagai usaha kita untuk meningkatkan awareness pada literasi media sosial.
Terakhir adalah yang paling penting, jangan menjadi pelaku doxing. Jika sudah banyak mengomentari tentang hal-hal berbau literasi digital dan media sosial, namun menjadi seorang pelaku doxing, sungguh sebuah ironi.
Untuk itu perlunya dari dalam diri kita sendiri untuk belajar sabar dalam menghadapi berbagai macam tipe manusia dalam suatu platform terbuka yaitu media sosial. Dengan itu setidaknya kita dapat memahami juga memikirkan langkah selanjutnya yang tentu lebih bijak sesuai kaidah literasi digital. (*/)