Konten berisi potongan film atau series bajakan semakin marak kita jumpai di platform TikTok. Kira-kira, apa sih yang membuat konten ilegal begitu ‘laku’ di platform-platform modern zaman sekarang?
FROYONION.COM - Ngomongin tentang kemajuan teknologi, pastinya hal ini udah banyak banget memberi manfaat positif ke masyarakat dunia. Sekitar tahun 2000-an contohnya, nggak terpikirkan sebelumnya bahwa kita bisa saling kirim file musik atau foto lewat teknologi bluetooth/infrared pada zamannya. Film bajakan dalam bentuk VCD pun juga beredar.
Padahal beberapa dekade sebelumnya, kirim foto cuma bisa dilakukan via Kantor Pos, antara kirim foto fisik atau juga bisa foto softcopy dalam compact disc (CD), dan prosesnya nggak bisa seinstan bluetooth. Teknologi ini seakan jadi terobosan yang spesial, karena benar-benar memudahkan kita untuk berbagi file dengan waktu tunggu yang jauh lebih cepat dibandingkan harus kirim dokumen fisik.
Selang beberapa tahun setelahnya, dengan akses internet yang semakin menyebar ke seluruh pelosok daerah dan smartphone yang mulai muncul, kita mulai nyobain kirim-kirim file secara online pake platform kayak 4Shared, MediaFire, dan yang lainnya. Antara masing-masing gadget nggak perlu lagi deh pake ‘ditempel’ biar mempercepat proses pengiriman file kayak teknologi bluetooth.
Tetapi, kemajuan ini nggak serta merta membawa manfaat positif aja, Civs. Di balik semua kemudahan itu, kemajuan teknologi juga punya ‘celah’ yang berpotensi merugikan pelaku kreatif di seluruh dunia, yaitu aksi pembajakan.
Mulai dari pembajakan film, musik, sampai ke e-book, rasanya teknologi yang ada malah semakin mempermudah praktek ‘penggandaan’ karya demi keuntungan pihak tertentu. Anehnya, nggak cuma ‘keuntungan’ aja yang jadi motif pembajakan karya, banyak juga dari karya-karya yang dibajak kemudian disebarluaskan di internet cuma untuk kesenangan semata, atau demi nambah followers akun-akun ini aja.
Contoh yang paling simpel adalah pembajakan film yang dibagikan ulang dalam banyak part di TikTok dan juga Telegram dalam beberapa tahun ke belakang. Banyak banget akun yang membagikan potongan-potongan film secara cuma-cuma di dua platform ini. Sekalipun fungsi media sosial ini emang bukan untuk menyebarluaskan karya orang, tetapi masih banyak akun kayak gini yang bertebaran dan bisa dengan mudah lo temui di TikTok.
Tahun lalu juga, komika sekaligus produser film asal Indonesia, Ernest Prakasa pernah mengangkat fenomena ini di akun Instagram-nya.
Dalam posting-an itu, Ernest mengkritik TikTok karena kelihatan nggak serius dalam menangani kasus pembajakan film dalam platform-nya. Dikutip dari Suara.com, Ernest juga menilai kalo TikTok membiarkan konten-konten kayak gini demi rating dan traffic yang tinggi.
Yang bikin mirisnya lagi, video-video kayak ginian bisa dapetin banyak likes dan comments, seakan-akan menunjukkan kalo orang-orang pada seneng nontonin film bajakan di TikTok.
BACA JUGA: KENAPA TIKTOK BISA BIKIN LAGU LAWAS POPULER LAGI?
Jadi pertanyaannya, apa yang salah dari masyarakat kita? Kenapa masih banyak dari kita yang begitu mengapresiasi karya ilegal dengan bangga dan senangnya?
Nggak sedikit orang yang bilang, “Kalo ada yang gratis, kenapa mesti bayar?”.
Terlihat sepele, tapi sebenarnya komen kayak gini tuh menunjukkan bahwa masih banyak di antara kita yang punya mental ‘gratisan’ atau ‘bajakan’. Nggak munafik, hampir semua dari kita yang mungkin sekarang udah ‘tobat’ pasti dulunya pernah download film / musik bajakan dari web macam ‘Waptrick’ atau ‘Stafa Band’. Tapi meskipun dulunya kita kayak begitu, bukan berarti sekarang kita masih harus mempertahankan mental yang sama.
Sayangnya, memang masih banyak yang berpikir bahwa sebuah karya seni itu nggak punya nilai sama sekali. Bahwa sebuah film bisa dibuat dengan mudah tanpa ada effort atau kerja keras dari puluhan kru di dalamnya. Memang rasanya, bukan teknologinya yang terlalu cepat maju, tapi manusianya yang semakin ‘mundur’ dalam berpikir.
Kalaupun masih banyak orang yang menikmati film / musik bajakan dengan alasan “Nggak punya duit buat beli karya yang asli” lalu bisa ditoleransi, terus apa bedanya sama alasan mencuri karena butuh uang? Padahal keduanya sama-sama menikmati barang atau hasil jerih payah orang tanpa konsen dari orang itu, dong.
Padahal, sanksi dalam pelanggaran hak cipta udah diatur secara hukum di Indonesia, salah satunya di UUHC (Undang-Undang Hak Cipta) Pasal 113 ayat (4) yang isinya:
“Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta, yaitu salah satunya penggandaan, untuk penggunaan secara komersial yang dilakukan dengan cara pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”
Juga, di UUHC diatur tentang kewenangan pemegang hak cipta (dalam konteks ini bisa penulis buku, pengarang lagu, atau pembuat film) yaitu mereka bebas untuk menerbitkan, menyewakan, menunjukkan, atau mendistribusikan karya yang mereka daftarkan hak ciptanya.
Simpelnya bisa diartikan bahwa film atau musik bisa aja dibagikan di platform kayak TikTok atau Telegram selagi yang membagikan itu adalah pemilik hak cipta, atau seseorang yang diberi kewenangan langsung sama pemilik hak cipta.
Dengan fakta di lapangan di mana praktik pembajakan masih berlangsung hingga detik ini, rasanya masih sulit untuk mengatakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang ‘maju’. Dan entah sampai kapan kejadian kayak gini masih berlanjut.
Gue rasa, penyelesaian kasus pembajakan kayak yang terjadi di TikTok ini perlu dukungan dari banyak pihak, terutama dari sisi kebijakan platform terkait unggahan video terkait hak cipta dan juga para pengguna platform itu sendiri.
Selagi video kayak gini masih ‘dikasih panggung’, maka gue yakin pembajakan bakal terus terjadi dan para pekerja kreatif yang bakal jadi korbannya.
Menurut lo, kira-kira di mana akar permasalahan kasus film bajakan ini? Apakah dari teknologinya, regulasinya, atau bahkan masyarakatnya? (*/)
BACA JUGA: PEMBAJAKAN PRODUK DI TOKOPEDIA, BUKALAPAK, DAN MANGGA DUA DIEKSPOS OLEH PEMERINTAHAN AMERIKA SERIKAT