In Depth

EKOSISTEM, KUNCI AGAR BRAND LOKAL INDONESIA BISA DIAKUI DUNIA

Untuk bisa unggul di pasar global, brand-brand dalam negeri perlu memahami kelebihan dan kekurangan mereka. Apa aja kira-kira plus minus brand lokal? Dan gimana adanya sebuah ekosistem yang terpadu bisa mengoptimalkan potensi brand lokal RI? Simak ulasannya di sini, Civs.

title

Banyak hal yang sebetulnya brand-brand lokal kita miliki yang bisa digunakan sebagai aset dan modal dalam memupuk jalan ke pasar dunia.

Kata aktivis brand Indonesia  Tika Gilang yang kini sedang menempuh pendidikan doktoral ilmu branding di Inggris, ada beberapa kelebihan karakter bangsa ini yang bisa digunakan sebagai modal brand-brand lokal untuk melaju ke kancah global.

Pertama, bangsa kita dikenal dan terbukti tahan banting. Dengan adanya beragam ancaman bencana alam, brand-brand lokal indonesia juga sudah akrab dengan perjalanan yang penuh jatuh bangun. 

Kedua, brand-brand lokal Indonesia sebetulnya sudah menerapkan konsep co-branding yang trending sekarang ini sudah sejak lama. Saat di luar negeri, para akademisi branding menggembar-gemborkan co-branding ini, kita sudah melakukannya dari dulu karena ada gotong royong.

Ketiga, kualitas produk-produk RI itu termasuk tinggi. Di Inggris misalnya, banyak produk yang dibuat di Indonesia tapi dijual dengan brand asing.

“Semua brand mahal di sini (Inggris) itu made in Indonesia, tapi brand-nya bukan brand Indonesia. Jadi kita sebenernya udah bisa bikin produk bagus. Anehnya begitu dijual dengan brand kita sendiri kok nggak keluar ‘taringnya’,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa ini juga alasannya belajar ilmu branding dengan penuh semangat. Ia masih terus menemukan jawaban mengapa brand lokal kita melempem saat menunjukkan jatidiri mereka.

Keempat, brand Indonesia punya modal keberanian. Orang Indonesia dikenal tak takut mencoba dan tak takut rugi. Di sini juga iklimnya memang menantang tapi justru itulah yang membuat brand-brand lokal kita menjadi lebih mandiri dan berani dalam melangkah.

KENAPA BRAND RI SUSAH GO INTERNATIONAL?

Menurut Tika, ada beberapa hal yang menjadi penyebab brand dan orang Indonesia mengalami tantangan besar dalam upaya go international.

Pertama, tantangan itu datang dari diri mereka sendiri, yakni sikap nggak sabaran.

“Kita bisa lihat bedanya entrepreneur Tionghoa dan Indonesia. Mereka tekun membangun dan mengumpulkan aset seperak, dua perak, sampai bisa segede korporasi multinasional. Orang Indonesia baru ngumpulin seperak, dua perak udah ngeluh: ‘Kok gue nggak kaya-kaya ya?’ Padahal kan harus dijalani dulu,” terangnya.

Kedua, orang Indonesia itu punya sindrom FOMO (Fear of Missing Out). Karakter ini terlihat saat ada yang sukses jualan X, langsung semua orang ikutan jualan X. Ada yang dikenal karena ngomongin topik Y, semuanya tiba-tiba ingin ngomong topik Y.

“Jadi nggak ada proses. Padahal dalam merancang proyek atau bisnis apapun, dimulai dari riset. Setelah itu kita bisa lebih efektif dan efisien, paham konsumen, gaya bahasa, sumber daya yang harus dimaksimalkan.

Sebagian pelaku brand lokal beralasan bahwa orang dan brand Indonesia lebih banyak meniru apapun yang sedan ng-tren karena itu lebih mudah dilakukan dan bisanya ya melakukan itu untuk mencari nafkah dan bertahan hidup.

“Alasan ini tentu nggak salah. Mulai aja dulu. Tapi bukan berarti kita nggak bisa memperbaiki dan menyempurnakannya.”

Ketiga, brand Indonesia kurang terencana dalam berbisnis. Menurut Tika, banyak brand kita yang didirikan dengan falsafah “jalanin aja dulu” tapi seiring waktu mereka lupa bahwa mereka harus terus membenahi diri.

“Setidaknya brand udah ada rencana yang bisa membuatnya bertahan hidup dulu. Nah baru kalau sudah bisa bertahan, bisa dipikirkan rencana ekspansi,” ujarnya.

Keempat, brand Indonesia jarang sekali yang memiliki cita-cita. Dan ini pada gilirannya membuat brand-brand kita cenderung pasrah ikut tren yang ada. Ini karena mereka juga karena mereka belum punya cita-cita sebagai tujuan. Akhirnya jadi terseret arus terus.

“Padahal brand yang bertahan lama dan bisa go international biasanya punya cita-cita,” terangnya.

Dari cita-cita itu, seseorang bakal ‘jatuh cinta’ pada apa yang dikerjakannya untuk bisa sampai di cita-cita tadi. Ia cenderung lebih tangguh dan nggak gampang mengeluh karena ia memiliki rencana dan cita-citanya sendiri yang disimpan dalam benaknya.

“Untuk ekspansi ke daerah, provinsi lain yang budayanya berbeda saja, brand-brand kita masih harus berjuang. Jadi bisa dibayangkan beratnya tantangan yang harus dihadapi saat brand lokal tiba-tiba ‘loncat’ sampai ke Eropa, kayak Paris Fashion Week itu,” jelas Tika.

Ia mencontohnya brand-brand dari Jawa Tengah mungkin akan relatif susah memasuki pasar di luar Jawa yang budaya dan karakter masyarakatnya lain. Begitu juga saat berjualan makanan khas tertentu. 

Di sini Tika mengkritisi: “Kenapa harus loncat ke luar negeri? Kenapa silau sekali dengan semua yang berbau luar negeri?”

Kelima, brand lokal kita menurut Tika juga masih perlu banyak belajar dalam hal kreativitas

“Pola pikir dan mentalitas kreatif masih perlu ditingkatkan,” katanya. Dia berargumen bahwa kreativitas itu nggak melulu mesti soal estetik, tapi juga inovasinya. Tika mencontohkan brand Indomie yang terus berinovasi dalam hal cita rasa baru patut dicontoh. Semestinya inovasi yang sama juga bisa diterapkan brand lokal pada makanan-makanan khas Indonesia lainnya seperti rendang, soto, dan sebagainya agar bisa dipasarkan ke seluruh dunia sehingga menjadi sebuah bagian diplomasi kuliner juga bagi negara kita. 

YUK BANGUN EKOSISTEM!

Dengan kelebihan dan kekurangan di atas,  bukan berarti kita sudah bisa merasa jumawa. Menurut Tika, yang harus kita usahakan untuk miliki adalah ekosistem. Tanpa ada ekosistem yang terpadu, brand-brand lokal susah berkembang lebih besar.

Ia bandingkan kondisi brand di Indonesia dengan brand di Inggris yang sudah memiliki sebuah ekosistem yang memadai.

“Inggris punya ekosistem yang terdiri dari pakar, konsultan, akademisi, keuangan, dan sebagainya,” ucapnya.

Yang menurut Tika perlu dilengkapi dari bibit ekosistem branding di Indonesia agar bisa berkembang menjadi lebih holistik ialah pemberdayaan para akademisinya sehingga mereka bisa menjadi penengah jika ada perselisihan atau menjadi moderator dalam proses diskusi yang terjadi di tengah masyarakat perihal branding.

Keributan tempo hari mengenai “Paris Fashion Show” versus “Paris Fashion Week” tersebut menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dibenahi dalam hal ekosistem branding Indonesia, demikian kata Tika.

Tika menambahkan di tengah kekisruhan PFS vs PFW ini, kita nggak menemukan kemunculan kaum akademisi untuk menjelaskan duduk permasalahannya atau apa yang mesti diperbaiki agar blunder yang sama nggak terjadi di masa datang. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca