In Depth

DETOKS MEDIA SOSIAL TERNYATA NGGAK SELALU MEMBERIKAN MANFAAT

Apakah kalian termasuk orang yang sedang melakukan detoks media sosial? Penelitian terbaru menunjukkan, bahwa detoks ini tidak selalu memberikan manfaat sebanyak yang kalian kira, lho.

title

FROYONION.COM - Apakah kalian termasuk orang yang sering menghabiskan waktu di media sosial? Baik sebagai influencer, pengguna, atau hanya sekadar stalking, rata-rata masyarakat dengan akses internet menghabiskan lebih dari 2,5 jam setiap hari di platform seperti Instagram, Facebook, atau Twitter.

Tapi, tahukah kalian bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan bisa menimbulkan masalah? Misalnya, bisa mengganggu kegiatan sekolah atau pekerjaan, menciptakan konflik dalam hubungan, atau bahkan merugikan kesehatan mental.

Melansir The Conversation, beberapa ilmuwan bahkan menyebutnya sebagai "kecanduan," meskipun ini belum diakui secara resmi sebagai gangguan kesehatan mental.

Ketika kalian merasa terlalu sering mengecek media sosial, mungkin kalian memutuskan untuk melakukan "diet" atau "detoks" digital mengurangi penggunaan secara drastis atau bahkan menghindari media sosial selama beberapa hari. 

BACA JUGA: ALASAN ORANG DOYAN BERGOSIP, SEJAUH MANA KITA BISA MENAHAN DIRI?

DETOKS MEDSOS NGGAK SELALU MEMBERIKAN MANFAAT

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa detoks ini tidak selalu memberikan manfaat sebanyak yang kita kira. Dalam penelitian terbaru, audience diminta untuk melakukan diet media sosial selama satu minggu. Dari 51 orang yang ikut, hanya sebagian kecil yang sepenuhnya menjauhi media sosial. 

Namun, mayoritas berhasil mengurangi penggunaannya secara signifikan, dari tiga hingga empat jam sehari menjadi hanya setengah jam. Bahkan setelah masa detoks, penggunaan media sosial mereka tetap jauh di bawah tingkat sebelumnya.

Mengejutkan lagi bahwa penelitian ini tidak menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan audience. Sebaliknya, mereka melaporkan penurunan emosi positif selama periode detoks. Mengapa?

KITA TERJEBAK KARENA MEDSOS MEMBERIKAN IMBALAN SOSIAL

Ternyata, media sosial memberikan imbalan sosial yang kuat melalui like, share, dan follower. Meskipun juga memberikan hiburan, kebanyakan dari kita terjebak dalam pencarian imbalan sosial ini, yang bisa memicu perilaku kompulsif.

Sebagai makhluk sosial, kita butuh merasa diterima dan diakui, dan media sosial memberikan cara mudah untuk memenuhi kebutuhan ini.

Namun, hal ini bisa berubah menjadi pengalaman negatif. Mendapatkan like bisa berubah menjadi keinginan untuk mendapatkan lebih banyak, dan melihat kehidupan orang lain bisa membuat kita merasa cemburu atau takut ketinggalan.

Bahkan, komentar yang tidak menyenangkan atau penuh kebencian pun bisa merusak pengalaman menggunakan media sosial.

BACA JUGA: TERBUKTI BERMANFAAT, KENAPA BANYAK ORANG ENGGAN KONSULTASI PSIKOLOG?

ADA PENURUNAN EMOSI NEGATIF KETIKA MENGURANGI MEDSOS

Menariknya, penelitian ini juga menunjukkan adanya penurunan emosi negatif ketika peserta mengurangi penggunaan media sosial. Rasa sengsara, sedih, dan marah berkurang selama periode detoks.

Secara keseluruhan, hasilnya menunjukkan bahwa tidak menggunakan media sosial tampaknya menghilangkan baik emosi positif maupun negatif. Bagi sebagian orang, dampak keseluruhan terhadap kesejahteraan mungkin nol.

MUNGKIN NGGAK KECANDUAN MEDIA SOSIAL?

Namun, yang paling mencolok adalah sedikitnya peserta yang merindukan media sosial selama periode detoks. Mereka tidak melaporkan peningkatan hasrat untuk mengecek akun mereka, meskipun penggunaan smartphone mereka berkurang secara drastis.

Di bawah ini, penulis mencoba melakukan wawancara dengan dua anak muda dan berbagi pendapat, tantangan, dan hasil yang mereka alami selama melakukan detoks media sosial. Mereka masing-masing menyampaikan pendapat soal fenomena di atas.

Salah satunya Eka (25 tahun) yang kini sedang berjuang untuk mengurangi media sosial. Menurutnya media sosial sebagai alat untuk terhubung dengan teman-teman, namun juga sebagai sumber stres akibat perbandingan yang terus-menerus. Dua sisi yang tidak terelakkan dari penggunaan media sosial.

BACA JUGA: INFERIORITY COMPLEX: SINDROM PEMBUAT RENDAH DIRI

"Media sosial bisa jadi sumber stres karena sedikit-sedikit dibanding-bandingin,” kata Eka saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (21/1/2023).

Detoks media sosial yang sedang ia lakukan tampaknya memberikan pengaruh besar baginya. Eka mengungkapkan, kini ia lebih fokus pada kehidupan nyata dan interaksi langsung tanpa beban likes atau komentar.

Sama seperti Eka, Ilham (27 tahun) juga mengatakan hal yang sama bahwa media sosial mempunyai dua sisi yang berbeda. Melalui media sosial, koneksi bisa dengan mudah didapatkan dan membuat merasa terhubung. Di sisi lain, media sosial terkadang membuat sedikit stres bahkan insecure dengan algoritmanya.

Meskipun demikian, ia memberikan saran untuk mencoba detoks dengan langkah-langkah kecil dan mengubah perspektif terhadap likes dan followers agar lebih santai.

“Gue saranin sih coba aja, tapi gak usah terlalu ekstrim. Mungkin mulai dari ngurangin aja dulu, liat gimana pengaruhnya,” tutupnya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdurrahman Rabbani

Cuma buruh tinta yang banyak cita-cita.