Sumber daya alam bila nggak dikelola dengan baik, akhirnya akan habis juga. Menghadapi hal ini, warga Papua punya cara kreatif untuk melestarikan Cendrawasih, juga mempertahankan budaya sasi untuk merawat laut.
FROYONION.COM - Tentu lo sudah familiar dengan satwa endemik asal Papua yaitu burung Cendrawasih. Namun, kalau ngomongin Papua, mungkin lo belum familiar dengan yang namanya budaya Sasi. Budaya Sasi ini dilangsungkan beberapa tahun sekali, di wilayah laut tertentu, dan pada waktu yang ditentukan.
Hutan dan laut di Papua termasuk yang masih asri hingga saat ini. Warga Papua diajarkan untuk menjaga kelestarian alamnya terus-menerus secara turun-temurun. Ini dia yang bikin Papua masih terjaga kelestarian alamnya dibanding wilayah lain di Indonesia, seperti Kalimantan dan Sumatra.
Dalam mengambil ikan di laut, warga Papua enggak boleh menggunakan racun atau cara-cara yang merusak ekosistem laut lainnya. “Karena kami hidup dari laut, maka kami harus menjaga laut dengan baik,” ujar Darius, nelayan desa Tablasupa, Jayapura, Papua.
BACA JUGA: CARA KREATIF MASYARAKAT SIAK BUAT GALAKKAN KESADARAN LINGKUNGAN
Warga kampung Amay, desa Tablasupa, tempat Darius tinggal juga menerapkan budaya Sasi sebagai cara mengelola sumber daya alam, dengan tujuan melestarikan populasi biota laut. Di desa Tablasupa, Sasi diadakan di Teluk Tanjung Merah.
Warga Tablasupa memberikan mandat untuk melakukan Sasi kepada suku terpilih. Lokasi Sasi pun dipilih berdasarkan musyawarah, dan untuk warga desa Tablasupa, mereka menentukan Teluk Tanjung Merah sebagai lokasi Sasi.
Sebelum Sasi dimulai, seluruh warga diberikan sosialisasi perihal lokasi diadakan Sasi. Kemudian keluarga terpilih memberikan plang bertuliskan “dilarang mengambil ikan” di wilayah tersebut. Lalu mereka mulai menanam pohon guna tempat berkumpul juga bertelur bagi ikan-ikan.
Bahkan bayangan perahu dan terang lampu pun enggak boleh memasuki wilayah tersebut. Proses Sasi tersebut berlangsung sekitar satu sampai dua tahun, bergantung pada perkembangan jumlah ikan di wilayah Sasi tersebut.
BACA JUGA: SUMBAGSEL DAN ‘SERIBU’ MAKANAN BERBAHAN IKAN YANG JADI PRIMADONA TIAP KALI PULANG KAMPUNG
Begitu sudah sampai setahun, kondisi teluk diperiksa oleh suku terpilih yaitu suku Seronto dengan cara menyelam ke wilayah laut tersebut. Apabila populasi ikan yang terhimpun dirasa belum cukup, maka Sasi akan dilanjut selama enam bulan ke depan.
Jika pada pengecekan berikutnya diketahui bahwa populasi ikan yang telah dihimpun dirasa cukup, maka akan ditentukan tanggal untuk melakukan pembukaan Sasi dan warga dapat mengambil ikan kembali.
Pada tanggal tersebut, plang larangan akan dicabut dan warga dibolehkan untuk mengambil ikan di sana. Warga desa Tablasupa mengambil ikan di laut hanya yang akan laku terjual saja. Jika enggak akan dijual atau ikannya berukuran kecil, warga akan melepaskan kembali ikan tersebut ke laut.
“Kami diajarkan oleh orang tua kami untuk mengambil ikan seperlunya saja. Mengambil ikan yang berukuran sedang dan besar saja, ikan yang kecil kami kembalikan ke laut,” ucap Darius. “Kalau yang kecil juga kami ambil, besok saat kami datang ke mari, tidak ada ikan. Jadi kami mengambil ikan yang besar saja, ikan yang kecil tidak boleh diambil.”
Warga Tablasupa terdahulu biasa menjadikan Cendrawasih sebagai seserahan dalam acara besar. Mereka bercerita bahwa suku Seronto terdahulu dapat memanggil ikan di laut ataupun Cendrawasih dengan nyanyian.
Namun, saat ini populasi burung Cendrawasih mulai berkurang akibat dari perburuan liar dan perdagangan ilegal. Lalu warga Tablasupa mulai mengganti burung Cendrawasih asli menjadi burung Cendrawasih replika sebagai seserahan.
Hingga saat ini, warga Papua, khususnya warga desa Tablasupa, sudah tidak lagi melakukan yang namanya memburu Cendrawasih untuk seserahan. Dengan cara kreatif, mereka membuat replika burung Cendrawasih sebagai pengganti burung Cendrawasih asli. (*/)
BACA JUGA: KENALI OLIGARKI BATUBARA DI INDONESIA DENGAN GAME KREATIF ‘COAL OLIGARCHS’