In Depth

BIAS AKSEN DI DUNIA KERJA, SAAT KAMU KEHILANGAN KESEMPATAN HANYA KARENA CARA BICARA

Pernah merasakan ditolak kerja atau diperlakukan berbeda di lingkungan kantor karena gaya bicaramu berlogat daerah? 

title

FROYONION.COM - Fun fact, satu dari lima pekerja mengaku pernah kehilangan kesempatan untuk mengikuti perjalanan dinas. Alasannya bukan karena kekurangan skill melainkan karena cara mereka bicara.  

Survey oleh SAP Concur pada Juni lalu mengungkap bahwa dari 3.850 perjalanan bisnis dari 25 perusahaan berbeda, sebanyak 18% pria dan 16% wanita mengaku bahwa mereka tidak diperlakukan secara sama karena aksennya. 

Hasil ini terutama didominasi oleh mereka yang berasal dari Asia Pasifik. Persentase tertinggi dari pekerja yang mengatakan bahwa aksennya mempengaruhi keikutsertaan dalam perjalanan dinas berasal dari Australia dan Selandia Baru (31%), Taiwan (26%) dan Asia Tenggara (25%). 

Secara keseluruhan, survei ini mengungkap fakta bahwa orang-orang merasa aksen bicara mereka memegang peranan lebih besar dalam pekerjaan dibanding penampilan fisik, etnis hingga orientasi seksual. 

Ada anggapan bahwa para pekerja yang bicaranya tanpa aksen akan mendapat lebih banyak kesempatan karena lebih mudah dimengerti ketika berkomunikasi. Pihak perusahaan umumnya akan mengirim seseorang yang dirasa tepat untuk merepresentasikan kantornya, dan menurut riset, orang itu bukanlah mereka yang memiliki aksen. 

Bias aksen, diartikan sebagai prasangka yang tidak beralasan pada lawan bicara berdasarkan logat mereka, seringkali ditemukan juga pada mereka yang bukan penutur asli suatu bahasa. Pada akhirnya, non-native speakers hanya akan mendapat pekerjaan kelas bawah dengan upah yang lebih rendah. 

BACA JUGA: PROBLEMATIK PASAR KERJA DI INDO, PUNYA SKILL TAPI KEPENTOK AGEISM 

Penulis dan spesialis kepemimpinan Ritu Bhasin mengungkap bahwa ada hirarki aksen di dunia global sekarang. Posisi teratas dipegang oleh aksen dari Inggris, Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat. Penutur asli bahasa Inggris logat British bahkan disebut memiliki privilege karena dianggap lebih terpercaya, cerdas dan menarik. 

Masih menurut Bhasin, kebalikannya adalah aksen dari Asia. Seseorang yang berasal dari bagian manapun di benua Asia akan diperlakukan berbeda saat mulai berbicara. Hal ini sendiri masih erat kaitannya dengan rasisme. 

Namun, bias aksen ini masih sangat mungkin berbeda di tiap industri, lokasi dan budaya perusahaan. Sebagai contoh, seseorang dengan aksen Prancis, walau tidak termasuk dalam top tier hirarki aksen, akan dianggap lebih baik saat ia bekerja di industri wine.  

Pun demikian dengan pekerja yang memiliki aksen Italia, Jerman atau Spanyol akan lebih diterima di Eropa karena aksen mereka dianggap umum. Ini didukung dengan hasil survey SAP Concur bahwa orang-orang Eropa memiliki persentase terendah (13%) yang mengatakan aksen mereka mempengaruhi kesempatan perjalanan bisnis. 

BACA JUGA: INGIN DIANGGAP SOPAN? INI KESALAHAN BAHASA TUBUH YANG PERLU DIHINDARI

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Negara kita terkenal akan keberagaman bahasanya. Akan sangat mudah menemukan orang yang sehari-harinya berbicara dengan logat daerah. Apakah bias aksen juga ditemukan saat melamar pekerjaan ataupun di lingkungan kerja? 

Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mencatat ada 718 bahasa di Indonesia. Aksennya tentu lebih banyak lagi. Untuk bahasa Jawa saja, misalnya, aksen Ngapak dari Banyumas akan terdengar sangat berbeda dengan aksen Solo. Beberapa kosakatanya juga ada yang berbeda. 

BACA JUGA: CONTOH BAHASA SUNDA YANG BAIK DAN SOPAN 

Jika dihubungkan antara aksen atau logat daerah ini dengan dunia kerja, sebenarnya memang ada beberapa pekerjaan tertentu yang mengharuskan untuk tidak berlogat. Customer service yang melayani panggilan via telepon, misalnya. Atau voice over talent yang disyaratkan untuk tidak berlogat. 

Alasan di atas jelas masih bisa diterima. Tapi, akan beda ceritanya dengan mereka yang kehilangan kesempatan dalam bekerja atau bahkan menerima prasangka negatif hanya dari gaya bicara. 

Seorang rekan kerja penulis bernama Kris (bukan nama sebenarnya) pernah menceritakan bias aksen yang sempat dialaminya saat masih bekerja di Jakarta. Kala itu, ia yang asli Jogja memiliki logat daerah yang cukup kental.  

Teman-teman kantornya seringkali memberinya bombastic side eye tiap kali Kris berbicara dengan logat daerah. Apalagi jika Kris mengeluarkan satu dua kata dalam bahasa Jawa, ia harus siap dianggap ndeso hingga jadi bahan ghibah di luar jam kerja. 

Bukan hanya di Jakarta, Rahma (bukan nama sebenarnya) rekan kerja penulis asal Batam juga pernah mengalami hal serupa. Berbicara dengan bahasa daerah, apalagi dengan logat yang cukup medok di kantornya, akan langsung jadi bahan ghibahan. 

Ironis, ya. Negara yang sering dibangga-banggakan akan kekayaan budayanya justru memberi prasangka negatif pada mereka yang berbicara dengan logat daerah. Padahal, bahasa daerah termasuk dalam keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia.  

Pada akhirnya, solusi atas bias aksen ini hanya dua: antara berusaha mengganti aksen bicara atau mengganti pekerjaan. Kris dan Rahma sama-sama memutuskan yang kedua. Mengganti aksen hampir tidak mungkin karena memang sudah begitu cara mereka ngomong sejak kecil.  

Tidak ada opsi mengganti mindset bahwa orang-orang yang beraksen daerah itu identik dengan ndeso. Kalau pola pikirnya sudah kena, susah untuk mengubah apalagi dalam waktu singkat.  

Mungkin, bias aksen di Indonesia baru akan berubah kalau bahasa daerah kita diklaim negara tetangga. Saat itulah jiwa nasionalisme netizen akan memuncak dan rela melakukan apa saja demi mempertahankan bahasa daerah. (*/) (Photo credit: Alexander Suhorucov)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read