In Depth

BENARKAH MEDIA SOSIAL BERDAMPAK BURUK TERHADAP KESEHATAN MENTAL?

Media sosial sering kali dicap berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Mulai dari kecanduan, hingga gangguan kecemasan. Belakangan ini para peneliti menganalisis penyebab dan solusi tersebut. Apa saja hasil penelitiannya?

title

FROYONION.COMBagaimana pendapat kalian tentang kehadiran media sosial yang berpotensi mengganggu kesehatan mental? Merasa sangat setuju atau justru kalian menolak pernyataan tersebut?

Belakangan ini, situs Freethink.com menerbitkan tulisan yang memuat pernyataan psikolog asal AS, Jean Twenge pada 2017. Ia menemukan bahwa smartphone dan media sosial berdampak buruk terhadap kehidupan dan kebahagiaan generasi muda.

“Munculnya ponsel pintar dan media sosial telah menyebabkan gempa bumi dengan kekuatan yang belum pernah kita lihat dalam waktu yang lama, atau mungkin pernah terjadi. Ada bukti kuat bahwa perangkat yang kita berikan kepada generasi muda mempunyai dampak besar terhadap kehidupan mereka dan membuat mereka sangat tidak bahagia,” tulis Twenge.

BACA JUGA: MENGATASI RASA HAUS ATENSI DI ERA MEDIA SOSIAL

Tentu kekhawatiran ini membuat kalian juga merasa was-was. Di samping sebagai sarana hiburan dan alat komunikasi, pekerjaan saat ini pun tidak bisa lepas dari penggunaan smartphone dan media sosial. 

Tapi, kalian jangan gegabah dahulu. Meski pernyataan Twenge terasa membandingkan generasi sebelumnya yang unggul dalam melawan rasa kesepian, kecemasan, dan depresi, para ahli menafsirkan perkataan Twenge bersifat sebagai peringatan dini. 

Hal ini ditulis oleh Eiko Fried, psikolog di Universitas Leiden, Belanda yang menganjurkan generasi muda khususnya orang tua dan pemerintah untuk fokus mengatasi tantangan tersebut.

“Daripada melakukan tindakan panik dan gegabah yang menghilangkan hak pilihan dan peluang generasi muda, kita harus fokus mengatasi tantangan kesehatan mental yang banyak dan beragam yang dihadapi generasi muda yang tidak terbatas pada media sosial,” tulisnya, melansir dari Freethink.com.

Untuk itu, mari kita analisis secara sederhana seperti analogi antara heroin dan keripik kentang melalui lanjutan tulisan berikut ini!

ANALOGI UNIK TENTANG HEROIN DAN KERIPIK KENTANG

Melansir situs yang sama, para peneliti sepakat untuk memberikan analogi dampak kesehatan mental terhadap media sosial seperti hubungan heroin dan keripik kentang. 

Bagaimana maksudnya? Pilihan kedua kata itu memang terdengar aneh, namun analogi ini dibuat berdasarkan dua penelitian yang membahas perwujudan dari perdebatan tersebut.

Studi pertama ditulis oleh Andrew Przybylski dan Amy Orben pada tahun 2019. Mereka menemukan hubungan negatif terhadap teknologi digital. 

Remaja yang dilaporkan menghabiskan waktu menggunakan teknologi digital, cenderung tidak merasakan kesejahteraan positif.

BACA JUGA: DETOKS MEDIA SOSIAL TERNYATA NGGAK SELALU MEMBERIKAN MANFAAT

Kemudian, studi kedua ditulis pada tahun 2022 oleh Twenge dan Haidt. 

Mereka meneliti hubungan antara media sosial dan kesehatan mental pada anak perempuan. Hasilnya, ada korelasi negatif yang jauh lebih kuat dibanding studi pertama. 

Studi inilah yang melahirkan analogi kecanduan heroin atau obat-obatan terlarang dan kentang, sama seperti dampak negatif media sosial. Bagaimana menurut kalian?

DETOKS MEDIA SOSIAL BUKAN CARA YANG AMPUH, LALU?

Banyak yang menyarankan detoks media sosial sebagai cara yang ampuh untuk menghilangkan dampak buruk media sosial terhadap kesehatan mental. Seperti halnya berpuasa atau tidak menggunakan media sosial selama kurun waktu tertentu.

Namun, temuan terbaru Michael Wadsley dan Niklas Ihssen lewat jurnal sains & kedokteran Plos One seperti dikabarkan The Conversation menunjukkan detoks media sosial tidak memberikan manfaat yang seperti kita kira sebelumnya.

Penelitian itu melibatkan beberapa orang untuk menerapkan program diet media sosial selama satu minggu. 

Hasilnya, dari 51 orang yang ikut, hanya segelintir orang yang benar-benar menjauh dari media sosial. Padahal ditemukan penuruan secara signifikan, dari empat jam sehari menjadi setengah jam.

Memang studi tersebut tampaknya mengalami penurunan durasi penggunaan media sosial yang terbilang sukses. 

Tapi mayoritas audiens mengeluhkan penurunan emosi positif yang justru timbul selama periode detoks media sosial.

Lantas, bagaimana kesimpulan dari permasalahan ini? Menurut Etchells, psikolog di Bath Spa University, Inggris ia menyarankan tak ada cara lain yang dilakukan selain menerima fenomena ini dan mulai mengubah pendekatan. 

Pendekatan tersebut antara lain faktor media sosial apa yang memicu kerentanan generasi muda, bagaimana kita mendukung mereka yang paling rentan tersebut, dan faktor-faktor apa saja yang membantu mereka untuk menjadi lebih kreatif dan memperoleh bantuan dari sekitar.

Intinya, media sosial tetap menjadi bagian dari teknologi digital yang di sisi lain juga dibutuhkan. Kuncinya adalah tetap waspada dan beristirahat sejenak dari hiruk pikuk media sosial karena teknologi digital ini terus berevolusi seiring berjalannya waktu. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Lukman Hakim

Penulis lepas yang menuangkan ide secara bebas tapi tetap berasas