Aplikasi dating ternyata nggak cuma bisa dipakai untuk cari pacar. Sekarang siapa saja bisa menggunakannya sebagai alat mencari teman atau sekadar kenalan baru di tempat asing untuk sama-sama ‘membunuh’ sepi.
FROYONION.COM - Di masa pandemi 2021 lalu, ada trend work from Bali yang membuat orang-orang Jakarta pergi ke Bali untuk healing. Sembari healing, mereka juga menghidupkan aplikasi dating untuk bertemu dengan orang baru.
Beberapa teman atau setidaknya orang yang saya kenal; penduduk Jakarta, juga melakukan hal sama. Menghidupkan Bumble kemudian berselancar, swiping-swiping, cocok, ketemu, dan melakukan hal-hal yang disenangi (dan semoga sama-sama disetujui).
Seorang teman dekat melakukan perjalanan ke Bali, menyalakan Bumble dan bertemu sesama Jakartans. Keduanya membuat kenangan di Bali, berjalan sambil bergandengan tangan di sunset, motoran sembari memeluk pinggang.
Ketika akhirnya sama-sama balik Jakarta, sparkling romansa tersebut tak ada lagi. Chemistry-nya hanya bertahan di Pulau Dewata, kemesraan yang dulu tidak terulang. Saya menyebutnya sensasi lokalitas. Kita terbuai dengan nuansa kota berbeda, (mungkin) usaha melupakan stres ibukota, menjadi diri yang berbeda di kota lain, sehingga merajut perasaan dengan orang baru.
Aplikasi dating memang unik. Kita bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang dimaksudkan dan mungkin tidak dimaksudkan.
***
Baru-baru ini saya melakukan perjalanan ke Batam, dan tak terasa sudah hampir 3 minggu menetap di sini. Sebelum ke Batam, saya menggunakan Bumble premium—ketika masih di Jakarta. Iseng saja. Seorang teman pernah menyetel premium untuk profil Bumble-nya dan dia sempat berbagi pengalamannya ke saya menggunakan Bumble premium.
“Kita bisa ngeliat siapa yang nge-like kita,” begitu komennya.
Dan kalau nggak salah, kita juga bisa melakukan beberapa kali super swipe ke akun yang kita senangi. Ketika menggunakan fitur premium ini, saya tidak terlalu mengeksplornya. Saya hanya melakukan semacam percobaan saja, untuk me-like orang yang me-like saya.
Hasilnya bagaimana?
B aja sih.
Tidak terlalu signifikan. Mungkin karena saya hanya menggunakannya selama sebulan. Like tidak menjamin obrolan bakal nyambung ternyata. Ada beberapa faktor lain yang menjadi penentu keberlanjutan.
Jadi, dari sekian akun yang me-like akun saya, akhirnya saya menemukan kecocokan obrolan dengan seorang laki-laki H yang memiliki minat sama di bidang buku dan kepenulisan. Dia menginfokan ke saya, kalau ada diskusi buku di Batam Center. Wah, saya baru tahu kalau di Batam ada geliat perbukuan dan ternyata ada toko buku bekas di Nagoya!
BTW, ternyata kami juga punya mutual pertemanan yang membuat obrolan semakin nyambung. Singkat cerita akhirnya kami ketemuan, mengobrol; dia menceritakan mengenai usaha thrifting yang sudah dilakoninya selama beberapa tahun lalu. Melihat kembang api di Singapura dari Sekupang, ngopi di warung yang bukan turis banget, dan lain-lain.
Buat saya ini sesuatu yang menyenangkan, menggunakan aplikasi dating untuk menemukan pertemanan baru yang berujung kepada hal-hal berbeda. Setidaknya saya jadi tahu geliat perbukuan di Batam. Café yang juga menyediakan buku-buku untuk dibaca (Yolo Book Café). Kemudian yang menarik adalah industri thrifting.
Saya termasuk orang yang senang membeli pakaian bekas. Tetapi, pakaian bekas yang saya beli adalah pakaian bekas biasa, yang bukan termasuk koleksi, tidak harus branded.
Saya baru tahu, kalau ada saja pembeli yang mengincar merek tertentu ataupun produk fashion yang berkaitan dengan sejarah, kepunyaan siapa, kapan produk itu dikeluarkan dan lain-lain. Nah, kalau yang tipikal demikian, tentunya barang yang dijual tersebut tidak asal jual dan bukan barang sembarangan. Si pemilik usaha thrifting harus tahu dong mengenai riwayat dan sejarah produk tersebut untuk bisa menaksir harga jualnya. Itu yang dilakukan H.
Dia mengaku pernah membeli produk dengan modal di bawah Rp200 ribu namun menjualnya di angka jutaan. Ada juga produk fashion yang sudah buluk banget, namun karena punya nilai histori yang oke, tetap memiliki posisi tawar yang tinggi.
Mengobrol dengan H memberikan perspektif baru buat saya mengenai dunia thrifting dan bagaimana upaya-upaya kita melihat peluang usaha di era sekarang. H tidak hanya berjualan di Instagram, tetapi juga marketplace lain seperti Shopee, Tokopedia, termasuk juga marketplace internasional semacam Grailed.
H juga cerita tentang mengapa dia memiliki Batam sebagai kota perantauan. Harapan-harapannya di kota ini, bagaimana dia sempat ingin kembali ke kampung halamannya namun karena tidak (atau belum) melihat peluang apapun, dia kembali ke Batam.
Bagaimana dia bertahan hidup dari perkenalan. Mendapatkan sewa kosan yang sangat terjangkau dari pertemanan. Iklim pekerja wartawan di sini yang ternyata tidak jauh berbeda dari apa yang dulu saya lakoni dulu. Kesedihan-kesedihan khas perantau, keriaan-keriaan, dan pastinya semangat yang tak boleh putus supaya dapur tetap ngebul.
Pada momen ini aplikasi dating memperluas fungsinya tidak hanya untuk mencari teman kencan dan sparkling romansa saja, melainkan juga kemungkinan-kemungkinan lain. Transfer edukasi, teman curhat, atau probabilitas lain yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Seperti H bilang, “We can find love in a hopeless place..” kalau saya sih lebih kepada, “We can find stories in unexpected places..” (*/)
BACA JUGA: APAKAH PARA PEMILIK WAJAH PAS-PASAN PUNYA RUANG DI APLIKASI DATING?