Kuntilanak erat dikaitkan dengan perempuan tersakiti yang meneror laki-laki nakal. Kepercayaan mengenai kuntilanak ini dibangun supaya laki-laki tidak berbuat jahat kepada perempuan—terutama malam-malam. Kenapa juga harus perempuan?
FROYONION.COM - Beberapa hari lalu, salah satu murid kelas menulis saya mengirimkan komik horor. Ternyata dia ingat cerita saya ketika di kelas, kalau saya mengirim cerita horor di salah satu Youtube horor. Kemudian saya mengirimkan link Youtube Lentera Malam untuk dia lihat. Murid ini rupa-rupanya mengubek-ngubek konten di sana dan menemukan beberapa cerita mengenai kuntilanak.
“Itu beneran nggak sih Kak? Ada tentang poconglah…” begitu teks WhatsApp-nya ke saya.
“Konon sih beneran…” jawab saya yang kemudian menambahi informasi nggak terlalu penting, kalau saya lebih doyannya kisah seram perjalanan naik gunung.
“Kak, kayaknya populasi kuntilanak mengalami penurunan ya sekarang…” tiba-tiba dia berkomentar begitu. Bukan tanpa alasan dia tiba-tiba ngomong begitu. Dia bilang, ketika masih tinggal di Pontianak, masa kecilnya masih sering mendengar cerita tentang kuntilanak.
Ibunya ketika hamil pernah mendengar suara tertawa kuntilanak mengelilingi rumah. Selain suara, ibunya juga pernah dicakar kuntilanak. Mengapa begitu, soalnya ketika mandi, ibu menemukan bekas cakaran di paha.
Ternyata tidak hanya itu saja, ibu murid ini ketika kecil juga punya pengalaman yang lebih creepy. Ketika kecil sang ibu bermain petak umpet dengan saudara-saudaranya. Semua sudah ketemu, hanya satu adik yang belum ketemu-ketemu.
Sampai akhirnya ketemu sudah larut malam atau besok harinya—murid tidak terlalu ingat cerita pastinya—dan di mulut adik ibu ada banyak sekali cacing. Katanya sih dia dikasih makan mie sama perempuan.
Nah, menurut murid, dia tidak pernah lagi mendengar cerita tentang kuntilanak di kampung halamannya. Ketika kakak-kakaknya hamil, tidak ada tuh yang mendengar suara tertawa kuntilanak.
“Apa benar populasi kuntilanak menurun, Kak Ester?”
Saya tidak pernah ketemu kuntilanak—amit-amit—tapi selain mendengar cerita murid, saya pernah mendengar kepercayaan-kepercayaan menyangkut kuntilanak.
Misalnya, supir bus saya ketika SD dulu, dia pernah bilang ketika hamil, suaminya ditugaskan di hutan Kalimantan. Dia selalu membawa gunting supaya jaga-jaga. Penangkal katanya begitu. Dan selama membawa gunting ketika hamil, tidak ada gangguan makhluk halus.
BACA JUGA: REVIEW SERIAL TELUH DARAH: BERHASIL PADUKAN HOROR, MISTERI DAN GORE JADI SATU
Kuntilanak tidak hanya identik dengan bayi saja. Tetapi juga perselingkuhan. Seorang teman pernah cerita ke saya, ketika kecil dia pernah melihat kuntilanak yang dikirim mantan selingkuhan ayahnya.
Ceritanya, si ayah bertobat dan akhirnya memilih untuk kembali ke keluarganya. Si mantan selingkuhan tidak terima, dan mengirim kuntilanak untuk menakut-nakuti mereka sekeluarga. Akhirnya, seperti di film-film horor 90-an, dengan ayat-ayat kitab suci, akhirnya kuntilanak tersebut pergi.
Kemudian, kisah Mba Kunti yang lain lagi adalah datang dari mantan pendeta saya. Sebelum menjadi “hamba Tuhan”, pendeta saya ini menanam sesuatu di rumahnya sebagai “pegangan”.
Kemudian, ceritanya beliau bertaubat dan memutuskan untuk tidak lagi menduakan Tuhan. Sepertinya setannya marah, dan tengah malam memunculkan diri di ruang tengah keluarga pendeta tersebut sambil tertawa-tawa menyeramkan.
Saya berteman dengan anak pendeta tersebut. Dan dua anaknya menceritakan bagaimana kengerian malam itu yang kemudian berakhir seperti di film-film; setannya hilang ketika dibacakan ayat suci.
Dua cerita berbeda dengan latar belakang kuntilanak ini terjadi di kota yang tak sama. Pertama di Pontianak, kedua di Medan. Yang lainnya lagi adalah kakak kandung saya pernah mengalami interaksi dengan entitas yang kurang lebih sama, ketika tinggal di Padang.
Ceritanya, kakak saya diminta temannya untuk menginap di rumah teman tersebut. Ternyata, bukan tanpa sebab si teman meminta inap. Si teman sedang menjalankan sesuatu yang gaib. Dia membakar kemenyan dan bunga-bungaan di tembikar.
“Kamu ngapain gitu-gitu, hati-hati, kamu punya anak perempuan…” begitu kata kakak ke temannya yang tentu saja tidak ditanggapi,
Singkat cerita, teman kakak saya ini sedang berselisih dengan selingkuhannya sehingga “mengirim” sesuatu. Di luar dugaan, selingkuhannya punya kekuatan yang lebih canggih dan mengirim hantu lain.
Puncaknya, tengah malam, ketika semua sudah tidur, tiba-tiba kamar yang ditempati kakak dan temannya menjadi lebih panas dari biasa. Kakak sudah merasakan malam ini pasti bakalan beda. Dan benar!
Mendadak aura kamar jadi berbeda, dan dari sudut matanya, kakak bisa melihat ada perempuan berambut panjang berbaju putih berdiri di depan pintu, kemudian menyusuri pinggir tempat tidur. Kakak bisa merasakan si perempuan semakin dekat ke posisi kakak tidur.
Ketika kuku perempuan itu menyentuh kaki/betis kakak, tiba-tiba kakak merasakan kalau dari belakang punggungnya ada yang memeluk, kemudian perempuan berbaju putih tersebut sekejap menghilang. Dari penjelasannya sih, dia merasakan ada campur tangan Yang Maha Kuasa yang melindunginya, di malam itu.
Terbaru soal perkuntilanakan ini terjadi ketika saya sudah menetap di Jakarta, saat masih tinggal di rumah kakak saya di Cengkareng. Saya lupa tepatnya tahun berapa. Hanya saja di suatu jangka waktu tertentu, sempat marak penampakan makhluk halus di area komplek rumah kakak.
Awalnya, anak yang punya warung dekat rumah kakak melihat sosok berbadan besar di pohon dekat warungnya. Penampakan ini terjadi saat magrib. Kemudian, tetangga depan rumah kakak, anak laki-lakinya teriak-teriak karena melihat ada perempuan terbang-terbang.
***
Berdasarkan informasi yang saya baca di Google, ada pandangan realistis mengenai kuntilanak. Menurut antropolog, fenomena kuntilanak di Indonesia terjadi untuk menertibkan perilaku manusia.
Kuntilanak erat dikaitkan dengan perempuan tersakiti yang meneror laki-laki nakal. Kepercayaan mengenai kuntilanak ini dibangun supaya laki-laki tidak berbuat jahat kepada perempuan—terutama malam-malam. Kenapa juga harus perempuan?
Mungkin ini ada kaitannya dengan budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai korban dan subjek yang disalahkan untuk setiap hal yang melanggar norma. Pandangan mengenai kenapa hantu Indonesia didominasi oleh perempuan termuat dalam buku Memaksa Ibu Jadi Hantu yang ditulis oleh Annissa Winda Larasati & Justito Adiprasetio.
Terlepas dari ada penelitian dan sanggahan realistis terkait keberadaan kuntilanak, pengalaman-pengalaman mistis masih kerap ada. Apakah semata mengganggu yang jahat atau siapa saja yang percaya dengan keberadaannya? (*/)