In Depth

APAKAH PARA PEMILIK WAJAH PAS-PASAN PUNYA RUANG DI APLIKASI DATING?

“Aku sadar diri kok, wajahku pas-pasan dan nggak bakal ada yang nge-swipe..” Gimana tuh kalo ada temen lo yang nggak pede gini buat pake dating app, Civs? Apakah bener wajah adalah segala-galanya biar bisa sukses di dating app? Simak pembahasannya di sini.

title

FROYONION.COM - Begitu kata seorang teman yang tidak saya temui di aplikasi dating. Saya mengenal si S ini dari lingkar pertemanan traveling. Suatu waktu seorang teman dekat bilang ke saya, “Ter, ada lho teman jalan yang suka posting-posting foto dia di luar negeri, coba deh cek ini..” kemudian teman dekat saya mengirimkan link Instagram, seorang laki-laki duduk di karpet dengan di sebelahnya ada sleeping bag.

Ruangan tempat dia berpose seperti kamar mewah, ada spring bed dengan bed cover tebal, lampu-lampu kuning—pokoknya kesannya luxury gitu deh! Kemudian caption-nya kurang lebih begini, “Walau tidur di hotel bintang 5, tapi tetap lebih nyaman tidur pakai sleeping bag..”

Jadi ceritanya, si S ini memang traveler sejati, yang kerap menghabiskan weekend dengan jalan sana-sini. Mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudra bersama teman bertualang… 

Seperti ninja hatori-lah…

Dalam suatu kesempatan, saya sempat ngedate dengan si S ini dan dia bercerita panjang lebar bagaimana dan tempat dia biasa bertemu teman-teman kencannya. Dia bilang, kalau dia jarang pakai aplikasi dating, karena dia sadar kalau dia nggak good looking.

“Enggak akan ada yang nge-swipe…”

Namun, di kalangan traveler dan komunitas-komunitas sebenang merah lainnya, dia cukup popular ternyata. Menurut asumsinya dan menurut pengamatan saya dan si teman dekat, ini karena profesinya yang mentereng.

Dia kerja di pemerintahan kalau enggak salah. Kerap menemani para duta besar yang berkunjung ke Jakarta/Indonesia. Sering dinas ke luar negeri, berbicara di forum-forum internasional, dari mana saya tahu? Ya dari posting-annya.

Saya pernah bertemu dengan S dan teman-teman komunitasnya dan si S ini dijemput dengan Alphard, karena S lagi ada acara di Kempinski. Ketika akhirnya ketemu untuk ngedate  dengan saya, si S berbusana seperti hendak naik gunung. Dia bilang ke saya, dia tidak langsung berangkat dari kantor melainkan pulang dulu untuk salin, supaya saya tidak baper.

Menurutnya, pada beberapa situasi perempuan-perempuan terdahulu kerap baper begitu melihat dia dengan pakaian dinasnya ataupun begitu tahu dia kerja dimana. Saya ber “a-o-a-o” saja. Antara agak speechless kenapa dia sepercaya diri itu dan agak miris juga, ternyata ada banyak orang yang menilai orang lainnya dari penampilan—yang sebenarnya ini adalah kondisi nyata, nggak perlu heran sih.

Jadi, kembali lagi ke persoalan aplikasi dating, si S tidak memerlukan aplikasi tersebut untuk mencari teman kencan. Dia dengan kedirian, profesi, dan aktivitas adventurer-nya telah bisa memikat perempuan secara organik. 

Bahkan, dia pernah mendapatkan teman kencan kilat dari duduk nongkrong di Alfamart, terus ketemu dengan Mba-mba yang curhat dengannya, dan berakhir di RedDoorz. Modal jadi pendengar yang baik, sedikit uang, tampang pas-pasan juga bisa dapat teman tidur. Kesimpulan saya begitu sih dari cerita-cerita dengannya.

“Perempuan itu jatuh cinta bukan karena tampang, tapi rasa kasihan…” 

Saya pernah mendengar pernyataan begitu dari seorang yang dituakan. 

Dan ternyata ada benarnya sih, ketika perempuan mendengarkan kisah struggling seorang laki-laki kenalannya, dia jadi bisa menaruh simpati, kemudian empati, dan berakhir ke hati. Itulah sebabnya, wajah bukan segala-galanya. 

Benarkah wajah pas-pasan tidak mendapat ruang atau kesempatan di aplikasi dating? Saya rasa, ada banyak faktor yang membuat orang memutuskan untuk swipe right ke suatu profil. Dan itu tidak semata pada penampilan saja. Makanya kan ada keterangan tambahan, seperti pekerjaan, pendidikan, hobi, film yang dia senangi, quote dan info-info tambahan lain.

Ini jadi pertimbangan juga kita (kamu, aku, dan dia) menggeser ke kanan. 

Baru-baru ini saya bertemu dengan laki-laki pengguna aplikasi dating yang mengaku mendapat swipe right karena profesinya sebagai arsitek. Mungkin kesadaran akan penampilan dan kemungkinan kecil untuk mendapatkan swipe balik, yang dilakukan arsitek ini adalah me-swipe semua profil perempuan yang tampil di feed-nya.

Semata memperbesar peluang untuk bertemu orang yang tertarik dengan profilnya dengan menebar pesona semua perempuan. Menurutnya, sebagian besar perempuan yang me-swipe dia tertarik dengan profesinya sebagai arsitek. 

Salah satu dosen saya pernah bilang, kalau aplikasi dating ini nggak ubahnya seperti marketplace Shopee, Tokopedia, ataupun toko-toko online lainnya. Kita saling memilih satu sama lain. Menampilkan diri sebaik mungkin, seoke banget, supaya mendapatkan nilai tawar yang sesuai.

Dan itu tidak hanya mengandalkan penampilan belaka, melainkan juga lokasi foto profil, sudut pengambilan foto, profil di bio, pekerjaan, musik yang disenangi. Semakin indie musik yang kamu tampilkan, maka semakin edgy-lah kamu. 

Orang-orang zaman sekarang kan senang tampil beda tanpa benar-benar memaknai perbedaan itu sendiri. Makin beda makin keren. 

Benarkah pemilik wajah pas-pasan tidak memiliki ruang di aplikasi dating? Jawabannya  belum tentu dong! Kepraktisan aplikasi dating bisa membuat kita mendesain tampilan dan profil semaksimal mungkin supaya catchy dan edgy

Soal kebenarannya, setelah kopi darat akan teruji. Apakah kamu memang benar-benar arsitek, memang menyukai lagu-lagu Pamungkas atau sebenarnya kamu nggak suka-suka banget, ya B aja gitu, supaya orang tertarik swipe kamu aja…. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ester Pandiangan

Penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022)". Tertarik dengan isu-isu seputar seksualitas.