Dari abad ke-20, seni beladiri khas Indonesia ini sudah diteliti orang-orang mancanegara. Kini pencak silat makin diakui dunia. Akankah bisa masuk ke Olimpiade?
FROYONION.COM - “Gajah di pelupuk mata tak tampak. Kuman di seberang lautan tak tampak.” Kira-kira peribahasa itulah yang cocok buat kita yang lebih banyak mengenal olahraga dari negara-negara lain tapi lupa dengan banyak olahraga asli Indonesia sendiri.
Salah satu olahraga lokal milik bangsa kita yang sudah sejak lama dilirik dunia adalah pencak silat. Sekilas, pencak silat mirip sama karate dari Jepang, atau taekwondo dari Korea, atau chuanfa dari Tiongkok tapi teknik pencak silat tuh unik, nggak ada duanya. Dan percaya atau nggak, minimal ada sekitar 60 gaya pencak silat di bumi Indonesia yang tercatat oleh Howard Alexander, Quintin Chambers, dan Donn F. Draeger yang meneliti pencak silat kita dan menulis buku “Pentjak-Silat: The Indonesian Fighting Art” dan diterbitkan oleh penerbit Jepang Kodansha International di tahun 1970 (edisi pertama).
Tak cuma Alexander dan dua kawannya yang tertarik meneliti dan menulis buku soal pencak silat. Tahun 2015 terbit sebuah buku kumpulan penelitian bertema pencak silat yang berjudul “The Fighting Art of Pencak Silat and Its Music: From Southeast Asian Village to Global Movement” (Seni Bertarung Pencak Silat dan Musiknya: Dari Desa Asia Tenggara Sampai Hingga Menjadi Gerakan Dunia) yang diedit oleh Uwe U. Paetzold dan Paul H. Mason. Ini artinya, pencak silat dari dulu hingga sekarang sudah dan masih menarik perhatian orang-orang asing.
Apa sih yang menarik dari pencak silat? Kenapa seni beladiri lokal ini juga patut kita ketahui lebih dalam?
Dari catatan sejarah, setidaknya sebuah bentuk beladiri melawan manusia lain muncul di abad ke-8 Masehi di Indonesia. Ini diketahui dari benda-benda seni dan artefak sejarah di Kepulauan Riau. Sistem pencak silat ini kemudian terpengaruh oleh beragam budaya Asia daratan dan menyebar ke Indonesia sebagai suatu bentuk seni beladiri.
Pencak silat kemudian berkembang pesat di wilayah Minangkabau, Sumbar. Mereka mengembangkan pencak silat dengan gaya lokal khas Indonesia. Bahkan konon kerajaan Sriwijaya yang menjadi salah satu kerajaan paling terkuat di nusantara dari abad ke -7 hingga ke-14 bisa memperluas wilayah karena kemampuan bertarung prajurit-prajuritnya yang sangat baik.
Di Jawa, seni beladiri juga berkembang pesat dengan banyak jenis senjata. Di masa kejayaan Majapahit (abad ke-13 hingga 16), seni beladiri lokal ini makin bagus tekniknya tapi mulanya cuma diajarkan di lingkungan terbatas (kaum bangsawan). Perlahan-lahan, teknik-teknik tadi menyebar juga ke kalangan rakyat jelata dan memperkaya teknik pencak silat juga.
Meski pada awalnya dicap sebagai seni beladiri, pencak silat memiliki unsur artistik atau seni juga. Para pakar sepakat memaknai “pencak silat” sebagai cara bertarung yang bernilai seni. Kata “pencak” sendiri artinya metode latihan beladiri dan “silat” penerapan metode tersebut.
Karena adanya gabungan seni beladiri dan tari inilah, pencak silat dimasukkan ke genre abu-abu oleh sosiolog Clifford Geertz. Ia bisa diperagakan oleh gadis-gadis sebagai sebuah tarian yang tak dimaksudkan sebagai sebuah pergulatan fisik tapi juga bisa disajikan sebagai pertarungan yang brutal di antara dua petarung pria dewasa yang perkasa.
Sebagai sebuah metode beladiri, pencak silat kemudian berkembang sebagai sebuah olahraga dan bentuk pendidikan jasmani. Dasar-dasar teknik pencak silat berkaitan dengan penggunaan senjata-senjata. Di sini, arti senjata bukan cuma alat seperti pedang, tongkat, golok tapi juga bagian tubuh seperti siku, tinju, lutut dan kaki.
Yang unik dari pencak silat adalah hampir semua gerakannya bisa diperagakan dengan sama luwesnya dan amannya baik saat petarung melakukan dengan dan tanpa senjata eksternal. Ini sesuatu yang tak dimiliki oleh karate.
Lain dari olahraga atau beladiri lain, pencak silat dilakukan tanpa pemanasan. Lho kok begitu ya? Alasannya karena para leluhur percaya dalam kehidupan sehari-hari pertarungan bisa terjadi kapan saja. Dan pemanasan dan penguatan yang dilakukan secara terisolasi seperti gerakan pemanasan lengan atau kaki dan mengangkat barbel seperti di gym tak banyak berguna.
Karakter pencak silat secara tradisional ialah defensif, lembut, lentur, adaptif, responsif, serta menunggu lawan bergerak. Teknik-tekniknya bersifat melebur dengan gerakan lawan, lalu mengarahkan gerakan lawan agar bisa dinetralkan, dikendalikan lalu dikalahkan. Pencak silat menghindar kontak fisik yang keras, serangannya ringan, lincah, dan gerakan-gerakannya menipu lawan.
Sebuah mitos yang keliru dan banyak beredar ialah bahwa pencak silat cuma cocok untuk orang-orang yang memiliki tulang kecil dan berperawakan ramping. Itu karena para penduduk di daerah pegunungan Sumatra, Jawa dan Bali yang bertubuh besar juga bisa melakukannya sejak lama.
Namun begitu, pencak silat mengandung aspek spiritual juga. Pesilat dikatakan harus memiliki hati atau jiwa yang baik. Kemurnian nurani seorang pesilat bisa dilihat dari gerakan dan tekniknya. Para guru silat berpengalaman bisa menilai karakter seorang pesilat dari gerakan saat latihan.
Pencak silat juga menjadi bagian ritual di masyarakat Indonesia. Ini bisa kita lihat saat momen-momen Maulid Nabi atau Tahun Baru Hijriyah di sekitar kita. Pencak silat dari dulu identik dengan religiusitas, kehormatan dan disiplin dalam berlatih baik di arena pertarungan maupun di kehidupan sehari-hari. Sayangnya, belum ada yang mendokumentasikannya secara lengkap sehingga budaya dan tradisi pencak silat yang sangat kaya ini serasa baru kita kenal di permukaan saja.
Gaya dan aliran pencak silat sangat kaya. Bayangkan saja bahwa dari catatan Alexander dkk., diketahui ada sekitar 150 gaya atau aliran pencak silat di 3,000 pulau di Indonesia. Di berbagai pelosok nusantara, pencak silat bisa ditemukan dalam bentuk yang paling murni dan kuno hingga versi modernnya yang hadir dengan adanya kombinasi dan variasi anyar.
Di Indonesia, dua daerah menjadi episentrum perkembangan pencak silat: Jawa Barat dan Sumatera Barat. Tradisi pencak silat di kedua daerah ini sangat menonjol sampai dikenal sejumlah gaya yang khas. Di Jabar, kita mengenal pencak silat gaya Cimande, Cikalong, Sabandar, hingga Serak. Lalu di Sumbar, ditemukan gaya/ aliran Silat Harimau dan Silek Tuo. Selain dari kedua daerah itu, pencak silat juga ditemukan di Jawa Tengah (misalnya Setia Hati), Jawa Timur (contohnya aliran Perisai Diri, Bhakti Negara, dan Pamur).
Masing-masing gaya pencak silat di pulau-pulau kita juga memiliki ciri khas masing-masing. Aliran-aliran pencak silat Sumatra biasanya memiliki taktik-taktik yang lebih kaya untuk tendangan tungkai kaki dan telapak kaki. Gaya pencak silat khas Sunda Jabar) dikenal dengan jurus-jurus lengan dan tangan yang lebih bervariasi. Aliran di Jawa Tengah menggabungkan jurus-jurus lengan dan kaki dengan apik. Terakhir, pencak silat yang berkembang di Jatim, Bali dan Madura lebih menonjol dengan gabungan jurus-jurus lengan dan kaki yang dikombinasikan dengan teknik bergulat/ tarung jarak dekat juga.
Istilah “pencak silat” sendiri diresmikan pertama kali di panggung nasional oleh sebuah organisasi bernama Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di tahun 1973 saat sebuah kongres digelar di Tugu dekat kota hujan Bogor.
Di era Orde Baru, pencak silat mulai digodok sebagai alat pemersatu identitas nasional. Ia dipersiapkan sedemikian rupa juga agar bisa dipertandingkan di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Bahkan mantan presiden Soeharto dikenal sering membicarakan pencak silat di banyak kesempatan, yang menjadikannya sebagai juru bicara pencak silat.
Pemerintah melalui IPSI memodernisasi pencak silat saat itu sehingga ia tak lagi cuma dikenal di lingkaran terbatas (satu perguruan saja). Namun, muncul pertentangan di kalangan pesilat sendiri. Para guru silat yang biasanya mengajar secara mandiri di perguruan-perguruan terpisah kini harus mulai ikut serta dalam modernisasi pencak silat di bawah arahan pemerintah Orba.
Di awal 1970-an hingga awal 1990-an, lembaga-lembaga pencak silat nasional pun mulai menyadari bahwa upaya mendesain ulang pencak silat versi tradisional sangatlah sulit jika tidak dikatakan mustahil. Akhirnya mereka memutuskan untuk menciptakan pencak silat jenis baru yang nantinya memiliki sistem yang lebih efisien dan bisa diajarkan dengan lebih praktis bagi semua peminat di seluruh dunia. Pencak silat pun mulai dikemas di tahun 2000-an sebagai komoditas olahraga dan budaya dari Indonesia yang disebarkan ke berbagai negara.
Kalau kamu masih ingat sejarah Indonesia, pasti kamu ingat para tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), yaitu serdadu-serdadu pembela Belanda saat masa perang kemerdekaan RI. Di antara mereka ini ada yang sudah belajar pencak silat juga dan begitu Belanda terusir dari bumi Indonesia, mereka yang disebut “paatjes” (ayah kecil) ini masih mengajarkan silat di Belanda. Bahkan ada yang pindah tempat tinggal ke Amerika Serikat dan masih mengajarkannya ke lebih banyak peminat. Di sini kita bisa katakan pencak silat sudah bukan seni beladiri lokal lagi.
Pemerintah Indonesia saat itu pun menanggapinya. Meski sudah ada IPSI yang didirikan tahun 1948 untuk mewadahi para pesilat nasional, tahun 1980 didirikan Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa (PERSILAT) yang dimaksudkan untuk mengakomodasi para pesilat dari seluruh negara di dunia. Dengan demikian, di tahun itu pencak silat sudah mulai menjadi fenomena global.
Sudah hampir 4 dekade berlalu, sayangnya belum ada tanda-tanda pencak silat akan diterima di ajang olahraga internasional Olimpiade. Namun pemerintah tidak tinggal diam. Tahun lalu pemerintah melalui Kemenpora mencoba membangun jalan bagi pencak silat agar bisa menjadi cabang olahraga di Olimpiade, demikian seperti dilaporkan Kompas.com.
Menpora kita Zainudin Amali menggelar Indonesia Open International Virtual Pencak Silat Tournament Jurus Tunggal dan Beregu di tengah pandemi yang masih gila-gilaan Agustus 2020 lalu. Turnamen ini diharapkan bisa menjadi langkah pertama bagi pencak silat yang menjadi warisan budaya kita ini agar bisa diterima masyarakat dunia dan dipertandingkan di kancah internasional. Selama ini pencak silat memang cuma bisa dipertandingkan di level regional (Asian Games) saja.
Dan langkah ini juga akan mendukung rencana besar pemerintah agar Indonesia bisa menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2032 nanti. Karena ini rencana jangka panjang, kita harus memulainya dari sekarang. Sedini mungkin. Nggak bisa dadakan, kayak kebiasaan buruk sebagian orang Indonesia kalau mengerjakan sesuatu.
Nah, Civs sebagai rakyat Indonesia yang memiliki pencak silat sebagai warisan budaya, kita pun sudah semestinya mendukung rencana dan langkah-langkah pemerintah agar seni beladiri lokal ini bisa semakin dikenal di tingkat internasional. (*/)