Perdebatan yang sering terdengar tentang motif bunuh diri: “Apakah lebih bersifat psikologis atau sosiologis?” Coba kenali tipologi bunuh diri ala Emile Durkheim.
FROYONION.COM Bunuh diri adalah fenomena yang telah menghantui manusia selama berabad-abad dan meninggalkan pertanyaan yang mendalam tentang apa yang mendorong seseorang untuk mengambil langkah tragis ini. Seiring berjalannya waktu, berbagai teori dan pendekatan telah dikemukakan untuk menjelaskan bunuh diri.
Salah satu tokoh sosiologi yang mencoba memberikan pandangan komprehensif mengenai fenomena ini adalah Emile Durkheim, dia adalah seorang sosiolog terkemuka yang berasal dari Prancis. Yuk kita jelajahi tipologi bunuh diri ala Emile Durkheim serta perdebatan mengenai apakah motif bunuh diri lebih bersifat psikologis atau sosiologis.
Emile Durkheim adalah salah satu bapak sosiologi modern yang memainkan peran penting dalam mengembangkan bidang ilmu sosial ini. Lahir pada tahun 1858 di Epinal, Perancis, Durkheim memiliki kontribusi besar dalam memahami masyarakat dan perilaku manusia.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah buku berjudul "Le Suicide" (Bunuh Diri), yang diterbitkan pada tahun 1897. Dalam buku ini, Durkheim memaparkan teorinya tentang bunuh diri yang berfokus pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku bunuh diri.
Emile Durkheim mengembangkan tipologi bunuh diri yang mencakup tiga kategori utama, diantaranya adalah:
Ini adalah jenis bunuh diri yang disebabkan oleh kurangnya integrasi individu dalam masyarakat.
Orang-orang yang mengalami bunuh diri egoistik sering kali merasa terisolasi dan tidak memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas atau keluarga.
Mereka mungkin merasa terasing dan kesepian, sehingga dapat mengarah pada perasaan putus asa yang mendalam.
Sebaliknya, bunuh diri altruistik terjadi ketika individu terlalu terintegrasi dalam masyarakat. Mereka mungkin merasa terlalu berkomitmen pada norma-norma sosial atau nilai-nilai kelompok mereka.
Dalam beberapa kasus, bunuh diri altruistik bahkan mungkin dianggap sebagai pengorbanan untuk kebaikan kolektif, seperti dalam kasus pengikut sekte atau tentara yang melakukan bunuh diri demi tujuan politik atau agama.
Bunuh diri jenis ini terkait dengan kondisi anomi, yaitu ketidakstabilan sosial yang dapat mengganggu struktur masyarakat. Ketika individu merasa tidak memiliki panduan atau aturan yang jelas dalam situasi anomi, mereka dapat mengalami kebingungan dan frustasi yang pada akhirnya mengarah pada bunuh diri.
Ini adalah jenis bunuh diri yang sering terkait dengan perubahan sosial ekstrem atau krisis ekonomi. Beberapa contoh dari bunuh diri ini adalah ketika seseorang bunuh diri karena telah dipecat dari pekerjaannya atau PHK serta mungkin kalian juga pernah mendengar seorang narapidana yang bunuh diri di dalam jeruji besi, kemungkinan mereka melakukan hal tersebut karena adanya tekanan di dalam penjara.
BACA JUGA: MENYOAL STIGMA LEMAHNYA IMAN SEBAGAI PENYEBAB ORANG BUNUH DIRI
Sekarang, mari kita eksplorasi lebih dalam mengenai apakah motif bunuh diri lebih bersifat psikologis atau sosiologis, berdasarkan tipologi Emile Durkheim.
Emile Durkheim sangat menekankan peran faktor-faktor sosial dalam menyebabkan bunuh diri. Menurutnya, tingkat bunuh diri dalam masyarakat dapat dipahami dan dijelaskan melalui analisis faktor-faktor sosial seperti integrasi sosial, regulasi sosial, dan tingkat anomia. Ini berarti bahwa, menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial daripada faktor-faktor psikologis individu.
Salah satu argumen utama untuk motif sosiologis adalah temuan Durkheim bahwa tingkat bunuh diri berbeda-beda antara kelompok sosial. Ia menemukan bahwa orang yang kurang terintegrasi atau bersosialisasi dalam masyarakat memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi, sementara individu yang lebih terintegrasi cenderung memiliki tingkat bunuh diri yang lebih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial seperti hubungan sosial, dukungan keluarga, dan keterlibatan dalam komunitas dapat memainkan peran penting dalam bunuh diri.
Selain itu, Durkheim juga mengamati bahwa tingkat bunuh diri dapat berfluktuasi seiring perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Misalnya, ketika masyarakat mengalami periode anomi akibat perubahan ekonomi yang drastis, tingkat bunuh diri dapat meningkat. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial dan lingkungan memainkan peran besar dalam perilaku bunuh diri.
Meskipun Durkheim menekankan faktor-faktor sosial, ada juga argumen untuk motif psikologis dalam bunuh diri. Beberapa kritikus berpendapat bahwa faktor-faktor psikologis seperti gangguan mental, depresi, dan kecemasan juga memiliki peran yang signifikan dalam mendorong seseorang untuk bunuh diri.
Salah satu argumen utama untuk motif psikologis adalah bahwa tidak semua orang yang mengalami faktor-faktor sosial yang sama mengambil langkah untuk bunuh diri.
Ada individu yang mengalami isolasi sosial yang kuat namun tidak mengalami bunuh diri, sementara orang lain yang memiliki hubungan sosial yang kuat dapat mengalami bunuh diri. Ini menunjukkan bahwa ada variabel psikologis yang harus dipertimbangkan.
Selain itu, orang yang mengalami depresi sering kali mengalami perasaan putus asa, keputusasaan, dan pikiran untuk bunuh diri. Oleh karena itu, faktor-faktor psikologis seperti depresi dapat berperan penting dalam memahami motif bunuh diri.
Penting untuk diingat bahwa perdebatan mengenai apakah motif bunuh diri lebih bersifat psikologis atau sosiologis tidak harus bersifat eksklusif. Sebagai gantinya, banyak ahli percaya bahwa faktor-faktor sosial dan psikologis saling terkait dan dapat saling mempengaruhi.
Misalnya, seseorang yang mengalami isolasi sosial mungkin juga memiliki masalah psikologis seperti depresi. Dalam hal ini, faktor-faktor sosial dan psikologis dapat bekerja bersama untuk meningkatkan risiko bunuh diri. Sebaliknya, seseorang yang memiliki gangguan mental seperti depresi mungkin juga mengalami isolasi sosial akibat stigmatisme atau keterbatasan dalam interaksi sosial.
Durkheim sendiri juga mengakui bahwa faktor-faktor psikologis dapat memainkan peran dalam bunuh diri. Namun, ia tetap berpendapat bahwa faktor-faktor sosial memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan tingkat bunuh diri dalam masyarakat.
Perdebatan mengenai apakah motif bunuh diri lebih bersifat psikologis atau sosiologis memiliki implikasi penting dalam upaya pencegahan bunuh diri. Jika kita menganggap bunuh diri sebagai masalah yang lebih bersifat psikologis, maka pendekatan pencegahan akan lebih fokus pada identifikasi dan pengobatan gangguan mental seperti depresi.
Namun, jika kita menganggap bunuh diri sebagai fenomena yang lebih bersifat sosiologis, maka pendekatan pencegahan akan lebih berfokus pada perbaikan struktur sosial dan dukungan masyarakat. Ini dapat mencakup upaya untuk mengurangi isolasi sosial, meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental, dan mengurangi tingkat anomia dalam masyarakat.
BACA JUGA: KENAPA BANYAK SENIMAN YANG BUNUH DIRI?
Sebagai contoh, program-program pencegahan bunuh diri dapat mencakup kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dukungan sosial dan mengurangi stigma terhadap gangguan mental. Di sisi lain, program-program pencegahan juga dapat mencakup perubahan dalam kebijakan sosial dan ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi ketidakstabilan sosial dalam masyarakat.
Semoga dengan pemahaman yang lebih dalam tentang fenomena ini, kita dapat bekerja bersama-sama untuk mengurangi angka bunuh diri dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkannya. (*/)