Pernah nggak kamu lagi enak-enak makan, tiba-tiba dikomentarin “Kok bisa sih makan makanan kayak gitu?” Berarti kamu lagi kena food shaming.
FROYONION.COM - Sebagian besar orang pernah mendengar istilah body shaming. Tapi kalau food shaming? Mungkin masih terdengar asing ya. Food shaming adalah komentar atau perkataan jelek mengenai makanan. Entah itu rasanya, baunya, kandungannya, porsi atau kualitasnya.
Layaknya perilaku body shaming, food shaming juga bikin sasarannya nggak nyaman. Kadang pelakunya nggak hanya melakukan ini dengan sadar, tapi bisa juga nggak sadar. Niatnya cuma iseng melontarkan komentar atau bercanda, tapi ternyata hal itu menyakitkan buat orang yang mendengar.
BACA JUGA: MAU COBA DIET MEDITERANIA? INILAH JENIS MAKANAN DAN CARANYA
Simak beberapa contoh perkataan sehari-hari yang ternyata termasuk ke kategori food shaming di bawah ini.
Porsi makan tiap orang beda-beda. Hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mungkin saja temanmu habis olahraga berat, atau melakukan aktivitas fisik yang berat dan membakar banyak kalori, jadi harus digantikan dengan porsi makan yang lebih dari biasanya.
Selain dituduh anorexia, bisa juga dengan kata-kata ‘lagi diet ya?’ atau ‘lagi bokek ya?’. Hampir sama kayak poin nomor satu, hanya saja kebalikannya. Apalagi kalau kamu sampai bawa-bawa eating disorder. Jangan pernah jadikan eating disorder sebagai bercandaan ya, bisa saja tiba-tiba dia memang mengidap anorexia dan sedang berjuang untuk sembuh.
Perkataan semacam ini sering ditujukan ke orang yang makan durian, jengkol, atau pete. Tapi bisa juga ke makanan lainnya yang menurut sebagian orang punya bau menyengat. Mungkin menurutmu memang menyengat dan tidak enak, tapi buat orang lain bisa saja itu makanan ternikmat sepanjang masa. Bayangin kamu sedang enak-enak menikmati makanan favorit tiba-tiba dikomentari seperti itu. Jadi nggak selera makan lagi. Seseorang yang nggak bisa membiarkan orang lain menikmati hal yang mereka suka adalah tipe manusia terburuk.
Menanggapi berat badan orang memang bukan hal yang bagus. Nggak cuma bilang orang gendut, bilang orang terlalu kurus juga tetap bukan hal yang bagus. Apalagi kalau orang itu lagi menikmati makanannya, tiba-tiba diberi komentar seperti ini. Dijamin, keinginan buat makan sirna sudah.
Sama kayak porsi, menu makanan orang itu preferensi pribadi yang didasarkan oleh beberapa faktor. Ada tipe orang yang bosenan, tapi ada tipe orang yang nggak gampang bosen kalau makan. Atau mungkin karena faktor ekonomi, hanya mampu beli menu yang sama. Intinya pilihan menu makan seseorang bukan urusan orang lain.
Mungkin kamu bertanya-tanya, emang ini termasuk ke food shaming? Jawabannya termasuk ya. Nggak semua orang senang beli makan di luar dan memilih untuk masak sendiri, tapi juga nggak semua orang punya waktu dan tenaga untuk masak. Apapun alasannya, tetap valid dan nggak membutuhkan validasi dari orang lain. Toh, dia beli pakai uangnya sendiri kan? Perkataan di atas termasuk food shaming karena bikin si ‘korban’ jadi malu untuk makan di depan teman-temannya.
Lalu apa bedanya food shaming sama peduli? Bisa dilihat dari cara orang itu mengatakannya. Coba bandingkan kata-kata “Pantes makanannya berlemak semua. Liat tuh perut lu udah meleber kemana-mana” dengan “Eh coba kurangi makanan ini deh, lemaknya banyak nanti nggak sehat.” Pastinya lebih enak didengar pilihan kalimat yang kedua, tanpa ada maksud untuk menghakimi diselingi dengan ungkapan body shaming seperti pilihan kalimat yang pertama. Atau bisa diganti dengan memberi solusi, seperti “Kurangi makan roti putih, lebih baik makan roti gandum aja biar lemaknya lebih sedikit dan lebih sehat juga.”
Orang yang melakukan food shaming cuma ingin berkomentar tanpa memberi solusi, sementara orang yang peduli tidak bermaksud untuk mengejek, melainkan untuk memastikan kesejahteraanmu.
Jika kamu jadi ‘korban’ food shaming, ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan. Pastinya tetap berusaha terlihat kalem dan nggak khawatir. Walau hati terasa sudah panas ingin menonjok, ditahan aja. Jangan juga jadi buru-buru makannya, atau malah nggak dihabiskan. Jangan bikin si ‘pelaku’ puas. Kemudian kamu bisa bilang kalau nggak suka atau nggak nyaman diperlakukan seperti itu. Misal “Aku nggak seneng kamu ngomong kayak gitu. Itu nggak membantu sama sekali.” Atau bisa juga “Terima kasih udah kasih nasehat. Tapi aku udah mempertimbangkan kalori yang masuk ke tubuhku sendiri kok, walau ini berlemak tapi tetap nggak melebihi asupan kalori per hari. Aku makan ini pun cuma seminggu sekali.”
Penting juga bagi kamu bisa membedakan mana orang yang food shaming, mana orang yang benar-benar peduli dengan cara yang sudah dibahas di atas. Soalnya kalau orang itu benar-benar peduli, bisa aja ucapannya benar kalau makanan yang kamu santap kurang baik buat kesehatan.
Siapapun bisa jadi ‘korban’ dan ‘pelaku’ food shaming. Kalau kamu jadi pelaku, lebih baik ubah kata-kata yang terdengar judgemental jadi nasihat yang membangun disertai dengan solusi. Kalau kamu jadi korban, hadapi kata-kata mereka dengan kepala dingin. Jangan jadikan ucapan semua orang jadi patokan, apalagi sampai kamu nggak mau makan makanan itu sama sekali setelah di food shaming-in. (*/) (Photo credit: Helena Lopes)