Bicara tentang Jogja pasti tidak akan jauh-jauh dengan bakpia. Kenapa bakpia sangat identik dengan Jogja? Apakah bakpia berasal dari Jogja?
FROYONION.COM - Belum ke Yogyakarta rasanya jika belum membeli dan mencicipi Bakpia. Makanan ini hampir ditemui di setiap toko di poros-poros wisata Yogyakarta. Bakpia merupakan ikon oleh-oleh populer dari Yogyakarta. Jika bicara Bakpia, sudah pasti Yogyakarta, dua hal ini saling terafiliasi satu sama lain.
Bakpia merupakan kue berbentuk bulat pipih yang terbuat dari tepung yang di dalamnya diisi dengan campuran kacang hijau dan gula, sementara untuk proses pengolahannya dengan dipanggang.
BACA JUGA: 7 PILIHAN LAGU YANG MENCERITAKAN TENTANG YOGYAKARTA
Bakpia juga dikenal dengan kue pie yang berisi kacang hijau. Seiring perkembangannya, bakpia memiliki beberapa varian rasa mengikuti selera pasar seperti seperti keju, coklat, hingga durian.
Jika bicara asal usul, walau dikenal sebagai ikon Yogyakarta, ternyata bakpia bukan berasal dari Kota Pendidikan ini, nyatanya bakpia merupakan makanan dari Cina yang kemudian berkembang dan popular di Yogyakarta. Ini merupakan salah satu wujud nyata akulturasi budaya Cina dan budaya Jawa, dalam hal ini Yogyakarta.
Awal mulanya, bakpia merupakan makanan dari Cina yang kemudian dibawa oleh imigran Cina yang menetap di pusat Yogyakarta sekitar tahun 1930 sekian. Bakpia merupakan makanan atau cemilan sehari-hari dan bukan jenis makanan yang umum untuk diperjual belikan. Bagi orang Cina, bakpia hanya makanan pelengkap atau snack.
Di negeri asalnya, bakpia memiliki ukuran yang lebih besar daripada Bakpia Pathuk serta berisikan daging yang diolah, sementara Bakpia Pathuk berisi kumbu yang terbuat dari kacang hijau.
Bakpia dalam bahasa Cina disebut tou luk pia yang berarti kue pia kacang hijau, namun terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa bakpia berasal dari kata bak dan pia yang berarti kue yang berisi daging babi.
Karena kondisi masyarakat Indonesia, utamanya Yogyakarta yang mayoritas Islam, makan bahan baku yang digunakan mengalami perubahan, yang semula daging babi diganti dengan kacang hijau.
Kwik Sun Kwok awalnya menjual bakpia dengan resep asli dari Cina dengan campuran minyak dan daging babi. Karena mayoritas masyarakat Yogyakarta beragama Islam, Kwik Sun Kwok bereksplorasi dengan membuat resep bakpia yang diisi dengan kacang hijau sehingga halal untuk dikonsumsi umat Muslim.
Bakpia Kwik Sun Kwok mendapat respon yang baik dan membawa keuntungan besar, kemudian Kwik Sun Kwok memutuskan untuk pindah ke daerah Suryowijayan setelah sebelumnya menyewa tanah milik Niti Gurnito.
Di tempat baru tersebut ia melanjutkan pekerjaannya membuat berbagai macam makanan dan roti, termasuk bakpia. Pada tahun 1960-an, Kwik meninggal dunia dan usahanya dilanjutkan anak menantunya bernama Jumikem.
Niti Gurnito yang sebelumnya menyewakan lahan kepada Kwik Sun Kwok ternyata juga membuka gerai bakpia. Niti Gurnito melakukan sedikit modifikasi dan memiliki ciri fisik yang berbeda dengan bakpia Kwik Sun Kwok. Bakpia Niti Gurnito memiliki ukuran yang lebih kecil, berkulit tebal, dan isinya juga lebih kecil.
Jauh sebelum Kwik Sun Kwok meninggal, salah satu rekannya yakni Liem Bok Sing juga membuka gerai bakpia. Bakpia Liem Bok Sing ini kemudian dikenal dengan Bakpia Pathok 75 karena Liem Bok Sing membuka gerai bakpia di Jl. Pathuk nomor 75, tepatnya di Kampung Ngampilan, Kelurahan Gedongtengen, Kemantrèn Ngampilan, yang di kemudian hari berkembang menjadi sentra industri bakpia besar bernama Bakpia Patuk 75.
Bakpia Pathok 75 berkembang pesat salah satunya karena Liem Bok Sing berhasil membuat resep baru yang memiliki ciri khas kulit yang lebih tipis, ujung datar, dan agak gosong dengan isi kacang hijau. Sebelumnya, bakpia generasi awal berkulit lebih tebal dan berbentuk bulat. Bakpia buatan Liem pun semakin digemari masyarakat Yogyakarta.
Tahun 1980-an, Bakpia Pathok 75 berada di masa jaya hingga membutuhkan banyak tenaga kerja yang sebagian besar adalah warga lokal setempat. Mulai era 1980-an inilah bakpia yang telah mengalami metamorfosis resep akhirnya menjadi makanan khas Yogyakarta.
Kawasan Pathuk, yang melingkupi Kampung Sanggrahan, Kampung Ngadiwinatan bagian utara, Kampung Ngampilan bagian utara, Kampung Purwodiningratan bagian utara, dan Kampung Pathuk bagian barat, dinobatkan sebagai kampung bakpia.
Sejak saat itu hingga sekarang penjualan bakpia selalu meroket dan cenderung stabil. Salah satu tujuan wisatawan yang berkunjung ke Jogja, ya mencoba bakpia. Sejarah panjang bakpia yang menjalani proses akulturasi budaya dan cita rasa akhirnya membawanya menjadi jajanan yang ikonik untuk Jogja.
Setelah sebelumnya Jogja identik dengan keraton, lalu juga dekat dengan kata angkringan, kemudian berkembang bahwa Jogja adalah rumahnya gudeg-gudeg otentik di Indonesia, sekarang Jogja juga identik dengan bakpia.
Daya tawar Jogja terhadap wisatawan memang luar biasa, tidak hanya jajanan saja namun juga wilayahnya yang dikenal romantic walau sekarang frasa ini diperdebatkan karena banyak orang terlalu meromantisasi Jogja. Namun apapun itu, Jogja tetap salah satu kota yang menarik dan patut untuk dikunjungi setidaknya sekali seumur hidup.
Walau fakta sejarah mengatakan bahwa bakpia merupakan makanan dari Cina dan bukan berasal dari Jogja, namun perkembangannya yang gila-gilaan di tanah Mataram membuat makanan mungil ini identik dengan Yogyakarta.
Di era sekarang-sekarang ini, menyebut kata Jogja sudah pasti bakpia berada di lima besar. Bakpia tidak hanya cocok untuk lidah orang Jogja, namun juga Indonesia. Rasanya yang manis ditambah dengan beberapa varian rasa yang beragam membuat bakpia diminati dan tetap relate dengan permintaan pasar.
Dengan begitu, bakpia memang sangat identik dengan Yogyakarta. Bakpia? Ya Yogya! (*/)