Food

JANGAN DATANG KE SEGO BERKAT SUMURBOTO JAM 9 PAGI, PASTI HABIS!

Enak, murah, cepat habis. Itulah Sego Berkat yang menjajakan makanannya di Sumurboto, Tembalang, Kota Semarang. Selalu ludes dihabiskan mahasiswa sebelum jam 9 pagi.

title

FROYONION.COM - Dikenal dengan nama Sego Berkat bukan karena wadahnya yang memakai baskom atau tempayan, seperti yang biasa digunakan masyarakat Jawa dalam tradisi Kenduri. Stand Sego Berkat ini menjual makanan mengenyangkan yang isiannya serupa nasi berkat. Menggunakan bungkus daun jati yang sudah dibersihkan, nasi berkat ini memiliki rasa dan aroma yang khas, terutama bagi pencuri makanan kenyang dengan harga terjangkau.

Sebelum kita bahas jauh spesialnya nasi berkat ini, perlu diketahui bahwa stand Sego Berkat ini baru mulai membuka lapak di Kota Semarang sekitar 3 tahun berjalan. Diprakarsai oleh Sutining dan anak-anaknya, Sego Berkat ini sudah siap menjamu orang-orang kelaparan sejak pukul 05.30 WIB dan pastinya jangan datang pukul 09.00 pagi. Bisa dipastikan bahwa sekitar pukul 09.00 porsi sego berkat sudah tidak lagi memuaskan, bahkan sudah ludes tak bersisa.

Dibandrol dengan harga mulai dari Rp10.000 per porsi, Sego Berkat ini memberikan aroma dan rasa khas Wonogiri, Jawa Tengah. Keluarga Sutining memang berasal dari kota yang terkenal dengan kesedapan aroma makanan itu, dan kini ia membawanya ke Semarang untuk ikut dirasakan masyarakat pesisir Jawa ini.

“Kala di Wonogiri nggak ada orang jual sego berkat, mas! Di sana mereka makanan kesehariannya ya menu-menu begini ini!” terang Sutining ketika dimintai keterangan soal tradisi makanan di Wonogiri.

Kronologi perbincangan dengan Sutining itu dimulai ketika aku mencoba membuktikan apakah benar pukul 09.00 WIB pada 29 April 2023 stand Sego Berkat akan tutup. Hal ini disebabkan pada tanggal tersebut mahasiswa masih belum banyak yang berdatangan ke Semarang. 

Mayoritas mahasiswa masih akan liburan hingga 1 Mei 2023. Namun, setelah mendatangi stand Sego Berkat pada pukul 07.30 WIB, saya sudah merasakan animo pembeli yang berusaha menghabiskan isian makanan yang dijajakannya.

Isian lengkap sego berkat ini adalah nasi putih, tumis daun pepaya, soun kecap (agak pedas), semur daging kental (biasanya dikasih satu sendok per porsi), ikan asin (yang lebih dikenal dengan nama gereh), dan sambal pedas pastinya. Pengunjung yang masih ingin menambah isian bisa memilih tempe bacem, telur bacem, mendoan, bakwan, botok teri, dan pepes. 

Ada pula gorengan yang menarik perhatian saya ketika melihat pilihan lauk dari sego berkat khas Sutining ini. Masyarakat Malang Raya menyebutnya sebagai mendol, sementara itu masyarakat Wonogiri menyebutnya menol. Gorengan ini umumnya disebut sebagai tempe (yang disengajai untuk) busuk.

Dari mendol dan menol kita dapat belajar kedekatan tradisi makanan masyarakat Malang Raya dan Wonogiri, utamanya melihat tradisi memasaknya. Menol yang berasal dari tempe busuk itu biasanya dijual di pasar sudah menghitam dengan aroma yang sudah masam. 

Namun, bagi masyarakat yang memakannya dipercaya bahwa makanan ini bisa dijadikan salah satu metode detoksifikasi. Ragi yang sudah berkembangbiak dan menguasai kedelai memiliki kemampuan layaknya bakteri baik yang memperlancar pencernaan, terutama bagi yang sembelit. Tentu saja hal ini membuat kesehatan pencernaan dapat terjaga bukan?

Selain menu gorengan bernama menol tersebut, kita juga bisa mengambil nilai-nilai tradisi yang lebih mendalam dalam konsep sego berkat yang diusung oleh Sutining ini. Kembali pada asal muasal sego berkat yang biasa disajikan sebagai bekal bawaan sehabis kenduri, isian dalam sego berkat mengandung filosofi kemasyarakatan yang mendalam.

Pertama, dari pencampuran isian yang ada, masyarakat Jawa menyerap sebuah keberagaman dalam kehidupan. Mereka yang hadir dalam sebuah kenduri akan selalu duduk melingkar, memenuhi ruangan yang disediakan, dengan duduk lesehan

Tidak ada satu pun yang lebih tinggi satu dengan yang lainnya. Bahkan, seorang pemuka agama yang memimpin acara doa bersama ketika kenduri pun tidak boleh duduk di kursi atau karpet yang berbeda, ia harus bersentuhan kaki, pakaian, dan perbincangan yang moderat. 

Apalagi, kalau hanya sekadar berpangkat di kantor atau memiliki kekayaan tertentu, mereka pun harus tetap duduk setara, sama rata dengan siapa saja di dalam lingkaran kenduri tersebut. Beragam, berbeda rasa isian dengan filosofi kesetaraan.

Kedua, tradisi kenduri yang pastinya akan diakhiri dengan makan sego berkat juga terkadang dilakukan bersamaan sebelum acara kenduri itu selesai. Mereka makan dalam satu nampan yang sama sambil berbincang ala kadarnya. Perbincangan ini adalah simbol yang dibawa sego berkat untuk mengumpulkan solidaritas kemasyarakatan. 

Mereka yang biasa sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, baik dalam pendidikan, perdagangan, ataupun perkantoran bisa saling berbagi cerita, membagikan nasihat, tanpa perlu memandang status sosial.

Cerita yang membawa nuansa tradisi dari sego berkat ini kemudian menjadi nilai spesial bagi stand yang didirikan Sutining dan anak-anaknya. Secara tidak langsung, mereka membawa filosofi itu ke dalam kehidupan masyarakat Kota Semarang. 

“Orang yang makan sego berkat ini dari berbagai kalangan, mas! Ada yang mahasiswa, ada yang naik mobil, kadang juga ada yang beli langsung banyak gitu!” terang Sutining. 

Apa yang diungkapkan Sutining itu menegaskan bahwa sego berkat yang dibawanya dari Wonogiri tersebut telah membuka filosofi kemasyarakatan, solidaritas, dan pluralisme, tanpa perlu mengadakan tradisi kenduri. Seolah, semua kalangan masyarakat yang membeli sego berkat itu telah khusyuk dalam sebuah kenduri yang bebas. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hamdan Mukafi

Selamanya penulis