Food

BERTANDANG KE SEMARANG TAK LENGKAP TANPA CONGYANG

Minuman beralkohol yang eksistensinya kokoh di ibukota Jawa Tengah ini memiliki cerita yang panjang, mari simak!

title

FROYONION.COM - Kita selama ini mengenal Semarang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah dengan berbagai pesona yang menarik perhatian banyak wisatawan domestik hingga internasional. Salah satunya di bidang kuliner. 

Kota Atlas ini kaya dengan varian kuliner hasil asimilasi 4 unsur kebudayaan yaitu Jawa, Tiongkok, Arab dan Belanda. Mulai dari lumpia, tahu bakso, bandeng presto, tahu gimbal, lontong spekkoek, wingko babat, sego koyor, pisang plenet, roti ganjel rel hingga Congyang.

Semua kuliner khas Semarang tersebut diterima dengan sepenuh hati oleh warganya, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada Congyang. Minuman yang diyakini memiliki khasiat meningkatkan keperkasaan kaum Adam ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat.

Minuman fermentasi dengan kadar alkohol 19,63 persen populer disebut Ceye, sebuah akronim dari “Congyang”. Meski tidak tertera tulisan Congyang di botol maupun di kemasan kardusnya saat ini, masyarakat lebih mengenal minuman ini dengan nama “Congyang” dibanding dengan nama Cap Tiga Orang yang dipatenkan sejak tahun 1985.

Tergolong dalam minuman beralkohol golongan B, Congyang terbuat dari hasil fermentasi beras, gula pasir, sepirit, perasa kopi moka, pewarna makanan, serta dilengkapi beberapa kandungan yang lain.

BACA JUGA: CIU BEKONANG, MIRAS LOKAL LEGENDARIS PENUH KONTROVERSI DARI SUKOHARJO

Keberadaan Congyang saat ini tidak lepas dari peran seorang tokoh bernama Koh Tiong, orang pertama yang menciptakan Congyang. Sekitar tahun 1980-an Koh Tiong mulai meracik dan menyebarluaskan Congyang di pasaran.

Salah satu penyebab Koh Tiong menciptakan minuman bernama Congyang ini, sebelumnya di Semarang sendiri sudah eksis minuman bernama A Djong. Minuman ini diciptakan oleh Khong A Djong yang handal dalam meracik obat-obatan tradisional lalu merambah ke minuman beralkohol yang sangat populer di kisaran tahun 1960-an hingga 1970-an, tetapi eksistensinya mulai redup di sekitar tahun 1980-an.

A Djong merupakan minuman beralkohol yang sangat digandrungi masyarakat Semarang maupun dari luar Semarang ketika bertandang ke kota ini sebelum adanya Congyang, memiliki kadar alkohol 35 persen. Jika seseorang berlebihan menenggak A Djong lalu mabuk akan disebut ndoyong ajong yang berarti mabuk A Djong.

Bertambahnya tahun A Djong kian ditinggalkan karena dirasa terlalu panas saat ditenggak di mulut, tenggorokan sampai perut. Rasanya yang seperti arak Cina lambat laun ditinggalkan masyarakat Semarang, lalu redup eksistensinya dan tak laku di pasaran.

Melihat A Djong yang telah kehilangan pasarnya, Koh Tiong mulai meracik dan menghantam pasar minuman di Semarang dengan Congyang. Minuman fermentasi ini pertama kali diproduksi di sebuah rumah sebelah klenteng Siu Hok Bio, jalan Wotgandul, kawasan pecinan Semarang.

Lama kelamaan Congyang semakin digandrungi masyarakat Semarang. Hal inilah yang menyebabkan Congyang diproduksi secara massal. Tetapi sekarang produksi Congyang dibatasi hanya 1.000 dus tiap harinya dan dalam satu dus berisi 24 botol.

BACA JUGA: 7 CARA MENGATASI ‘HANGOVER’ ATAU BASIAN BUAT LO YANG DOYAN MINUM

Dari awal diproduksi minuman ini telah mengantongi izin, tetapi baru menggunakan cukai resmi di kemasan pada tahun 2005. Kemudian di tahun 2010 Congyang resmi dilegalkan sebagai produk komoditi.

Saat ini Congyang diproduksi di daerah Kaligawe, Semarang dan distribusinya di sekitaran kota Semarang serta dijual secara daring di beberapa marketplace untuk mengobati rindu orang-orang terhadap minuman khas Semarang ini.

Satu botol Congyang dibandrol dengan kisaran harga dari Rp35 sampai 40 ribu, bisa menjadi jauh lebih mahal dari harga aslinya ketika dijual di tempat karaoke ataupun tempat hiburan malam lainnya.

Selain harganya yang relatif murah, citarasa Congyang dengan kenikmatan yang khas dan berbeda dari minuman beralkohol lainnya, maka Congyang wajib dicoba ketika sedang bertandang di Semarang, entah di siang atau malam hari sembari bercengkrama dengan warga sekitar di warung sederhana serta mengangkut beberapa dus untuk dibawa pulang. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Imam Luqman

Mahasiswa Sastra Indonesia tingkat akhir di salah satu kampus negeri di Surabaya, anggota masyarakat urban di Surabaya dan aktif di kesenian teater dan film pendek