Di peringatan Hari Bumi ini, Froyonion angkat satu sosok entrepreneur di bidang lingkungan yang udah lama terlibat sebagai tenaga ahli dalam pengelolaan sampah. Sekarang ia punya misi memperkenalkan ekonomi sirkular ke masyarakat Indonesia. Simak cuplikan wawancaranya di bawah ini, Civs!
FROYONION.COM - Memiliki kecintaan pada alam sejak masa sekolah, Zulfikar merasa terpanggil untuk melestarikan lingkungan. Begitu jadi mahasiswa pun ia mau kuliah di jurusan yang berhubungan dengan bumi dan lingkungan. Ia sempat gamang saat berhadapan dengan pilihan jurusan geologi atau teknik lingkungan. Dan ia putuskan memilih memasuki pilihan kedua di Institut Teknologi Bandung.
Buat Zulfikar, ada satu momen yang bikin dia nggak bisa mengabaikan masalah sampah di masyarakat Indonesia. Saat masih mahasiswa baru tahun 2005, ia disambut pemandangan yang nggak mengenakkan di berbagai sudut kota Bandung yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Sampah menumpuk di mana-mana, kenangnya.
“Ternyata itu gara-gara TPA Leuwigajah longsor dan memakan kurang lebih 100 korban jiwa karena mengubur 2 perkampungan,” ungkap Zulfikar saat diwawancarai froyonion.com secara virtual 7 April lalu tentang perjalanannya sebagai green entrepreneur hingga sekarang.
Tragedi lingkungan itu mengusik hatinya karena jurusan Teknik Lingkungan ITB yang ia baru aja masuki saat itu sebetulnya sudah berdiri sejak tahun 1960-an. Tapi sampai lebih dari 4 dekade kemudian, permasalahan sampah kok nggak selesai-selesai. Zulfikar berpikir ada yang perlu diperbaiki. Dan ia pun tergerak membuat perubahan.
Dalam tugas akhirnya, ia melibatkan diri dalam Greeneration Indonesia yang menjadi bibit dari Waste4Change. Begitu lulus ia diajak ikut dalam unit bisnis Greeneration dalam bentuk proyek-proyek skala kecil di tahun 2011-2012.
BACA JUGA: “TREN KREASI KARUNG GONI YANG RAMAH BUAT BUMI”
Dari sini, kiprahnya dalam dunia lingkungan dan manajemen sampah dimulai saat ia diamanati sebagai tenaga ahli dalam urusan penanganan sampah. Di samping itu, Zulfikar juga bikin beberapa bisnis yang semuanya masih berkaitan dengan upaya mengurangi dan mengatasi sampah.
Kalau ditanya bagaimana kondisi manajemen sampah di negara kita, menurutnya kondisinya masih jauh dari harapan dan standar minimal. Karena setidaknya, semua sampah yang dihasilkan masyarakat kita bisa dikelola secara 100%. Nggak ada yang terbuang, bocor, atau lolos ke lingkungan sekitar dan ditampung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Tapi kenyataannya cuma kurang 60% sampah yang berhasil dibawa ke TPA. Itupun cuma di kota-kota besar. Masih banyak sampah kita yang bocor ke lingkungan. Nggak heran kalau kita dinobatkan sebagai negara penghasil sampah plastik dan sampah makanan terbesar kedua di dunia,” terang pria yang kebetulan juga lahir di Hari Bumi 22 April ini.
Kalau lo amati ke sekeliling kita, lo menemukan budaya buang sampah sembarangan yang masih sangat kental di sebagian besar masyarakat kita. Menurut Zulfikar, pendidikan emang berpengaruh dan sangat disayangkan bahwa pendidikan kita masih berorientasi pada hapalan saja.
Bagi Zulfikar, budaya masyarakat Indonesia yang masih sering membuang sampah sembarangan bahkan di tempat-tempat umum adalah wujud nyata bentuk “gegar budaya” kita terhadap kemunculan plastik. Bahkan bangku dan lantai di sirkuit Mandalika tempo hari juga sempat dikabarkan ditebari sampah usai penonton masuk.
“Masyarakat kita kaget dengan perkembangan peradaban. Misalnya plastik nih. Keberadaan plastik sendiri belum ada 2 abad di muka bumi ini. Sebelumnya kita makan pakai daun, yang kalau dibuang di mana aja ya nggak masalah karena bakal terurai dengan sendirinya di alam,” ungkapannya.
Tapi begitu plastik muncul dan makin banyak dipakai, jumlah sampahnya makin banyak selain karena peningkatan populasi juga karena lamanya plastik terurai di alam bebas.
“Kita jadi kaget, karena ternyata plastik nggak bisa diperlakukan seperti daun. jadi harus banyak edukasi soal plastik,” tegasnya.
Pendidikan lingkungan menurut Zulfikar sih udah mulai diajarkan di sekolah bahkan jenjang SD. Kebanyakan intinya mengajarkan agar tidak membuang sampah sembarangan.
“Tapi mindset buang sampah ke tempat sampah aja sekarang udah nggak cocok sih karena kenyataannya (kapasitas -pen) tempat sampahnya terbatas dan TPA juga udah penuh. Petugas kebersihan kewalahan dan anggaran tak lagi cukup. Jadi mesti diubah ke mindset bagaimana sesedikit mungkin membuang sampah,” tuturnya.
Dan sebenarnya hal ini udah disadari oleh sebagian masyarakat Indonesia. Terbukti MUI (Majelis Ulama Indonesia) udah merilis fatwa no. 41 di tahun 2014 soal pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan. Begitu juga di Katolik sudah ada imbauan dari Paus soal upaya mengurangi sampah makanan pada umatnya. Saat kita membuang makanan, kita juga membuang manusia, tegur Paus Francis pada masyarakat luas.
BACA JUGA: “BAGAIMANA ‘GAMES’ MENCERMINKAN BUDAYA MASYARAKAT”
“Tapi kebudayaan dan budaya sehari-hari emang yang harus lebih didorong di masyarakat. Karena penegakannya kurang. Dari 2008 kita udah ada UU-nya. Di Aceh bahkan udah ada UU-nya dari 2003. Banyak pemda yang menyatakan denda finansial bagi mereka yang buang sampah sembarangan. Penindakannya makin banyak tapi belum membuat masyarakat jera. padahal di Singapura, masyarakat Indonesia juga bisa patuh dengan larangan buang sampah sembarangan. itu karena penegakan hukumnya lebih tegas.”
Penyediaan tempat sampah yang proper juga sebetulnya minimal ada 3 jenis: sampah membusuk, sampah daur ulang, dan sampah jenis lainnya. Bahkan di sebagian kantor pemerintah bisa ada 2 jenis tambahan: sampah guna ulang dan sampah berbahaya. Dari aturan negara sendiri, dari tahun 2012 udah ada pembagian sampah menjadi 5 jenis ini.
“Fakta bahwa ini (pencampuran sampah yang udah dipilah - pen) sering dijadikan pertanyaan dan dijadikan pembelaan juga nggak bisa dibiarkan gitu aja. Karena jika warga sudah memilah sampah mereka, petugas juga biasanya nggak mencampurnya dan tetap mengangkut secara terpisah,“ terang Zulfikar.
Kemunculan sejumlah pihak swasta yang sekarang juga turut mengurusi masalah manajemen sampah, menurutnya wajar saja sebab mereka tergerak ingin menangkap peluang yang ada. Apalagi juga udah ada masyarakat yang rela bayar untuk penanganan sampah mereka,” terangnya.
Tantangannya adalah biaya pengangkutan dan penanganan sampah ini masih belum seragam di seluruh Indonesia. Hal lain yang masih menjadi kendala ialah masyarakat masih dimanjakan dan terbiasa membayar murah atau bahkan terbiasa gratis untuk merusak lingkungan. Padahal prinsipnya para pembuang sampah juga wajib mau memperbaiki dan menangani sampah ini dengan semestinya.
Untuk mengubah kebiasaan membuang dan membakar sampah sembarangan sebagaimana yang kita lazim temui di sekitar kita sekarang, kata Zulfikar memang mesti harus ada aturan yang tegas. Dengan membuat aturan hukum yang jelas dan penegakannya juga tegas, kita bisa mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik sehingga tak perlu harus mengalami bencana dahulu. Tanpa aturan, bisa saja pola pikir dan perilaku masyarakat terhadap sampah berubah tapi harus terjadi musibah atau bencana parah dulu agar tercapai kesadaran untuk berubah.
BACA JUGA: “SAMPAH BERSERAKAN DI MANDALIKA, TEMPAT SAMPAH KURANG BANYAK APA EMANG KEBIASAAN?”
Contoh bencana sampah yang terjadi dan seharusnya bisa mengubah perilaku kita soal sampah ialah pembakaran sampah plastik di sebuah desa yang kemudian asapnya menyebar ke lingkungan sekitarnya dan mencemari telur ayam di peternakan di dekatnya. Telur-telur ini mengandung bahan-bahan beracun seperti dioksin yang bisa membahayakan manusia jika dikonsumsi. Kasus ini bahkan sudah diteliti LSM, diketahui pemerintah dan telah diberitakan oleh media asing seperti New York Times.
Selain pembuatan aturan soal sampah, Zulfikar mengatakan cara lain ialah dengan memberikan edukasi bagi masyarakat. Tapi edukasi soal isu yang dampaknya jangka panjang dan nggak terasa langsung bakal butuh waktu panjang dan di sinilah aturan mesti ada untuk mencegah jangan sampai bencana terjadi.
BACA JUGA: ““VERT TERRE”: JENAMA LOKAL RAMAH BUMI DARI YOGYAKARTA”
Ekonomi dan peradaban saat ini masih bersifat linear, yang artinya produsen mengekstrak bahan dari alam lalu menjualnya ke konsumen dan begitu barang sudah habis pakai, dibiarkan menumpuk begitu saja menjadi sampah yang tak bisa digunakan sebagai bahan baku oleh produsennya.
Dalam ekonomi sirkular, terang Zulfikar, kita tak perlu mengambil bahan baku dari alam. Kalaupun mengambil dari alam juga seminimal mungkin sehingga sumber daya alam sesedikit mungkin.
Agar kita bisa berpindah dari ekonomi linear yang nggak sustainable ke ekonomi sirkular yang lebih sustainable buat bumi ini, diperlukan peran aktif dari para pelaku industri kreatif dan ekonomi kreatif. Dengan kreativitas mereka, kita bisa lebih efisien dan hemat dalam mengolah sumber daya alam yang tersisa dan mengolah bahan yang sudah ada agar terpakai secara optimal dan bisa dipakai lagi untuk siklus produksi berikutnya. Jadi sebisa mungkin tidak ada sampah yang tercipta, yang bisa merusak dan membebani lingkungan.
Buat masyarakat awam, membicarakan ekonomi sirkular membuat kita jadi inget prinsip daur ulang (recycle) yang kita kenal selama ini. Tapi menurut Zulfikar, recycle begini memicu penurunan kualitas bahan sehingga lebih tepat dinamai “downcycle”. Misalnya aja bahan PVC yang didaur ulang kemudian akan mengalami penurunan mutu dalam hal kekuatannya. Sehingga tak sekuat dan tahan lama PVC yang murni dihasilkan dari minyak bumi. Jadi dalam ekonomi sirkular, justru daur ulang ini dihindari.
“Yang lebih didorong dalam ekonomi sirkular adalah produksi barang-barang yang bisa digunakan ulang jadi perlu ada perubahan model bisnis,” ujarnya.
Sebagai contoh ialah apa yang mulai diterapkan produsen lampu Philips. Mereka mulai mengubah model bisnis, dari yang produsen lampu menjadi penjual jasa lampu dan penerangan. Mereka menerapkan biaya berlangganan untuk penerangan rumah tangga. Sehingga saat lampu rusak, kita akan dapat ganti langsung dari mereka dan Philips menangani lampu yang rusak dan menghindari degradasi bahan lampu yang masih bagus dan bisa dipakai ulang setelah perbaikan seperlunya. Dengan begini, sampah lampu juga nggak mesti lewat rantai yang panjang dan bisa langsung digunakan lagi.
Ekonomi sirkular ini menaungi banyak konsep lain seperti konsep recycle, zero waste, dan sebagainya. Jika ini semua bisa direalisasikan barulah bisa tercapai ekonomi sirkular. Sementara itu, green business adalah semua jenis bisnis yang berupaya untuk memfasilitasi proses ekonomi sirkular.
Di Indonesia ekonomi sirkular ini masih dalam tahap perkenalan. Mereka yang mempelajari ekonomi sirkular ini masih perlu waktu untuk bisa mencapainya karena jalan menuju terwujudnya ekonomi sirkular juga nggak cuma satu atau dua tapi banyak sekali. Bisa dari perubahan model bisnis, perubahan material, perubahan proses produksi, dan sebagainya. Maka dari itu, jalan menuju penerapan ekonomi sirkular di negara ini masih sangat panjang.
Meski demikian, udah ada sejumlah upaya nyata untuk merintis jalan ke ekonomi sirkular di tengah masyarakat kita. Misalnya startup-startup yang ada di bawah naungan Enviu, yang fokus pada penyediaan produk yang bisa dipakai sebanyak mungkin.
Yang paling mudah saat ini adalah membuat produk untuk lebih menerapkan prinsip ekonomi sirkular. Barulah bisa secara bertahap merevolusi industri menjadi menjiwai prinsip ini.
Harapan mereka yang menekuni ekonomi sirkular ini termasuk Zulfikar ke depan ialah hingga tahun 2025 sudah tercapai sustainabilitas yang lebih baik dengan mengumpulkan dan mendaur ulang lebih banyak kemasan dari yang mereka pakai. Mereka juga memikirkan agar lebih banyak kemasan produk yang dipakai sehari-hari bisa didesain agar bisa didaur ulang atau lebih baik lagi bisa dikompos.
Tapi sustainabilitas ini bukan tujuan akhir, kata Zulfikar. Setidaknya kita bisa mempertahankan kondisi alam kita di kondisi saat ini, nggak makin menurun dan memburuk. Kalau lebih ideal lagi, justru kita bisa meregenerasi alam ini sehingga kita bisa meninggalkan bumi yang lebih baik untuk dihuni anak cucu kita.
Untuk mulai ikut dalam menjaga kelestarian bumi melalui ekonomi sirkular, Zulfikar menyarankan beberapa langkah nyata.
Pertama, kita mesti menyadari dulu dampak perilaku kita sehari-hari terhadap alam. Kita bisa ukur dampak lingkungan pola hidup kita sehari-hari ini dengan memakai kalkulator yang tersedia secara online. Kalkulator ini memberitahu kita hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menebus ‘dosa-dosa’ kita terhadap lingkungan.
Misalnya jika kita terbiasa jajan dalam bentuk produk yang kemasannya nggak bisa didaur ulang, kita mulai beralih ke makanan yang tersedia di pasar tradisional atau tetangga di dekat kita dan bahan bakunya juga lebih baik dari daerah sekitar. Dengan begitu kita bisa belanja dengan membawa kemasan kita sendiri yang bisa dipakai berulang kali dan dicuci, bukan kemasan sekali pakai yang membikin sampah makin membebani bumi. Plus pencemaran bisa ditekan karena emisi karbon bisa diturunkan saat kita belanja produk lokal.
Kita juga perlu membangkitkan kesadaran di tengah lingkungan sekitar mengenai perlunya menerapkan pola hidup yang lebih ramah lingkungan sehingga perubahan yang lebih besar akan terjadi. (*/)
BACA JUGA: “DERE “RUMAH”: URGENSI MERAWAT BUMI AGAR TETAP ASRI”