Saat jadi pembicara di Ideafest 2022 kemarin, Takashi Murakami membeberkan opininya tentang problem yang sering ditemui seniman muda. Yuk simak selengkapnya!
FROYONION.COM - Pagelaran Ideafest 2022 resmi diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada tanggal 25 – 27 November kemarin, Civs. Salah satu headliner mancanegara yang jadi pembicara adalah Takashi Murakami, seniman kontemporer Jepang yang terkenal berkat karya ikoniknya, yaitu Mr. DOB dan Murakami’s Flower.
Buat lo yang punya ketertarikan sama seni, sosok Takashi ini jadi salah satu seniman yang tentunya nggak mungkin lo lewatkan begitu aja, Civs. Doi merupakan salah satu pionir pop art dan pemadu unsur post-modern Jepang pada karyanya.
Doi seringkali berkolaborasi dengan artis-artis mancanegara, contohnya dengan Billie Eilish, Post Malone, dan Kanye West. Takashi Murakami juga beberapa kali bekerja sama dengan sederet brand kenamaan dunia seperti Louis Vuitton, Casio G-Shock, Vault by Vans, dan COMME des GARÇONS.
Art style yang doi kembangkan adalah superflat, yang menggabungkan seni lukis tradisional, hingga subkultur kontemporer hingga pasca perang dunia kedua.
Kreasinya Takashi Murakami juga seringkali dideskripsikan sebagai cute, psychedelic, atau satirical, Civs. Murakami’s Flower, contohnya, tercipta ketika doi masih menempuh pendidikan di Tokyo University of the Arts. Saat itu unsur iklim Jepang sangat menginspirasi seniman di sana. Misalnya simbolisme snowflakes dari musim dingin, dan flower untuk musim semi.
BACA JUGA: COMPUTATIONAL THINKING: CARA MEMECAHKAN MASALAH SECARA EFEKTIF BUAT ANAK MUDA KREATIF
Saat jadi pembicara di Ideafest 2022 kemarin, Takashi Murakami juga sempat membahas tentang perbedaan seniman yang ‘real’ dan yang bukan, Civs. Kasarnya, bagi Takashi, seniman itu harus ‘miskin’ secara finansial.
Di era sekarang, segala informasi dan referensi bisa lo dapatkan dengan mudah, masalah keuangan bukan lagi jadi penghalang untuk lo berkarya, terutama bagi para seniman muda.
“Kemiskinan adalah ‘mesin penggerak’ untuk mengubah dunia [konteks seni]. Untuk itu, [seniman] harus ‘miskin’,” jelas Takashi Murakami.
Opininya ini memang nggak bisa lo telan mentah-mentah, Civs. Di sisi positifnya, seniman dengan ‘batasan’ tertentu–baik dari sisi keuangan ataupun faktor lainnya–membuat seniman tersebut nggak punya banyak pilihan, yang artinya, seniman itu harus bekerja secara maksimal dengan memanfaatkan resource yang ada.
Di sisi lain, seniman yang mengaku ‘nggak punya duit’ atau ‘nggak punya resource’ untuk berkarya, maka bisa dipastikan bahwa orang itu bukanlah seniman yang sesungguhnya.
Takashi mengambil Jepang sebagai contoh. Menurutnya, Jepang termasuk negara yang ‘super bad’ dari segi fundraising ataupun penganggaran bagi sektor seni.
Namun, seperti yang lo lihat di media sosial dan internet secara luas, orang-orang Jepang senang berkreasi dan menciptakan karya seni, mulai dari industri game, industri anime / manga, dan industri serupa lainnya.
Kondisi keuangan yang kurang mendukung itu nggak jadi alasan bagi orang-orang Jepang untuk berhenti berkarya dan menemukan orisinalitas pada karyanya masing-masing.
Sedikit kilas balik, Takashi Murakami mengklaim bahwa dirinya terlahir di keluarga yang memiliki tingkat finansial yang kurang baik. Kondisi itu menuntutnya supaya bisa mengandalkan potensi yang dimilikinya sembari memaksimalkan resource yang seadanya.
Takashi Murakami juga sempat mengalami kondisi keuangan yang sulit di tahun 2020, tepatnya saat pandemi baru muncul. Galeri seni dan perusahaan yang dimilikinya, yaitu Kaikai Kiki sempat menghadapi ancaman kebangkrutan. Tetapi bersyukurnya, Takashi dan timnya bisa bounce back, galeri Kaikai Kiki pun masih menyelenggarakan pameran atau eksibisi hingga tahun 2022 ini.
“Di tempat saya, ada training untuk para seniman muda. Training-nya yaitu [seniman muda] harus menjaga kesabaran untuk waktu yang cukup lama. Zaman sekarang, kebanyakan anak muda ingin memiliki skill baru dengan cepat, saya harus bilang cara ini nggak natural. Butuh waktu berhari-hari, atau bertahun-tahun. Mereka harus mempertahankan kesabaran dengan waktu yang lama untuk membuat karya baru,” ujar Takashi Murakami.
Lebih lanjut, ketika lo udah mendapatkan skill baru, lo harus mempertahankan tingkat kesabaran yang sama seperti saat lo sedang memelajari skill itu.
“Ketika saya sedang dalam studi [kuliah] untuk melukis, setiap hari saya bisa menghabiskan waktu lebih dari 16 jam untuk mengerjakan lukisan. Ketika saya bangun dan mau tidur, semua yang ada di dekat saya adalah lukisan,” tambahnya.
Takashi Murakami menjalani kegiatan ini berulang-ulang selama bertahun-tahun. Baginya, waktu sedikit apapun harus dimanfaatkan untuk menciptakan sesuatu. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang ini yang nantinya bakal membuahkan hasil positif di kemudian hari. Kesabaran ini yang seharusnya dimiliki para seniman muda, jangan selalu berpatokan pada hasil yang instan, sedangkan lo nggak mau berkorban waktu dan tenaga selama prosesnya.
“Time management itu sangat penting. Saya bisa nggak dapat uang kalau melukis kelamaan, karena itu artinya saya tidak profesional,” tutup Takashi Murakami.
Gue yakin pasti lo pernah mendengar berita bahwa jadwal kereta di Jepang selalu tepat waktu alias nggak pernah telat. Ini jadi salah satu contoh bahwa ‘waktu’ jadi hal yang esensial bagi orang-orang Jepang, termasuk bagi Takashi.
So, menjadi seorang seniman yang bisa menghasilkan karya yang diapresiasi dan diakui banyak orang emang nggak bisa instan, Civs. Di balik nama besar Takashi, udah pasti ada kerja keras yang nggak banyak dilihat orang.
Nah, untuk lo yang sekarang masih jadi aspiring artist, jangan pernah berhenti bersabar dan percaya dengan proses yak! Karena buah kesabaran itu bakal bisa lo petik di masa depan kok~ (*/)
BACA JUGA: IDEAFEST 2022: PEGIAT INDUSTRI KREATIF WAJIB BANGET DATENG KE ACARA INI