Mural banyak dibicarakan belakang ini karena dianggap ekspresi seni yang anti status quo. Di balik semua kontroversi itu, mural juga bisa menghidupi di masa pandemi.
FROYONION.COM - Dalam dunia kreatif, seniman atau kreator sering tidak bisa menjelaskan alasan mengapa ia memilih suatu bidang seni tertentu. Tidak ada penjelasan logis di balik pilihannya. Ia hanya memiliki sebuah ‘panggilan’ dan terdorong untuk memenuhinya.
Begitu juga yang dirasakan oleh Arthur, seorang pemural di balik @jakarta_mural, yang sudah berkecimpung di dunia mural sejak 10 tahun lalu.
“Saya sendiri nggak kepikiran jadi pemural dulu. Tapi saya terus ‘terpanggil’ oleh mural dan berulang kali panggilan itu datang hingga akhirnya menjadi profesi saya sampai sekarang,” tutur pria yang sebelumnya kuliah di jurusan Seni Rupa di sebuah kampus di Jakarta tetapi tidak sempat menamatkan pendidikan formalnya itu.
Dari pengalaman, Arthur mengatakan bahwa ada dua cara untuk mempelajari keterampilan dan seni membuat mural.
“Kalau mau belajar skills mural, tinggal cari aja temen yang lebih jago dan belajar dari dia. Atau bisa juga hire orang yang lebih jago dari kita. Saya sendiri menemukan bahwa saya belajar mural kebanyakan dari lapangan. Bukan dari kuliah yang saya jalani dulu,” terang Arthur yang aktif dalam komunitas Jakarta Mural sebagai koordinator.
Menjadi bagian dari sebuah komunitas juga menjadi cara yang efektif untuk belajar karena dalam lingkaran pertemanan tersebut, seniman-seniman mural yang tergabung bisa terus-menerus belajar dari rekan mereka dan memperkaya pengetahuan.
Sebagai pemural komersial, Arthur memahami sepenuhnya bahwa diperlukan kemampuan yang beragam untuk mengakomodasi semua gaya lukis yang diinginkan klien. Dalam menggarap tawaran proyek mural, ia menggandeng sejumlah teman yang bertalenta serupa dari komunitasnya tersebut.
Meskipun mengaku menekuni pembuatan mural komersial, Arthur tidak meninggalkan panggilan jiwanya sebagai seniman yang penuh dengan idealisme.
“Setiap seniman pasti memiliki imajinasinya sendiri dan itu cuma bisa disalurkan ke karya lukis idealis,” ujar Arthur yang berjiwa pemberontak saat mahasiswa ini.
Lansekap seni mural Indonesia saat ini seperti banyak bidang seni lainnya juga sempat terkena dampak pandemi. Permintaan pembuatan mural masih tetap mengalir meski PPKM diberlakukan. Namun, ia mengaku memang harus membatasi permintaan yang bisa dilayani mengingat situasi pandemi.
“Jadi kita berupaya agar seimbang aja. Yang penting cukup untuk berkegiatan selama sebulan. Nggak berusaha jadi overproduktif juga.”
Proses komersial pembuatan mural, urai Arthur, bermula dari survei untuk mengukur ukuran dinding, brainstorming konsep ide dari pemilik, buat penawaran harga, proses desain digitalnya, dan begitu disetujui barulah dieksekusi di lapangan. Sedangkan proses pengerjaan sebuah karya mural bisa 3-7 hari, bervariasi bergantung pada luasnya dinding dan kompleksitas desain.
Sebuah lukisan bisa digarap oleh satu pemural atau lebih. Jika muralnya hitam putih (kategori minimalis), Arthur mengatakan cukup dikerjakan 1 orang pemural dalam 3 hari.
Khusus untuk klien korporat, Arthur menandaskan pihaknya memberikan penawaran lebih tinggi karena beberapa faktor. Salah satunya ialah kerumitan dalam proses campur warna.
“Ada klien yang mengharuskan pemilihan warna mural yang akurat. Kalau salah warna, harus diganti. Jadi pilih warna itu nggak bisa asal-asalan. Harus dipastikan dulu warnanya tepat baru bisa dicatkan ke dinding.”
Konsekuensi jika teledor soal warna tidak bisa disepelekan. Jika kesalahan terjadi, waktu pengerjaan bisa molor, tenaga juga habis, dan biaya pun pasti melejit.
Sebelum melukis sebuah mural, Arthur biasanya menanyakan beberapa hal pada klien. Misalnya, tujuan pembuatan mural.
“Apakah untuk keindahan atau untuk tujuan lain. Misalnya kalau perusahaan, bisa saja visi dan misi diwujudkan dalam bentuk gambar mural. Di rumah sebuah klien yang relijius, bisa saja ia diminta membuat mural yang mengandung puja-puji pada Tuhan. Kami sebagai pemural berusaha menerjemahkan kisah dari si pemilik dinding dalam bentuk mural.”
[caption id="attachment_236" align="aligncenter" width="2560"]
Layaknya bidang profesi lain, pekerjaan sebagai pemural juga memiliki tantangannya sendiri. Arthur mengaku pernah harus bekerja di tengah lokasi yang kurang kondusif untuk pengerjaan mural, ucapnya. Lokasinya berdebu dan ditambah harus bekerja bersama dengan para pekerja bangunan yang berbagi lokasi kerja. Bisa rebutan posisi kerja, tuturnya.
“Kita melukis di atas gedung setinggi 30 meter, pakai gondola,” ungkapnya. Risiko pengerjaan mural di lokasi tinggi juga tidak bisa dianggap enteng.
Ia juga secara jujur mengakui duka sebagai pemural ialah urusan pelunasan pembayaran hasil jerih payah mereka setelah mural selesai dikerjakan. Kadang ia bisa sampai menerima pembayaran lunas 3 bulan setelah proyek dikerjakan. Ini tentu sangat berpengaruh pada keuangan pemural yang membutuhkan pemasukan untuk menopang biaya hidup.
Arthur mengatakan dirinya termasuk seniman yang selalu ingin belajar dan mencari tahu perkembangan dunia mural terkini.
“Kalau saya sudah ke tahap riset. Di kampung halaman saya (Sumut), saya meneliti mural nenek moyang saya sendiri yang orang Batak. Seribu tahun lalu rumah-rumah Batak juga sudah punya mural,” ucapnya. Selain Batak, Bali dan beberapa daerah lain juga tercatat memiliki sejarah mural yang sayangnya belum begitu banyak diangkat.
Sejarah mural lokal ini yang belum diketahui banyak orang Indonesia sendiri. Di belahan dunia lain, mural memang sudah ada sejak 30.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Karya mural pertama yang dianggap tertua dalam sejarah ialah mural di Gua Chauvet di Perancis, kemudian juga ada mural di makam Mesir yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 3150 SM.
Ditanya mengenai gaya mural yang paling banyak diminati orang saat ini, Arthur menjawab bahwa gaya natural tropikal menjadi tema yang paling populer.
“Gaya natural tropikal ini memiliki ciri khas flora fauna, seperti daun-daunan, burung-burung. Ini dikarenakan di ibukota sudah hingar bingar dan melihat lukisan bertema itu menjadi sebuah terapi visual bagi mereka.”
Melukis mural selain menjadi cara mencari nafkah juga bisa menjadi cara berekspresi bagi pelukis. Dalam kelompok pelaku seni rupa sendiri ada kategori-kategori berbeda. Ada yang profesi, ada yang idealisme atau kritik sosial, ada juga yang seni amatir.
Menanggapi penggunaan mural sebagai salah satu cara menyalurkan aktivisme sosial politik di masyarakat saat pandemi ini, Arthur mengatakan itu adalah bentuk ekspresi pemural sebagai kritik atau perlawanan. Ia memaklumi bahwa hal itu bisa terjadi karena masyarakat semakin membutuhkan bantuan, pelayanan dan pengayoman dari pemerintah.
Dampak pandemi ini begitu luas di masyarakat kita dan mural menjadi salah satu jalan mengekspresikan itu tanpa harus berdemonstrasi atau unjuk rasa yang bisa memicu penularan Covid-19. Ia juga mengamati adanya kompetisi mural yang memberikan hadiah bagi pemural yang karyanya paling cepat dihapus aparat.
Menurut Arthur, sensitivitas yang berlebihan pihak penegak hukum terhadap satu karya yang bernada kritik yang bahkan sampai harus diburu habis-habisan itu justru malah ‘mengobarkan api’ perlawanan di antara kelompok muralis yang memiliki misi kritik sosial tersebut. Dan bisa jadi pemural-pemural amatir juga ikut bergabung sehingga gelombang perlawanan terasa makin membesar.
“Tapi kalau kita (pemural -pen) melawan balik pun di saat sekarang, energi kita habis untuk melawan pemerintah. Sementara pemerintah juga sedang sibuk bekerja menghadapi pandemi. Bagi saya seorang pemural yang melihat segalanya harus indah, membuat mural pun harusnya membangkitkan semangat positif dalam hidup.”
Alih-alih kita menghabiskan tenaga untuk membuat mural-mural yang melawan pemerintah, Arthur meyakinkan bahwa alangkah bijaknya mengarahkan tenaga dan pikiran kita untuk membantu masyarakat yang sedang kesusahan saat ini.
Berminat menekuni profesi pemural komersial? Jangan asal. Arthur punya beberapa nasihat untuk Civs yang tertarik menekuni dunia mural.
“Sebelum menekuni mural, kita harus tidak asal membuat mural tapi juga melihat mural sebagai pekerjaan budaya yang berguna bagi banyak pihak, dari pemiliknya dan masyarakat umum serta semua kelas,” terang Arthur yang mengatakan modalnya memulai hanyalah kuas dan alas untuk dipakai melindungi permukaan lantai saat melukis.
Lebih lanjut, Arthur meyakini industri mural tanah air makin subur dengan bermunculannya pemural baru sehingga seorang pemural sebaiknya tak berhenti mengembangkan dirinya. Justru tuntutan terbesar bagi seorang pemural ialah terus mengembangkan wawasan dan pengetahuan.
Soft skills lainnya yang tak kalah penting untuk seorang pemural ialah karakter, perilaku, komitmen, disiplin diri, dan sikap seorang individu. Dan semua ini tidak diajarkan di ruang-ruang kelas atau kuliah manapun. (*/Akhlis)