Tuhu Nugraha, seorang Metaverse Expert membagikan pandangannya terkait pentingnya jadi early adopter dan narasi yang dibawa storyteller dalam pengembangan Metaverse. Mari simak, Civs!
FROYONION.COM - Dalam era digital, manusia dituntut untuk bertransformasi menjadi makhluk yang lebih adaptif. Hampir semua orang berlomba-lomba untuk menjadi lebih ‘maju’ dan memahami teknologi baru dengan lebih baik.
Kemudian sebagai dampak dari meluasnya digitalisasi, istilah early adopters jadi makin dikenal dan dipraktekkan secara luas oleh masyarakat dunia, Civs. Tujuan early adopters adalah untuk ‘mencuri start’ dalam mencoba memahami sebuah teknologi baru ketimbang kebanyakan orang pada umumnya, salah satunya adalah teknologi Metaverse.
Tuhu Nugraha, seorang postgraduate lecturer di salah satu kampus PR ternama Jakarta sekaligus figur yang sudah berkecimpung di ranah digital marketing selama bertahun-tahun memilih untuk melakukan shifting skill dan menjadi early adopter yang berfokus di ranah Metaverse. Bahkan dirinya pun telah menyelesaikan sertifikasi sebagai Metaverse Expert di Blockchain Council, Amerika.
Dari hal ini, kemudian muncul pertanyaan kepada Tuhu; Apa urgensi untuk jadi early adopter? Dan kenapa harus Metaverse?
Semuanya berawal pada akhir tahun 2021, tepatnya saat masyarakat dunia lagi FOMO banget soal Metaverse. Tuhu menyadari bahwa interaksi sosial antarmanusia akan berevolusi lewat teknologi yang satu ini.
Untuk itu, Ia merasa harus segera mengambil peran. Ia memiliki aspirasi untuk jadi orang pertama yang ‘menjejakkan kaki’ dan menggali ilmu lebih banyak dan lebih dalam tentang Metaverse.
“Gue harus pasang kavling, gue harus segera masuk,” jelas Tuhu.
Istilah ‘kavling’ yang digunakan Tuhu dapat berarti bahwa sebagai early adopter, dirinya harus memastikan bahwa posisinya sudah ‘mantap’ ketika interaksi sosial dan kehidupan manusia perlahan mulai bertransformasi dan berevolusi berkat Metaverse.
“Gue mengerjakan sesuatu yang ada di depan gue sekarang, tapi gue harus mikirin 5 tahun ke depan gue masih relevan atau nggak. Sebelum [karier] yang sekarang beneran turun, gue harus punya ‘hentakan’ yang baru,” tambahnya.
Menurutnya, manusia di era digital harus lebih agile dan adaptif. Terutama bagi generasi muda, harus jadi lebih tangkas dan lincah. Ia menambahkan bahwa kita harus ‘cepat masuk sebelum [orang] lain ikutan masuk’, menggambarkan situasi yang normalnya dilakukan para early adopters.
Kalau dilihat-lihat, jadi seorang early adopter dalam banyak hal–nggak cuma soal Metaverse – punya banyak keuntungan buat kita, Civs.
Tuhu misalnya, memanfaatkan LinkedIn sebagai platform utamanya dalam memperkuat personal branding serta mencari peluang kerja sama dengan pihak-pihak yang terjun langsung di Metaverse. Lebih lanjut, dirinya menilai Indonesia punya potensi yang besar banget terkait pengembangan Metaverse, Civs.
“Metaverse memang masih jauh, tapi kita harus siap-siap. Gue nggak mau kita jadi konsumen terus, kita bisa jadi produsen, makanya harus punya visi atau pandangan 5 tahun, 10 tahun ke depan,” jelas Tuhu.
Menoleh ke belakang dari apa yang disampaikan Tuhu, gue pun setuju bahwa kebanyakan dari kita – masyarakat Indonesia – cuma bisa melihat apa yang tersaji di depan mata kita hanya untuk detik ini, hari ini.
Untuk masa depan, kita terlalu sering bergantung pada takdir yang memang sudah dituliskan oleh Tuhan tanpa ada effort lebih. Inilah yang membuat kita sulit mengadopsi teknologi baru, semata-mata karena kita menolak untuk menggali lebih dalam dan punya rasa penasaran akan hal-hal macam Metaverse ini.
BACA JUGA: INI YANG HARUS LO TAU JIKA INDONESIA MEMBANGUN SEKOLAH METAVERSE
Ada banyak hal yang ada di dunia nyata yang nggak berani untuk lo lakukan tapi lo berani explore dan coba di dunia virtual. Misalnya lo nggak mau pakai baju pink, atau lo nggak mau pakai tattoo di dunia nyata, tapi hal-hal ini bisa lo lakukan dengan mudah di dunia virtual.
Bagi Tuhu, gamifikasi dan storytelling jadi komponen penting yang bisa membangun masa depan, terutama lewat teknologi Metaverse ini, Civs.
“Gimana orang mau membeli [sesuatu] itu adalah based on perception. Gimana lo bisa membentuk citra bahwa sesuatu itu langka dan valuable buat orang lain,” jelas Tuhu.
Tuhu menambahkan bahwa storyteller dan narasi yang dibawanya menjadi penting di era digital.
“Banyak hal yang nggak bisa diciptakan ada di dunia nyata tapi bisa diciptakan di dunia virtual. Dalam konteks pekerjaan (di dunia virtual), kenapa nggak bikin meeting hall yang melayang di awan misalnya? Experience ini yang akan ‘dibeli’ oleh generasi muda yang nggak bisa melakukan ini di dunia nyata,” tambahnya.
Perubahan-perubahan yang dibawa oleh narasi seorang storyteller ini pun harus dilakukan secara gradual. Mudahnya, ketika manusia ingin ‘berubah’, perubahannya harus dilakukan secara perlahan.
“Dalam storytelling, harus ada sesuatu yang familiar dan baru di waktu yang bersamaan. Contohnya, mobil berbasis mesin di awal abad 20 bentuknya kayak kereta kuda, tujuannya agar lebih familiar dengan orang-orang di zaman itu, ini kayak kereta kuda tapi dengan mesin,” jelas Tuhu.
Terlebih, untuk masuk di era Metaverse, ada kondisi-kondisi yang harus disiapkan para pemegang kendali/stakeholders. Contohnya adalah dukungan infrastruktur; koneksi internet harus 5G, minimal 60% dari total populasi. Lalu kacamata VR dengan harga yang terjangkau. Karena seperti yang lo tahu, kacamata VR masih mahal dan belum bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah, Civs.
Tuhu berpandangan, terkait Metaverse, kita boleh jadi idealis tapi tetap harus realistis. Menurutnya, Metaverse itu masih belum ada. Kita lagi ada di fase transisi, dan jalan menuju perwujudan Metaverse yang hakiki itu masih dipahat sama seluruh stakeholders di seluruh dunia.
“Timing dan adoption itu krusial. Manusia nggak bisa langsung ‘melompat’ dari level 1 ke level 5, ekosistemnya harus dibentuk dulu,” terangnya.
Ia mencontohkan bahwa dulu ada salah satu pengembang properti ternama Indonesia yang pernah coba bikin e-commerce di awal tahun 2000-an, tepatnya saat internet aja masih dial-up. Alhasil, karena ekosistem pengembangan e-commerce belum siap dan belum banyak penggunanya, akhirnya platform itu pun bubar.
Fenomena ini dianggapnya jadi salah satu di antara banyak fenomena yang dibangun berdasarkan asumsi bahwa hal baru yang diciptakan itu udah pasti dapat menggaet banyak perhatian. Padahal, belum tentu evolusi itu berhasil apalagi kalau nggak dilakukan secara gradual, kayak yang udah dijelaskannya di atas.
Tuhu bilang bahwa perwujudan yang sesungguhnya dari Metaverse baru akan ada 5 hingga 10 tahun lagi. Dunia memang belum siap untuk itu sekarang.
Nggak cuma menyoal infrastruktur, teknis interaksi yang terjadi di dalam Metaverse juga bisa bikin pusing. Contohnya, di Metaverse, seseorang bisa membeli barang dari orang lain tanpa perlu intermediary.
Dilihat sekilas mungkin cukup praktis, Civs. Tapi siapa yang akan melindungi transaksi ini? Sistem governance baru selain negara? Kalau ada fraud, ke mana kita bisa mengadu? Siapa juga yang mau melindungi?
“Gue setuju kita harus bersiap dan mulai dari sekarang. Tapi kita harus tetap realistis, tau mulainya dari mana karena teknologi kita belum bisa sampai ke situ [Metaverse]. Proses transisinya yang menarik, bagaimana tiap company atau startup melakukan pendekatan untuk menuju Metaverse di masa depan,” tambah Tuhu.
Lalu, stakeholder harus apa untuk mempercepat proses transisi menuju Metaverse ini?
“Terutama dari pemerintah harus punya visi,” jawab Tuhu singkat.
Contohnya di Dubai, mereka punya visi yang jelas, pemerintahnya bikin blueprint untuk Metaverse di 2030. Semua PNS mereka harus belajar blockchain, jadi mereka tahu blockchain itu apa dan mereka bisa tahu inovasi apa yang bisa mereka berikan lewat teknologi itu.
“Banyak di antara kita masih awam terhadap istilah-istilah dalam Metaverse ini. Contohnya WEB3, yang kerap dianggap sama dengan cryptocurrency (jualan). Persepsinya masih salah,” lanjutnya.
Baginya, blockchain adalah sistem pencatatan aja, tapi dengan teknologi yang lebih mutakhir. Di Indonesia, mulai dari orang biasa hingga public figure kebanyakan memanfaatkan teknologi ini cuma untuk menciptakan Token.
Alhasil, Token untuk cryptocurrency dan NFT jadi bertabur di mana-mana. Padahal, pengaplikasian blockchain bisa lebih dari sekadar cryptocurrency dan NFT.
“[Kita] harus bisa berpikir dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, jangan terpaku dengan apa yang mayoritas [masyarakat] lakukan,” terang Tuhu.
Find something unique. Sesuaikan dengan kebutuhan pasar, generasi-generasi muda harus jadi penghubung antara pemerintah, investor, dan stakeholder lainnya, Civs. Tuhu juga berpesan bahwa sebagai generasi muda, kita nggak boleh terlalu nyaman dengan kondisi yang ‘gitu-gitu’ aja.
“Tekuni ketika industrinya belum ‘jadi’, dan ketika udah masuk, kita harus menjaga konsistensi dan determinasi, supaya keberlanjutan [karier] terjamin. In the end, lo pasti bakal dicari [investor] dan sukses.” tutup Tuhu Nugraha. (*/)