Nggak cuma desain visual macam 3D art dan motion art aja yang bisa berhasil di marketplace NFT, Civs. Ada Ananda Sukarlan yang berhasil melelang piano piecesnya jadi NFT untuk tujuan amal. Cekidot cerita lengkapnya di sini!
FROYONION.COM - Baru-baru ini, salah satu classical composer dan pianis ternama asal Indonesia yang tahun 2020 dilantik menjadi Presiden Dewan Juri Queen Sofia Prize di Spanyol, penghargaan tertinggi musik klasik di Eropa, Ananda Sukarlan, melelang piano pieces-nya dalam bentuk NFT.
Karya yang dilelang sebagai NFT ini adalah variasi dari solo piano berjudul ‘Pergi Belajar’ karya Ibu Sud, dan juga ‘Rapsodia Nusantara No. 35’. Nggak cuma aktif di dunia musik aja, beliau juga dikenal sebagai aktivis kemanusiaan, dan dua piano pieces ini emang dilelang sebagai NFT demi tujuan kemanusiaan itu sendiri.
Keduanya dibeli pengusaha Edwin Soeryadjaya dan Hilmi Panigoro sebesar USD 61 ribu atau sekitar Rp1 miliar. Kemudian, hasil penjualannya didonasikan ke fundraising event ‘NTT Adalah Kita’ yang diselenggarakan sama Habitat for Humanity Indonesia untuk korban badai siklon tropis ‘Seroja’ di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2021 kemarin.
Berawal dari keresahannya soal polemik hak cipta bagi para seniman lokal, Ananda melihat adanya alternatif solusi terutama bagi para pegiat musik, yaitu lewat NFT, Civs. Kebetulan, waktu beliau lagi gencar-gencarnya mempelajari NFT, Mesail Creative Hub menghubunginya dan akhirnya terjadi kolaborasi antar keduanya.
Dari situ, beliau jadi musisi klasik pertama di Asia yang mendaftarkan karyanya sebagai NFT di marketplace bernama ‘Metaroid’, Civs.
“Semoga dengan menjadi musisi klasik pertama di Asia yang juga bergerak di dunia NFT bisa menginspirasi dan memberi contoh ke seniman lainnya, terutama musisi klasik,” ujar pianis penerima gelar kesatriaan "Cavaliere Ordine della Stella d'italia" dari presiden Sergio Mattarella ini.
Beliau mengakui kalo dunia musik terutama musisi klasik itu cukup konservatif, di mana terkadang para musisi memandang inovasi secara skeptis, Civs. Ananda berharap NFT dapat menjembatani musik klasik dan juga pendengar dengan lebih dekat, apalagi kita tahu kalau konser musik klasik erat dengan konser konvensional macam orchestra di negara-negara eropa.
Ananda juga bilang kalo NFT bikin semua transaksi jadi lebih transparan. Royalti yang didapat dari penjualan musik juga bisa dilihat di blockchain. Ini jadi salah satu keunggulan musisi yang bergerak di dunia NFT, di mana royalti bakal terus mengalir ketika karyanya dijual di secondary market dan seterusnya, beda halnya sama cara ‘lama’ yang seniman pun nggak tahu ke mana ‘larinya’ karya seni yang dijualnya di pasar.
Bicara soal penggalangan dana, awalnya Ananda tertarik mendalami NFT karena polemik hak cipta di dunia seni. Tapi, seiring berjalannya waktu, beliau akhirnya tahu kalo NFT tuh nggak hanya menjawab persoalan copyright dan memberi lebih banyak peluang exposure bagi musisi, tapi juga bisa bermanfaat untuk urusan kemanusiaan.
“Karena saya punya Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) kebetulan bekerja sama dengan yayasan ‘Habitat for Humanity’ untuk konser kemanusiaan di NTT, kita pikir penggalangan dananya pake NFT aja waktu itu,” lanjut Ananda.
Variasi lagu ‘Pergi Belajar’ yang dipilih Ananda jadi NFT ditulisnya pas lagi terinfeksi Covid-19 di rumah sakit. Lagu ini juga jadi lagu favoritnya di masa kecil, dan sekarang dibuat variasinya dalam bentuk piano pieces yang cukup mudah dimainkan pianist pemula.
Untuk lagu ‘Rapsodia Nusantara No. 35’, beliau merilis secara khusus untuk acara fundraising di NTT ini. Inspirasinya diambil dari berbagai lagu-lagu daerah di Pulau Rote.
Sebelumnya juga, Ananda udah merilis ‘Rapsodia Nusantara’ No. 1 sampe No. 34, yang mana masing-masing lagunya melambangkan lagu daerah dari 34 provinsi di Indonesia, keren banget ya!
KENDALA YANG DIHADAPI DI DUNIA NFT
“Hambatannya belum ada, tapi tantangannya sekarang adalah waktu, karena permintaannya banyak, mereka pada minta lagu baru,” terang Ananda.
Lebih lanjut lagi, beliau bilang kalo musik klasik punya beberapa keuntungan, salah satunya adalah partitur yang bisa dimainkan siapapun ke depannya, kayak karya-karya dari Beethoven.
Tapi, di sisi lain, Ananda bilang dunia musik klasik itu banyak diisi sama musisi yang umurnya 50 tahun ke atas.
“Jadi terkadang mereka bingung, ‘Ini NFT diapain ya?’, tapi mereka mulai tahu soal hal ini, perkembangan zaman di mana musik bisa lewat NFT, bukan cuma didaftarin hak ciptanya secara konvensional,” jelas Ananda.
“Walaupun namanya klasik, tapi caranya jangan klasik mulu,” - Ananda Sukarlan
Berhubung Rapsodia Nusantara No. 35 udah terjual sebagai NFT, Ananda juga bilang kalo dirinya mau merilis seri No. 1 sampe No. 34 dalam bentuk NFT juga, Civs. Lewat marketplace OpenSea, dirinya berharap di bulan Februari ini karya-karyanya udah bisa dirilis secara luas.
Untuk desain visual-nya, dirinya dan tim juga lagi berkolaborasi sama visual artist lokal.
Ke depannya, beliau juga lagi mempersiapkan 53 variasi piano pieces dari not ‘Do Mi Sol’ sebagai NFT. Jumlah variasi itu melambangkan usianya yang sekarang menginjak 53 tahun.
“Masing-masing variasi not ‘Do Mi Sol’ ini menggambarkan satu tahun dari hidup saya, semacam biografi yang nggak hanya menunjukkan kisah hidup, tetapi juga sisi emosional saat jatuh cinta, putus cinta, waktu kehilangan orang tua, waktu punya anak juga,” jelasnya.
Ananda bilang kalo cerita hidupnya ini lebih baik diceritakan lewat musik daripada sekedar kata-kata, dan orang-orang juga bakal lebih mengerti perasaannya lewat alunan not yang dia buat.
Permintaan atas karya-karya kayak gini emang lagi tinggi, dan untuk itu, Ananda bilang kalo dirinya emang tertarik banget untuk mendalami dunia musik sebagai NFT.
Ananda memandang masa depannya di NFT lebih ke arah sosial, kayak penggalangan dana untuk kegiatan amal. Ditunggu aja karya-karyanyanya di Metaroid dan OpenSea, Civs.
“Coba aja dulu, dari semua yang dijual mungkin ada yang nggak laku, tapi harus selalu up to date dan jangan sampe terjebak ke selera pendengar aja,” ujar penerima Dharma Cipta Karsa RI 2014 Dan Anugerah Kebudayaan RI 2015 ini..
Menurutnya, karya seni harus punya integritas, nggak cuma mikirin selera penggemar aja, melainkan sebuah ekspresi dari dalam diri seorang seniman itu sendiri.
Identitas dan originalitas tetep jadi hal yang paling menjual dari karya seni, bukan sekedar bikin karya yang ‘enak didengar’ atau ‘enak dilihat’ aja, karena udah ada banyak karya seni yang bagus-bagus di luar sana.
Juga satu hal lagi, jadi musisi jangan sampe ‘manja’ dengan keadaan.
“Contohnya ‘saya butuh inspirasi’, ‘saya butuh ke pantai’, padahal inspirasi itu ada di mana-mana, yang penting niat,” katanya.
Kalo kata beliau, inspirasi itu malah dateng kalo pas lo lagi kerja. Di tempat yang paling nggak nyaman juga, inspirasi itu bakal dateng. Lo nggak perlu jalan-jalan, ataupun staycation supaya dapet inspirasi.
“Seniman itu 99% kerja, 1% inspirasi,” lanjut Ananda.
Buat lo yang masih kepo dan mau nanya-nanya soal dunia permusikan atau pun NFT, Ananda selalu membuka lebar pintu DM-nya di Instagram dan Twitter, Civs, tinggal ketuk langsung aja yak~ (*/)